Header Ads

Ia Bilang Ingin jadi Presiden



Melani "Jeje" (doc. twitter.com/melanije) 

Irine. Namaku Irene.
Ayahku adalah seorang pemimpin partai politik di negaraku. Aku bangga padanya karena ayah benar-benar ingin membangun negeri ini, bukan hanya memenuhi kepentingan golongannya, seperti itu yang aku tahu. Ketika aku berusia lima tahun, ayah pernah bilang padaku untuk menjadi anak jujur. Tidak peduli walaupun kejujuran itu nantinya merusak semua hal di masa depan, yang penting jujur.

Hingga pernah suatu ketika aku mendapat nilai dua saat ulangan Bahasa Inggris di sekolah, tapi ayah tidak marah. Dia selalu berkata “yang penting kamu sudah jujur,” sambil mengelus kepalaku dan itu menenangkanku. Kejujuran itu masih menemaniku hingga saat ini. Walaupun pada akhirnya aku sulit dapat teman.

Saat musim pemilu ayah sangat sibuk. Partai lawan juga sangat sibuk, aku tahu itu. Ayahku adalah partai Putih, lawannya partai Hitam. Aku tahu pemimpin partai itu adalah teman ayah sewaktu ayah masih muda. Dia sering bertamu ke rumah.

Pada awalnya aku tidak mempedulikan saat ia bertamu, tapi karena aku menghormati ayah maka aku juga menjaga sopan santunku saat ia datang. Umurku enam belas tahun saat itu, dimana aku bermimpi menjadi seorang presiden. Seorang Presiden perempuan kedua di negeriku. Pernah suatu ketika aku berkata ‘‘Yah, aku akan menjadi Presiden saat besar nanti,”  kataku sambil bermanja dipelukan ayah yang mendengarkan sambil mengecup kepalaku dengan sayang.

Ibuku, entah mengapa selalu berbeda saat pemimpin partai Hitam bertamu ke rumah. Entah pakaiannya yang selalu baru dan wangi, ataupun dandanan yang ia kenakan. Pernah aku bertanya pada ayah, barangkali tahu alasannya dan jawaban ayah, ‘‘mungkin karena Pak H itu teman lama ayah dan ibu, jadi ibu begitu. Wajarlah, nak, itukan salah satu tata krama seorang pemilik rumah,” katanya. Tapi aku tetap curiga. 
Karena kecurigaanku (yang sebenarnya tidak beralasan), aku memberanikan diri untuk mengikuti ibuku pergi. Tentu saja tanpa sepengetahuan ayah dan ibu. Aku tahu setiap hari Rabu pukul tiga siang Ibu berkumpul dengan teman-teman arisannya di sebuah pusat perbelanjaan di kotaku. Aku menunggu di kafe itu selama tiga puluh menit, namun Ibu belum muncul juga. Aku menyesal saat itu, kupikir sia-sia usahaku mengayuh sepeda dari sekolah sampai ke pusat perbelanjaan ini dan dustaku pada ayah yang saat itu sedang tidak enak badan. Aku berdiri dan hendak pergi. 

Baru selangkah aku pergi, kulihat Ibu. 
Ada yang aneh pada saat itu, ibu tidak sendiri. Ia dikawal ajudan-ajudan yang tidak asing lagi wajahnya bagiku. Aku pun kembali duduk dan bersembunyi seraya mengintip ke arah meja ibu. Kulihat ketua partai hitam sedang mengobrol dengan ibu. Aku menangis pada saat itu. Tidak kusangka ibu yang aku sayangi bohong pada ayah. Aku pun memotret mereka agar Ayah tahu apa yang ibu lakukan.
Aku pergi dengan segera setelahnya, namun ketika aku baru saja keluar dari kafe itu, kudapati diriku disergap oleh lelaki berbadan besar, dan kesadaranku hilang seketika.

****
‘‘Dia tau semuanya, sayang. Dia bisa jadi ancaman untuk masa depan kita nanti.”
Kalimat itu terus terngiang di kepalaku. Semenjak kejadian itu hidupku kembali tidak tenang, perasaanku cemas dan pikiranku melayang kepada kekasih dan anakku. Irene, apa yang ia lakukan di kafe itu sendirian dan pada hari Rabu! Anak bodoh!
Yang suamiku tahu, Irene anak semata wayang kami telah menghilang selama tiga hari. Sedangkan yang aku tahu, ia berada bersama kekasihku, selama tiga hari.
Kulihat ruang kerja suamiku dan kutemui ia sedang mengelus foto Irene dengan wajah berduka. Irene! Irene! Irene! Selalu anak itu, kenapa ia tidak lagi peduli padaku sejak anak itu lahir. Sialan. Dengan enggan, kudekati ia yang masih merunduk menatap foto Irene.

‘‘Dia bilang ingin jadi seorang Presiden kelak, Wati,” katanya dingin. Tanpa menoleh kearahku.
‘‘Aku tahu itu, Aris. Irene anak yang kuat, ia pasti baik-baik saja saat ini.”
Aku duduk di hadapannya, ia masih tidak menoleh kearahku. Tatapannya mati, air mata masih membekas di kedua pipinya yang pucat. Aku tahu bahwa percuma aku menghiburnya saat ini, ia tidak akan menanggapiku. Enggan aku pergi saat itu, namun suara telepon seluler mengusik rasa engganku. Kulihat layar telepon selulerku.

Mas Herdi.
Segera aku pergi dari ruangan itu dan meninggalkan suamiku sendiri.
“Mas?” tanyaku saat kujawab panggilan telepon darinya.
‘‘Wati, apa kabar si Aris si bajingan sialan itu?” katanya dari seberang telepon. Marah adalah hal kedua dalam pikiranku saat mendengar kalimat itu. Apa ia bodoh meneleponku saat aku berada di rumah? 
‘‘Herdi! Jaga omongan kamu. Ia masih sama seperti tiga hari yang lalu. Daripada itu, bagaimana Irene? Apa yang kamu lakukan padanya?” tanyaku cemas.
‘‘Aman sayang, aman.”
Dan telepon terputus.

****
‘‘Benar-benar beruntung aku ini. Bukan hanya ibunya yang aku dapati di ranjang kamar tidurku, tapi juga anaknya. Beruntung benar aku ini,” batinnya saat melihat tubuh wanita yang terbujur kaku berada di ranjangnya. Wajahnya cantik, tubuhnya segar dan mata berbinar serta mulut yang pandai bicara. 
Irene masih bernafas, kaki dan tangannya masih berusaha melepaskan diri dari ikatan yang membelenggunya. Air matanya masih mengalir, batinnya menjerit, pikirannya kacau, ia ingin pulang.

“Seandainya saja ia tahu, sayang. Ibumu adalah wanita terbodoh di dunia. Kuberi ia puisi, menari-nari hatinya, kuberi ia lagu tersungging senyum di bibirnya, dan kuberi ia cincin memerah wajahnya. Tidak pernah kulihat wanita sebodoh ia,”  katanya. Sambil berlalu dan mengambil rokok yang tergeletak pada meja. 
‘‘Kalau bukan saja karena Ibumu, Aris pasti tidak akan seperti ini. Payah! Apa yang ia dapat dari wanita bodoh itu? Tidak ada! Lihat sekarang, wanita itu lebih memilih aku yang jelas-jelas akan memenangkan pemilu tahun ini. Aku harus berterimakasih pada ibumu, sayang. Ia benar-benar jalan pintas untuk menghancurkan Aris.”

Ia memungut sebotol sianida hidrogen dan memasukkannya ke dalam botol suntik. Senyum bahagia tersungging dibibirnya. Ia hisap lagi tembakau yang asapnya mengepul di udara kamar itu, lagi dan lagi sambil terus tersenyum. Kebahagiaan terpancar di wajahnya.
Irene masih berusaha melepaskan diri sambil berdo’a pada Tuhan, ia masih ingin selamat. Terlintas dipikirannya, Ayahnya yang saat ini menangisi kepergiannya, pasti kalut benar. Masih ada yang harus ia lakukan, masih ada satu kejujuran yang harus ia ungkapkan. Pikirannya melayang-layang, mencari cara bagaimana bisa lepas dari tali-temali yang terus menjeratnya selama tiga hari ini.
‘’Jadi, sayang, aku mengucapkan terima kasih untuk tiga hari yang menyenangkan ini. Selamat tinggal. Terima kasih sudah hadir di dunia ini.”

****
“Ia bilang ingin jadi Presiden, Wati,” katanya lagi, di depan nisan anak kami. 
“Ia tidak pernah berkata bohong, Wati. Aku tahu itu.” Air matanya masih mengalir, tidak pernah kering.
“Sudahlah, Aris. Ia tidak akan senang melihatmu seperti ini. Lihatlah ke depan Aris, sebentar lagi kau akan punya anak lelaki. Anak yang kau inginkan selama ini.” Kataku, sambil meletakkan tangannya di perutku.
“Ia pernah bilang ingin jadi Presiden..”

Melani “Jeje”, Hubungan Internasional Universitas Pasundan 2015

No comments