Header Ads

Penggusuran Perpustakaan Jalanan dan Teror Negara




Opini, Ilyas -- Sabtu 20 agustus 2016, ketika itu komunitas perpustakaan jalanan sedang mengadakan kegiatannya seperti biasa di Cikapayang Dago, Bandung. Disana terdapat buku-buku, zine dan beberapa artwork dari kawan-kawan yang aktif menyumbangkan karya-karyanya untuk sekedar menyediakan alternatif dari media arus mainstream saat ini. Namun pada pukul 23.00 datang 2 truk TNI, 1 mobil polisi militer, mobil preman dan sepeda motor. Kurang lebih terdapat 50 personil. “Mereka membawa senjata api dan pentungan rotan. Turun dari kendaraan, mereka membubarkan kerumunan orang di Taman Cikapayang sambil berteriak dan membentak dengan kasar,” tulis indra, pegiat Perpustakaan Jalanan dalam keterangan persa yang diterima CNNindonesia.com

Kepala Penerangan Kodam Siliwangi Letnan Kolonel M.Desi Ariyanto mengatakan dalam keterangan tertulisnya, bahwa kegiatan literasi yang digagas Perpustakaan Jalanan meresahkan dan menjurus ke kegiatan negatif. Ariyanto mempertanyakan kegiatan perpustkaan jalanan di malam hari dan ditempat publik, selain itu beliau menduga kegiatan tersebut dapat memantik tindakan negatif, serupa dengan apa yang dilakukan geng motor.

Kodam Siliwangi juga meragukan substansi buku yang disediakan  Perpustakaan jalanan. “Apakah buku tersebut adalah buku-buku yang diizinkan dibaca oleh kaum muda atau malah buku yang di dalamnya berisi topik tidak sesuai.”

Kolektif Perpustakaan Jalanan

“Komunitas ini sudah menjalankan kegiatannya sejak awal dibentuknya yaitu pada 2010, tepatnya 6 tahun yang lalu. Tergerak oleh slogan grafiti Paris 1968 “Kebosanan adalah kontra-revolusioner”, mereka memutuskan untuk bergerak dari lembabnya kamar kosan ke jalanan”. Tempat cikapayang dago dipilih karena, selain menjadi melting spot bagi banyak  kalangan yang singgah atau sekedar melintas di Bandung. Taman ini juga menyediakan penerangan yang baik dibandingkan dengan taman-taman lain. Taman ini adalah representasi kota, dimana semua berada disana. Pedagang kaki lima, pejalan kaki yang melepas lelah, pemuda yang berolah raga ringan, klub motor yang berbagi pengalaman, dan lain sebagainya. Kegiatan ini bukan tanpa alasan, mereka ingin kegiatan yang mereka gagas ini memberikan adanya perubahan kearah yang lebih baik bagi masyarakat kita.

Lewat kegiatan membaca pengetahuan seseorang akan bertambah dan ditambah dengan adanya beberapa jenis tulisan, pengetahuan seseorang terhadap suatu hal tidak hanya satu sudut pandang saja, tetapi menjadi luas. Selain itu adanya akses bacaan yang mudah bagi semua orang mendobrak keadaan yang terjadi selama ini, yaitu bahwa hanya orang yang memiliki uang yang dapat mengakses buku bacaan. Ini terbukti sebagian pembaca perpustakaan jalanan adalah golongan yang termarjinalkan, yang dijadikan bodoh oleh sistem yang ada, mulai dari pedagang kaki lima hingga pemulung. Kegiatan laiinya adalah kegiatan bedah buku, diskusi dan sharing, agar pemahaman yang didapat setelah membaca dapat bertambah.

Terror Negara dan Hegemoni

Tindakan represif dan pembubaran terhadap aksi damai Aliansi Mahasiswa Papua di Yoyakarta, Pembubaran Lady Fast di Yogyakarta, dan yang baru-baru ini terjadi adalah pembubaran kegiatan Perpustakaan Jalanan di Bandung, kesemua itu merupakan beberapa peristiwa tindakan represif aparat dan ormas terhadap warga sipil sebagai bentuk terror negara, sepanjang 2016 ini.

Sebenarnya jika melihat sejarah tindakan represif aparat dan ormas sebagai bentuk Terror Negara, sudah tejadi di negeri ini, ketika terjadi pembantaian besar-besaran pada 1965-1966. Negara ketika itu bahkan berperan aktif dalam pembantaian warga sipil yang dituduh anggota PKI dan pendukung Soekarno. Lewat aparatnya Negara mengorganisir beberapa ormas untuk turun langsung membasmi warga sipil yang diduga PKI. Setelah peristiwa itu terjadi Soekarno lengser dan digantikan oleh rezim militer Soeharto. Masyarakat kemudian dilanda terror dan phobia komunis, pemerintah menjadi anti-kritik, siapa saja yang berani berbicara soal kebobrokan pemerintahan akan di cap sebagai komunis atau subversif. Buku-buku yang sebagai komunis disita atau dibakar, kegiatan diskusi dan bedah buku dibubarkan dan dilarang.

Sebuah harapan baru muncul ketika rezim soeharto lengser pada mei 1998. Namun itu hanya sekedar harapan belaka, sejatinya runtuhnya rezim diktator itu adalah suatu proses perubahan dari kapitalisme negara (otoriter) kepada bentuk kapitalisme demokrasi (pasar bebas). Kala itu Asia dilanda krisis dan indonesia terkena dampaknya, dan seperti kata Karl Marx, bahwa krisis adalah momen dimana kapitalisme memperbaiki dirinya. Saat itu, Kapitalisme negara (otoriter) malah menjadi penghambat terciptanya pasar bebas akibat birokrasi pemerintahan Soeharto yang korup. Arianto Sangaji dalam tesisnya menyebutkan bahwa adalah mitos jika peran negara semakin lemah dalam Neoliberalisme, justru peran negara sangat dibutuhkan dalam mengartikulasikan agenda tersebut.

Salah satunya adalah lewat tindakan represif aparat dan ormas-ormas bentukan dan binaan aparat. Gramsci dalam Negara dan Hegemoni mengatakan, kelas borjouis dapat mendominasi kelas proletar melalui dua cara yang meyakinkan:

1.  Dominasi ekonomi nyata, ancaman kehilangan pekerjaan atau kekuatan nyata.
2.   Mengontrol ide-ide (Hergemoni).

“Kelas dominan perlu untuk menyusun apa yang disebut ‘persetujuan spontan’-dengan berbagai cara membuat konsensus kepada seluruh masyarakat”, tutur Gramsci. Menurut Gramsci Hegemoni dapat dikarakteristikan dalam berbagai cara salah satunya adalah dengan menggunakan kekuatan fisik, untuk melawan minoritas yang membangkang persetujuan mayoritas yang ada.

Dalam kasus pembubaran aksi damai Aliansi Mahasiswa Papua, pembubaran acara Lady Fast, dan pembubaran kegiatan Perpustkaan Jalanan. Aparat dan preman berperan sebagai kekuatan fisik yang melawan minoritas yang membangkang persetujuan mayoritas, yaitu keadaan “taken for granted”. Bahwa hidup ditengah kapitalisme yang semakin hari semakin merenggut sisi kemanusiaan kita, harus diterima begitu saja sebagai kodrat. Apa yang coba disuguhkan oleh kolektif Perpustkaan Jalanan adalah akses informasi melalui buku-buku, dan zine-zine yang disediakan di lapak mereka adalah bahwa alternatif kehidupan lain selain yang kita jalani hari ini itu mungkin.

Dikutip dari CNN, Kepala Penerangan Kodam Siliwangi Letnan Kolonel M. Desi Ariyanto, mengatakan “Apakah benar buku-buku tersebut adalah buku yang diizinkan untuk dibaca oleh kaum muda atau malah buku yang dalamnya berisi topik yang tidak sesuai”. Jika dilihat pernyataan ini mengukuhkan bahwa, negara lewat aparatnya mengatur sedemikian rupa agar, informasi apapun yang diterima masyarakat  “sesuai”. Dengan kata lain tidak mengancam keadaan “taken for granted” sebagai sebuah kesepakatan yang dibuat oleh kelas yang mendominasi.

Masyarakat hari ini dibuat harus menerima begitu saja apapun yang sudah menjadi kebijakan pemerintah dan siapapun yang menolak akan berhadapan dengan terror negara. Meminjam apa yang dikemukakan gramsci “Institusi media massa adalah pusat bagi ide-ide, pembenaran, sikap dan perspektif yang merupakan pabrik akal sehat atau nalar umum sehari-hari”, lewat media arus mainstream hari ini, ideologi kapitalisme terus memprodkusi budaya dan cara pandang yang menganggap normal ekploitasi dalam kedidupan kapitalisme.

Hegemoni sebagai Perlawanan

Hegemoni bukan hanya sebuah metode kontrol yang bisa digunakan oleh kapitalis borjuis. Proletar juga dapat menggunakannya untuk kepentingan mereka sendiri. Tetapi, mereka tak dapat mengerjakannya sendiri, dengan kata lain bersolidaritas. Mereka butuh bekerjasama atau bersolidaritas dengan kelompok tertindas lain. Dengan semangat inilah para mahasiswa sayap kiri buruh industri bergabung di Perancis dalam peristiwa tekenal tahun 1968. Semua kelompok dapat memberikan kontribusi khusus mereka kepada perjuangan dan membentuk kehendak kolektif rakyat.

Tetapi seperti apa yang dikemukakan sebelumnya, borjuis dapat menggunakan kekuatan fisik untuk memukul mundur perlawanan yang digalang oleh proletar, jika mayoritas menyetujui. Dan dalam kasus Paris 1968, mayoritas melihat perlawanan yang digalang oleh mahasiswa dan proletar sebagai sesuatu yang mengancam kehidupan “normal” mereka.

Sumber:
Rupert Woodofin, Oscar Zarate. 2008. Marxisme Untuk Pemula. Yogyakarta: Resist Book.
IndoProgress. Jurnal Perlawanan Progresif, Edisi 1 september 2011, “AGAMA DAN NEGARA, jejak persilangan kekerasan.” Yogyakarta: Resit Book.
http://m.cnnindonesia.com/nasional/20160823092812-20-153180/kodam-siliwangi-bubarkan-perpustakaan-jalanan-di-bandung/
http://m.cnnindonesia.com/nasional/20160823185722-20-153349/perpustakaan-jalanan-disebut-kedok-modus-geng-motor-bandung/
https://perpustakaanjalanan.wordpress.com/2013/09/13/tentang-perpustakaan-jalanan/

Ilyas Gautama
Administrasi Negara 2015

No comments