Header Ads

Luka Lama (Bagian 2)

Oleh: Rinaldi Fitra Riandi, Ilmu Komunikasi 2015 

Mariana membuka obrolan kecil di bawah sorot lampu pijar nan hangat.”Hmm, nak tadi bagaimana sekolahmu? Seru, gak?” tanyanya. “Ya biasa aja sih bu, malah capek. Diperes mulu tenaga sama otak tuh, mentang-mentang udah kelas tiga—mau ujian nasional” gerutu Dedi.

Sang ibu hanya tersenyun kecil sembari membuka tudung saji; sang ayah lalu angkat suara di tengah perbincangan,“Ayolah nak, semangat dong! Jangan loyo gitu. Ayah gak sabar lihat kamu menjadi mahasiswa” dengan raut wajah lemas ia pun membalas perbincangan ayahnya “Hmm , iya.. yah”.

Perbincangan kecil berakhir santap malam pun di helat: hidangan berupa ayam goreng,sayur-mayur serta sambal pedas menambah selera makan mereka.

Diluar rumah segerombolan orang tak dikenal menggunakan mobil Jimmny hitam melempar sesuatu benda ke pelataran rumah mereka---ternyata bom molotov--- meledak sebanyak dua kali ‘duaaaaarduaaaarr!!’ memecahkan kaca jendela. Sontak mereka terkejut dan berusaha menyelamatkan diri. Mariana berteriak histeris sedang  putra bungsu serta suaminya bersikeras memadamkan api yang merambat seluruh bagian depan rumah. Tak lama setelah itu warga berdatangan untuk memberi pertolongan pada keluarga kecil ini,’brusssshbrussssh’ air membasahi titik ledak dan kian lama si jago merah pun padam.

Pak sopyan bertanya pada Affandi, “Pak,siapa yang tega melakukan perbuatan ini?”saat akan menjawab pertanyaannya ia pingsan tersungkur ke tanah---terkena serangan jantung. Istrinya berteriak semakin histeris; menangis tersedu-sedu sementara putra bungsunya meminta pertolongan kepada warga, ”Bapak-bapak,segera panggilkan ambulan!!”. Sebagian warga membawa ayahnya ke dalam rumah agar dibaringkan; ibu-ibu membantu menenangkan mariana.

Hampir setengah jam menanti,mobil ambulan datang ditempat tujuan lalu Affandi digotong ke dalam mobil untuk mendapatkan pertolongan pertama---dipasangkan selang oksigen pada hidungnya. Mariana, putra bungsunya dan pak sopyan menemani Affandi selama perjalanan ke rumah sakit, “wiuuuwwwwiuuuw’ suara sirine serta lampu biru-merah kerlap-kerlip sepanjang perjalanan hingga akhirnya menepi di Rumah Sakit Al-Islam Bandung.

“Suster-suster, tolong bawa ayah saya!!” teriak Dedi. Ayahnya lalu dibawa ke UGD (Unit Gawat Darurat) ditemani mariana yang sedari tadi khawatir. Pak Sopyan yang menemani keluarga kecil ini bertanya pada Dedi, “Nak,bagaimana tadi kronologis kejadian tersebut? Sampai-sampai ayahmu terkena serangan jantung”,tanyanya. “Sangat cepat terjadi, kami tidak melihat apapun pak” pungkas Dedi.

“kamu coba saja lapor ke pihak yang berwajib,biar bisa dipekarakan” Imbuhnya.

“waduh pak ,sulit sekali,barang bukti dan saksi mata tak ada”balas Dedi.  

ohh iya... yasudah nanti kita pikirkan kembali. Berhubung ini sudah larut mari kita pulang saja.’oh iya tadi saya sudah menghubungi kakakmu (Nugi) katanya ia besok pagi datang dari Bogor” tambahnya.

“Terimakasih banyak pak, saya tadi lupa tidak membawa telepon genggam” Ujar Dedi.

Mereka berdua meninggalkan rumah sakit menggunakan taksi yang tersedia di rumah sakit, duapuluh menit ditempuh, mengingat waktu sudah dini hari dan jalanan sudah sangat sepi, mereka menepi di kediaman masing-masing. Dedi merbahkan diri dikasur sambil menatap kosong langit-langit dikamarnya---seolah tak percaya akan peristiwa semalam. Lama berbaring di kasurnya, ia merasa suntuk dan berjalan kecil mengitari sekeliling rumahnya.

Ia melihat kamar orangtuanya tak dikunci hingga masuk ke dalam, ruangan cukup besar menyimpan banyak kenangan manis saat ia masih balita. Langkah kakinya mengarah pada kursi sofa depan cermin milik ibunya; setengah badan terhempas empuknya sofa berwarna merah.

Saat  terduduk ada benda yang mengganjal pahanya: itu adalah catatan harian milik sang ayah, dipandangi dengan rasa penasaran buku kecil itu yang terbalut debu-debu kecil di sampul depan; ia membuka lembar demi lembar hingga menemukan goresan pena yang berisi sungguh mencengangkan:

‘Hari ini aku bertemu dewan warga, Pak Sodik di sela waktu pagi, tak disangka dirinya berubah begitu cepat.Ia akan mengamini pembangunan minimarket yang akan membuat warung serta kroto-kroto kecil gulung tikar milik warga kurang mampu. Nanar matanya gelap oleh ketamakan, aku getir sekali hari ini, aku takut tak bisa menyekolahkan putra bungsuku, Dedi sampai jenjang Universitas. Jantung semakin lama berdetak; Oh, Tuhan tenangkan hati dan pikiranku menghadapi semua ini'.

Setelah membaca beberapa kalimat catatan itu,air matanya berlinang membasahi kertas-kertas kusam yang di genggam kuat-kuat; detik itu luka teramat pedih terpendam dalam hati remaja tersebut; luka yang akan merubah menjadi dendam membatu dan kapan saja bisa mementahkan amarah-nya.

Terdengar kumandang adzan shubuh menandakan pagi akan menjelang, ia tak tertidur malam hari ini. Terdengar ketukan pintu dari luar rumah dan ternyata kakaknya telah menepi sesudah menempuh perjalanan tiga jam dari Bogor menggunakan bus antar kota. Ia pun membukakan pintu tanpa basa-basi ia menceritakan semua runtutan peristiwa seraya menunujukan catatan kecil milik ayah-nya.

“Kak, dewan warga akan membangun minimarket dan hal ini yang akan mengancam seluruh usaha warung dan kroto kecil milik warga kurang mampu---ayah pun terkena imbasnya” tandas Dedi. Nugi hanya terdiam sejenak lalu berkata “ Dek, ini ga bisa di biarkan, kita harus melakukan suatu tindakan!.” Ujar Nugi
“Kita bicarakan saja nanti, aku harus melihat kondisi ayah. Beberapa jam lagi aku akan berangkat ke rumah sakit.” ujarnya. Usai beristirahat serta mandi ia pergi menuju rumah sakit tempat dirawat ayahnya. Dedi tidak ikut bersama kakaknya, ia memilih berdiam diri di rumah untuk memantau kondisi perkembangan terkini.

Dedi menghabiskan hari-hari dengan melamun didepan rumah, sekolahnya menjadi agak terbengkalai. Ia tak merisaukan akan hal itu; menurutnya yang terpenting hak untuk hidup sejahtera keluarga kecilnya adalah paling terpenting.

Seseorang pria tua mengenakan kopiah menghampiri Dedi ditengah lamunannya, “Nak,besok ada rapat dengar pendapat di balai warga.jangan lupa datang ya” pungkasnya sambil memberikan selembaran pengumuman. Ia pun hanya mengangguk dan tangan kanannya meraih selembaran tersebut.

Pada sore hari Nugi pulang dari rumah sakit, ia pun memberitahukan informasi ini pada kakaknya.”Kak, kita harus datang esok lusa di balai warga”, “Tentu, kita harus kesana melihat bagaimana situasinya”Balas Nugi.
Hingga hari yang ditunggu oleh mereka berdua tiba, rapat dengar pendapat berlangsung siang hari seusai ba’da zuhur. Ramai-ramai warga menghiasi ruangan rapat dengan ornamen-ornamen sederhana, mobil-mobil para utusan PT. Supermart berdatangan memenuhi lapang bulutangkis sebelah bangunan bale warga; para wanita menyiapkan suguhan makanan untuk para tamu di meja-meja yang sudah di tata rapi.

Pengeras suara terdengar nyaringnya tanda acara akan segera dimulai,Nugi dan Dedi datang lalu duduk di tengah keramaian warga. “Assalamualaikum, puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Tuhan yang maha esa. Dengan Ucapan bismillahirahmanirahim kita mulai saja rapat dengar pendapat ini” Sapa moderator.

Seluruh khalayak menyambut khidmat sambutan moderator, humas-humas mulai memaparkan rencana-rencana pembangunan dilanjut dengan dukungan Ketua Dewan warga (Pak Sodik)  yang sangat ambisius dan berkata “Pemukiman kita jangan mau ketinggalan sama daerah-daerah lain, seperti Dago,Braga dan pemukiman lainnya.” sigap Dedi menyanggah lantang pernyataan Pak Sodik, “Ya ga bisa dong pak, kita punya corak hidup yang berbeda dengan ketiga daerah itu!!.” Dendam itu menyeruak ke permukaan mengubah sanubari hati terdalam Dedi.

Bersambung...

Tidak ada komentar