Mahasiswa Unpas dan Poltekesos Ditangkap Dengan Senyap Tanpa Surat Resmi Usai Aksi Tolak RUU TNI, Bagaimana Sikap Mahasiswa Unpas?
BPPM Pasoendan,
Bandung — Dua mahasiswa,
masing-masing dari Universitas Pasundan (Unpas) dan Politeknik Kesejahteraan
Sosial (Poltekesos) Bandung, dilaporkan mengalami penangkapan secara diam-diam
oleh aparat kepolisian tanpa prosedur hukum yang jelas, usai mengikuti aksi
penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI)
pada Maret 2025 lalu. Peristiwa tersebut menjadi perhatian serius kalangan
mahasiswa, yang menilai tindakan aparat sebagai bentuk represif terhadap
kebebasan berekspresi.
Informasi penangkapan
ini baru tersampaikan ke publik melalui wawancara yang dilakukan BPPM Pasoendan
usai aksi solidaritas yang digelar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
(FISIP) Unpas pada 1 Juni 2025. Kedua mahasiswa, berinisial MTH dari
Unpas dan MSA dari Poltekesos, ditangkap nyaris sebulan setelah aksi
berlangsung. Menurut penuturan rekan-rekan mereka, penangkapan pertama terjadi
terhadap MTH di tempat kosnya pada dini hari pukul 02.00 WIB, dalam kondisi
lingkungan yang sepi dan minim saksi.
“Yang pertama
ditangkap adalah MTH, di kosannya sekitar pukul dua pagi. Saat itu kondisinya
gelap dan sepi, hanya beberapa teman dekat yang tahu kabar penangkapannya,”
ujar seorang mahasiswa dari Mahasiswa Kolektif Unpas.
Beberapa jam
setelahnya, aparat bergerak ke Cianjur untuk menjemput MSA. Penangkapan
terhadap MSA diduga dilakukan setelah aparat memperoleh informasi dari proses
interogasi terhadap MTH. Dalam keterangan yang disampaikan kepada BPPM
Pasoendan, narasumber menyebut bahwa dugaan keterlibatan kedua mahasiswa
tersebut bermula dari rekaman kamera pengawas di sebuah gerai Circle K di
Bandung.
“Awal mula penangkapan
karena terpantau CCTV di Circle K,” jelasnya. Ia juga menambahkan bahwa aparat
tidak menunjukkan surat perintah penangkapan, tidak didampingi penasihat hukum,
dan tidak memberikan pemberitahuan kepada keluarga atau pihak kampus.
“Penangkapan ini
terlalu sunyi dan senyap. Ketika penangkapan, tidak ada surat penangkapan yang
seharusnya diinfokan kepada kawan kami. Ini jelas melanggar prosedur hukum yang
berlaku,” tegasnya lagi.
Aksi yang diikuti oleh
MTH dan MSA sebelumnya merupakan bentuk penolakan terhadap RUU TNI yang digelar
pada 20–21 Maret 2025 di sejumlah titik di Kota Bandung. Aksi tersebut
diselenggarakan oleh aliansi mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi bersama
elemen masyarakat sipil, yang menilai RUU TNI berpotensi memperluas peran
militer dalam kehidupan sipil. Dalam draf rancangan yang beredar, pasal-pasal
yang memungkinkan keterlibatan TNI dalam pengamanan unjuk rasa, penanganan
bencana, serta pengamanan objek vital nasional dinilai tidak disertai mekanisme
kontrol sipil yang ketat.
Di tengah kekhawatiran
akan kembalinya dominasi militer dalam ruang sipil, tindakan aparat yang
menangkap dua mahasiswa justru memperkuat kekhawatiran tersebut. Mahasiswa
menilai respons negara terhadap aksi damai telah berubah menjadi bentuk
pembungkaman terhadap kritik.
“Ini bukan sekadar
kriminalisasi terhadap individu. Ini adalah bentuk pembungkaman kolektif
terhadap hak mahasiswa untuk menyampaikan kritik,” ucap salah satu Mahasiswa
Kolektif Unpas.
Kecaman terhadap
penangkapan juga datang dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung. Kepala Divisi
Advokasi dan Jaringan LBH Bandung, M. Rafi Saiful Islam, menilai tindakan
aparat telah melanggar hukum acara pidana karena dilakukan tanpa kondisi
tertangkap tangan dan tanpa dokumen hukum yang sah.
“Penangkapan ini
merupakan cerminan bahwa negara telah gagal memahami apa yang dikhawatirkan
publik terhadap RUU TNI. Saat kejadian, dua orang ini melakukan aksi damai
sebagai bentuk ekspresi. Namun justru dijawab dengan tindakan represif,”
ujarnya.
Ia menambahkan bahwa
pada saat aksi berlangsung, aparat yang berjaga, termasuk yang berpakaian
non-dinas, bertindak secara berlebihan.
“Kami menemukan bahwa
banyak peserta aksi direpresi. Banyak mahasiswa dan rekan-rekan lainnya dipukul
mundur, bahkan ditembak gas air mata secara berlebihan. Kekisruhan itu
sebenarnya dipicu oleh aparat itu sendiri,” lanjutnya.
Menurutnya,
penangkapan terhadap MTH dan MSA termasuk kategori tidak prosedural. “Dua orang
ini ditangkap bukan dalam keadaan tertangkap tangan. Maka, sesuai dengan
undang-undang, surat penangkapan harus ditunjukkan kepada yang bersangkutan
atau keluarganya. Tapi, temuan kami menunjukkan hal itu tidak dilakukan oleh
polisi yang bersangkutan,” tegasnya.
Sebagai bentuk protes
dan solidaritas terhadap dua mahasiswa yang ditangkap, mahasiswa Unpas
menggelar aksi damai dengan membawa poster bertuliskan “Bebaskan Kawan Kami”
dan “Tolak Kriminalisasi.” Aksi tersebut diisi dengan pembacaan puisi dan
refleksi atas kondisi demokrasi di Indonesia saat ini. Dalam aksi itu,
mahasiswa menegaskan bahwa mereka tidak menuntut perlakuan istimewa, melainkan
menuntut keadilan dan kepatuhan hukum.
“Kami hanya menuntut
agar hukum berlaku adil. Jika dua kawan kami bersalah, buktikan secara hukum,
bukan dengan intimidasi,” ujar salah satu peserta aksi.
Beberapa mahasiswa
yang diwawancarai juga menyatakan bahwa praktik seperti ini bukan peristiwa
pertama. Mereka mengaitkan penangkapan ini dengan pola pembungkaman yang pernah
terjadi dalam sejarah gerakan mahasiswa di Bandung.
“Ini bukan sekadar
insiden. Ini adalah pola. Penangkapan tanpa prosedur, pembuntutan, dan
pelabelan seperti ‘anarko’ sering kali muncul saat mahasiswa mengangkat isu-isu
struktural dan sensitif secara politik,” ujar narasumber lain.
Hingga berita ini
diterbitkan, belum ada keterangan resmi dari pihak kepolisian mengenai status hukum
kedua mahasiswa tersebut. Mahasiswa Unpas dan Poltekesos terus menuntut
keterbukaan proses hukum dan pembebasan terhadap MTH dan MSA. Sebagian besar
dari mereka menyebut kriminalisasi ini sebagai bentuk “hukuman sosial-politik”
terhadap mahasiswa yang bersuara kritis terhadap kebijakan negara.
“Demokrasi tidak akan
tumbuh di bawah bayang-bayang senjata dan sensor. Kritik harus dijawab dengan
dialog, bukan dengan penjara,” tutup Mahasiswa Kolektif Unpas.
Editor: Purnama Wijaya
Beri Komentar