Menyatakan Kebenaran: Menghadapi Krisis Kebebasan Pers di Indonesia
Gambar : Seseorang dengan kertas
bertuliskan “tolak kekerasan terhadap jurnalis”
Sumber : ANTARA FOTO/Zabur Karuru
via cnnindonesia.com
Opini, Ilham Muhar Danny - Tahun 2024 adalah tahun yang
menjadi saksi di mana krisis kebebasan pers di Indonesia semakin terlihat.
Kontestasi Pemilu dan Pilkada tahun ini, disertai dengan demonstrasi besar-besaran
di berbagai pelosok Indonesia mengenai ambang batas pencalonan sebelum Pilkada
telah memperjelas bahwa krisis kebebasan pers tengah terjadi. Bahkan, Tindakan
opresif terhadap jurnalis sudah dilakukan secara terang-terangan.
Kebebasan pers di Indonesia, yang
diatur oleh UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, menghadapi ancaman serius
meskipun secara hukum dijamin. Situasi ini ditandai dengan penurunan indeks
demokrasi, peningkatan kekerasan terhadap jurnalis, dan kontrol politik
terhadap media. Pasal 4 UU No. 40 Tahun 1999 menjamin kebebasan pers dari
penyensoran dan pembredelan, namun kenyataan menunjukkan kesenjangan antara
hukum dan pelaksanaannya. Pers, yang seharusnya menjamin hak masyarakat atas
informasi akurat, kian terancam eksistensinya.
Timothy Synder (2018) dalam The
Road to Unfreedom menjelaskan bahwa kendali otoritas atas media membuka
ruang disinformasi untuk agenda politik tertentu. Penurunan indeks kebebasan
pers Indonesia dari 63,23 poin (2019) menjadi 51,15 poin (2024) mencerminkan
kemunduran demokrasi. Menurut Ika Ningtyas, sekjen Aliansi Jurnalis Independen
(AJI), intervensi politik dan kebijakan represif memperburuk kondisi ini. Hal
ini sejalan dengan pandangan Ross Tapsell (2017) bahwa konsentrasi media oleh
oligarki melemahkan independensi jurnalisme.
Tantangan Kebebasan Pers
Oligarki Media dan Polarisasi
Partisan
Konsentrasi kepemilikan media oleh
oligarki politik dan bisnis memicu pemberitaan partisan, merusak independensi
pers. Contoh nyata terlihat saat Pilpres 2014, di mana media terang-terangan
mendukung kandidat tertentu, mengikis kepercayaan publik. Masduki dari PR2Media
menyebut media sebagai alat propaganda, terutama menjelang Pemilu 2024. Ia
menyoroti bagaimana kualitas jurnalisme semakin menurun akibat penguasaan media
oleh elite politik dan bisnis yang menekan nilai independensi. Dalam konteks
ini, media menjadi sarana legitimasi politik alih-alih menyampaikan informasi
yang akurat.
Situasi ini diperparah oleh
dominasi oligarki dalam media digital, menciptakan ruang bagi polarisasi dan
disinformasi. Oligarki tidak hanya mengontrol media tradisional tetapi juga
memanfaatkan platform digital untuk memperluas pengaruhnya. Akibatnya, masyarakat
terpapar berita partisan yang sering kali mendukung kepentingan tertentu.
Kekerasan terhadap Jurnalis
AJI mencatat 89 kasus kekerasan
terhadap jurnalis pada 2023, meningkat dari 61 kasus pada 2022. Kekerasan ini
mencakup teror, intimidasi, serangan fisik, dan kriminalisasi, sering kali
terjadi pada peliputan isu sensitif. Pada 2024, kasus kekerasan terus terjadi,
dengan 33 kasus dilaporkan hingga Juli, meskipun angka sebenarnya diduga lebih
tinggi karena banyak kasus tidak terlaporkan. Insiden signifikan termasuk
kekerasan aparat terhadap 11 jurnalis saat meliput aksi massa di Mahkamah
Konstitusi dan ancaman dari ormas kepada wartawan yang meliput kasus korupsi
eks Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo.
Pelaku kekerasan didominasi aktor
negara seperti polisi, aparat pemerintah, dan militer, yang mencerminkan
represifitas terhadap kebebasan pers. Selain itu, kekerasan digital semakin
marak, dengan serangan terhadap jurnalis yang meliput isu lingkungan dan
korupsi. Keberadaan 24 pelaku kekerasan yang tidak teridentifikasi pada kasus
digital menunjukkan lemahnya perlindungan jurnalis dalam ruang siber.
Kesejahteraan Jurnalis
Selain ancaman fisik, kesejahteraan
jurnalis juga terabaikan. Sepanjang 2023, hampir 1.000 jurnalis terkena PHK,
sebagian besar tanpa kontrak formal. Upah rendah, berkisar Rp15.000–Rp30.000
per berita, memperburuk situasi ini. Banyak jurnalis tidak mendapatkan
perlindungan seperti asuransi atau tunjangan, membuat mereka rentan secara
ekonomi.
AJI melaporkan bahwa kondisi ini
mencerminkan lemahnya regulasi ketenagakerjaan di industri media. Jurnalis
lepas paling terdampak, sering kali bekerja tanpa perlindungan hukum atau
kejelasan kontrak kerja. Situasi ini tidak hanya membahayakan kesejahteraan
jurnalis tetapi juga mengancam kualitas informasi yang disampaikan kepada
masyarakat.
Apa Solusinya?
Reformasi dalam industri media dan
hukum diperlukan untuk memperkuat kebebasan pers. Pemerintah harus memastikan
penegakan hukum terhadap pelanggaran yang membungkam jurnalis. Selain itu,
diperlukan pengawasan terhadap kepemilikan media untuk mencegah campur tangan
politik. Reformasi ini akan menciptakan lingkungan di mana media dapat
beroperasi independen, mendukung demokrasi yang sehat.
Tak hanya itu, perlu adanya
penguatan regulasi ketenagakerjaan di industri media untuk menjamin
kesejahteraan jurnalis. Ini termasuk perlindungan kontrak kerja, penyediaan
tunjangan, dan pengawasan terhadap perusahaan media yang melakukan PHK massal.
Dengan langkah ini, jurnalis dapat bekerja tanpa tekanan ekonomi yang
mengganggu integritas mereka.
Referensi yang digunakan penulis
dapat diakses pada link berikut: https://shorturl.at/sRtqG
Penulis : Ilham Muhar Danny
(Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Angkatan 2021)
Penyunting : Erron Dwi Putra Katuwu
Beri Komentar