Header Ads

Semangat Transformasi dan Keharusan Membaca Kontemporalitas Keseharian

Opini, Rifqi -- Beberapa minggu yang lalu, kita di kejutkan dengan spanduk yang bertuliskan “SELAMATKAN FISIP UNPAS!” yang terpampang di pelataran depan kampus dengan maksud menolak pelantikan dekan baru M. Budiana, namun tidak lama kemudian spanduk itu di amankan oleh pihak fakultas. Pemasangan spanduk tersebut bersamaan dengan aksi unjuk rasa yang sedang di gelar Aliansi Mahasiswa FISIP (AMF) yang menuntut pemaksimalan kegiatan akademik, sontak kawan-kawan dari AMF terkejut dengan adanya spanduk tersebut karena mereka tidak melakukan aksi pemasangan spanduk pada saat aksi berjalan.

Hal itu menimbulkan kontroversi, melalui berita yang dimuat BPPM FISIP Unpas (28/2), koordinator aksi Fatah Abdul Rumfot  menyatakan bahwa aksi yang sedang mereka gelar ditunggangi oleh oknum dari luar AMF yang mengaku dari Forum Alumni FISIP Unpas. Terlepas dari tunggang menunggangi dan konstelasi elit di lingkungan fakultas, pemasangan spanduk yang sesegera dilepas paksa itu merupakan sebuah aksi yang setidaknya menampar karena terlihat asing untuk kita.

Unjuk Rasa dan Keseharian yang Telah Berubah

Kita terbiasa dengan protes yang disampaikan secara verbal, bentuk pengorganisasian massa semisal unjuk rasa dinilai masih merupakan cara ampuh untuk menyuarakan tuntutan dan menggalang dukungan. Bukan berarti aksi tersebut tidak berfaedah, namun kampus hari ini bukanlah kampus era 1960-an atau 1998, jika pada saat itu turun ke jalan dengan masa yang dimulai hanya dengan puluhan orang bisa menjadi ratusan orang dalam kurun waktu tidak lama, isyu sekecil apapun dapat memantik keramian. Hari ini berbeda, jangankan untuk ikut dalam aksi unjuk rasa dan turun ke jalan, mendengar dan melihatnya saja tidak sedikit orang yang malah nyinyir. Terlebih kampus yang terkenal dengan ke-apolitisan-nya.

Yang menjadi masalah disini adalah realitas objektif lingkungan kampus hari ini acuh terhadap segala permasalahan yang ada di dalamnya, kita bisa hitung berapa banyak yang vokal terhadap kebijakan-kebijakan kampus dan permasalahan yang ditimbulkannya, baik masalah akademik maupun non-akademik. Begitu sulit untuk mengajak teman satu kelas untuk membicarakan permasalahan terkait tempat dimana ia belajar, masa bodo adalah senjata ampuh untuk menolak obralan para aktivis kampus tentang segala kekacauan yang terjadi. Disaat yang bersamaan, kita berjuang keras untuk menyuarakan sebuah perubahan yang jika ter-realisasi dampaknya akan dirasakan oleh mahasiswa secara luas.

Kembali Pada Titik Pemberangkatan : Transformasi!

Oleh karena itu, saya mempunyai pandangan yang berbeda tentang spanduk yang bertuliskan “SELAMATKAN FISIP UNPAS” tersebut diatas, terlepas dari siapa yang memasangnya dan untuk tujuan apa hal itu dilakukan. Jika hanya memperdebatkan siapa yang memangsangnya dan sibuk mencari tersangka pemasangan spanduk tersebut, kita akan lupa tentang apa yang kita suarakan dan sibuk mencari tersangka untuk diadili. Hal itu menjadi perbincangan yang lebih luas ketika Sekretaris Ikatan Alumni (IKA) FISIP UNPAS, Nunung Sanusi memberikan pernyataan "IKA secara struktural tidak pernah melakukan penolakan apalagi penjegalan atas proses pelantikan" dan mengatakan bahwa aksi penolakan pengangkatan pejabat struktural tidak pernah terjadi sebelumnya. Yang dimuat portal berita online Pikiran Rakyat (6/3).

Selamatkan FISIP Unpas merupakan tagline yang cocok untuk dijadikan sentilan dan katalis guna menumbuhkan pertanyaan bagi mahasiswa lainnya. Berbagai macam pertanyaan akan muncul, kenapa fisip unpas harus diselamatkan? Ada permasalahan apa di kampus kita? Apakah fisip unpas sedang dalam kondisi sekarat? dan lain sebagainya, ketika pertanyaan-pertanyaan yang bergentayangan itu terkumpul menjadi sebuah tanda tanya besar, menandakan bahwa telah banyak mahasiswa yang peduli terhadap isyu didalam kampus. Peluang untuk menggalang massa yang lebih masif dan aksi yang lebih besar terbuka lebar.

Usulan Strategis

Belajar dari aksi yang melibatkan banyak massa diberbagai belahan dunia beberapa dekade belakangan menunjukan, melalui media sosial semisal facebook, twitter atau menulis dalam blog dan mempublikasin keresahan yang dialami bersama menjadi cara yang ampuh untuk menggalang kepedulian banyak orang. Bukan hanya melakukan protes virtual dan terhenti begitu saja ketika paket internet habis , namun pekerjaan selanjutnya adalah bagaimana kumpulan keresahan-kerehan itu bisa menjadi sebuah aksi yang kongkrit.

Hal yang terpenting saat ini adalah bagaimana semakin banyak mahasiswa yang peduli terhadap permasalahan yang terjadi, dimulai dari isu yang sangat ringan, dekat dan memang dirasakan oleh mahasiswa sendiri. Menyampaikan masalah bersama dengan cara yang kekinian dan kedisinian menjadi sangat penting, bagaimana kita membicara permasalah yang terjadi dikampus kepada banyak mahasiswa lainnya melalui media apapun itu, tak terkecuali melalui guyonan, seperti “Di Unpas lebih ramai perbincangan tentang sepak bola lokal dari pada krisis finansial global 2008 yang mengubah penataan dunia secara radikal”.

Cobalah untuk jujur mengakui ketertinggalan kualitas akademik kampus kita dan menjadikannya katalis untuk bergerak bersama-sama. Hal itu memang sebuah penanda dari lingkungan akademik yang memprihatinkan, namun jika kita mau bercermin dan melakukan refleksi kemudian menjadikannya sebagai pukulan untuk menuntut kampus memperbarui dan menambah koleksi perpustakaan, kualifikasi dosen, penyusunan kurikulum atau bahkan membuat sebuah pusat studi yang fokus pada kegiatan penelitia.  Semakin banyak yang sadar akan hak mereka, semakin banyak pula mahasiswa yang menuntut tanggung jawab kampus atas keruh-kacau yang terjadi dan bergabung bersama barisan. 

Seperti apa yang dikatakan Žižek “don’t just do something, talk!" untuk membalikan seruan NATO – No Action Talk Only! yang sering dilancarkan para aktivis yang getol melakukan aksi kepada para aktivis yang selalu sibuk dengan diskusi dan minim aksi. Makna penting dari statemen Žižek adalah kita harus benar-benar tahu apa yang diperjuangkan dan langkah apa yang harus diambil, karena aktivisme -meminjam Hizkia Yosie, seringkali terjabak pada seruan iklan Nike “Just Do It!”.
Dimana DPM sebagai representasi mahasiswa?

Dalam mediasi kedua yang mempertemukan pihak Fakultas dan Aliansi Mahasiswa yang berakhir dengan jawaban normatif dari pihak fakultas, Wakil Dekan II Dr. Heri Erlangga sempat menanyakan apakah Aliansi Mahasiswa tidak berkoordinasi dengan Lembaga-Lembaga kemahasiswaan semisal DPM jika ada sesuatu yang ingin disuarakan karena DPM merupakan representasi mahasiswa, karena jika melakukan aksi unjuk rasa di luar terkesan ada suatu masalah yang besar dan menimbulkan perbincangan negatif.

Pertanyaan Wadek II memang tidak salah, DPM merupakan perwakilan mahasiswa yang menampung aspirasi untuk disampaikan kepada pihak fakultas. Jika DPM bekerja, mereka bisa menuntut perpustakaan yang baik, ruang bagi mahasiswa belajar diluar jam perkuliahan sampai pada colokan listrik! Namun sayangnya DPM tidak bekerja seperti seharusnya, apakah orang-orang yang ada didalamnya tidak amanah? Tentu bukan itu masalahnya karena DPM FISIP telah ada sejak tahun 2005 dan apa yang mereka kerjakan dirasa tidak memberi dampak yang signifikan sejak pertama kali hadir dan mendaku sebagai reprsentasi mahasiswa. Lantas apa masalahnya? Masalah yang sebenarnya terletak pada sistem itu sendiri. 

Ketika melakukan pembahasan terkait pembuatan kebijakan baru, fakultas selalu melibatkan elemen mahasiswa di dalamnya, yang dimaksud adalah DPM karena mereka dipilih oleh mahasiswa lainnya melalui Pemilihan Umum Raya (PEMIRA). Asumsi keterwakilan DPM cukup dijadikan alasan oleh Fakultas untuk tidak melibatkan mahasiswa lain yang tidak berpartai dan tidak duduk Lembaga Kemahasiswaan. 

Mengimajinasikan FISIP Unpas yang Lain

Jika kita menyadari bahwa permasalahnnya terletak pada sistem itu sendiri, bagaimana jika membayangkan sistem politik kemahasiswaan yang lain? Seperti dihilangkannya PEMIRA kemudian memilih Ketua Himpunan, BEM dan Anggota DPM melalui musyawarah yang dilakukan disetiap kelas. Jadi, yang duduk dilembaga bukanlah orang-orang yang berasal dari partai namun dari setiap masing-masing kelas. Dari segi penyampaian aspirasi akan lebih efisien dan tidak akan terjadi benturan kepentingan politik antar mahasiswa seperti yang terjadi dalam sistem hari ini dengan mekanisme multi partai. 

Apakah begitu sulitnya mengimajinasikan FISIP Unpas yang lain, imajinasi yang mengacu pada realitas yang terjadi, bukan imajinasi sebagai simulacra. Membayangkan FISIP Unpas yang berbeda dengan hari ini dimana kita semua telah bosan dengan gosip murahan dan debat kusir menjelang Pemira. Jika yang kita perjuangkan adalah perubahan bagi kampus, sangat memungkinkan untuk mencari alternatif lain dan menghapuskan pemira. Terpaksa mengutip kembali Žižek “It is easy for us to imagine the end of the world - see numerous apocalyptic films -, but not end of capitalism”. Mari kita kontekstualisasikan kapitalisme menjadi sistem yang berjalan dikampus hari ini.


Jika yang diperjuangkan adalah kekuasan, jabatan dan kursi pimpinan Lembaga Kemahasiswaan, sulit untuk membuat sejarah baru, bahkan untuk membayangkannya pun tidak akan pernah terlintas. Jika mengobati dahaga kursi jabatan lebih menarik ketimbang mencari alternatif lain dari sistem yang hari ini berjalan, maka idealisasi tentang perubahan terkubur dengan sendirinya, dan marilah kita terus merayakan kemandegan akademik dan kekacauan dikampus kita secara paripurna. (Rifqi Fadhlurrakhman, Prodi Hubungan Internasional 2012, FISIP Unpas, Editor CSS Journal)

No comments