Header Ads

Sebuah Tanya : Ke Mana Arah Politik Mahasiswa FISIP Sebenarnya?

Ilustrasi

Opini, Yoga -- Hari ini manusia hidup di dalam sebuah zaman yang paradoks, zaman yang telah mengantarkan manusia kepada pencapaian yang gemilang dari Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) tetapi di sisi yang lain kemiskinan, kelaparan, dan peperangan masih saja terus menghantui kehidupan manusia. Lantas siapa yang bertanggung jawab akan hal ini?

Di Perancis 227 tahun yang lalu “Liberte, Egalite, Fraternite” digaungkan oleh seluruh lapisan masyarakat baik dia seorang buruh, petani, bangsawan, rohaniawan dan juga termasuk kaum intelektual semuanya bersatu menggalang kekuatan untuk menancapkan asas demokrasi yang dianggap lebih manusiawi. Mereka semua adalah kaum reformis yang berani melawan kebenaran zamannya. Mereka adalah orang-orang yang mempunyai kesadaran akan fungsi dan tanggung-jawab sosialnya sebagai masyarakat dan sebagai seorang manusia ketika keadaan sedang dalam kekacauan, bahwa bagi mereka asas-asas yang mendasari kenyataan pada kala itu sangat bertentangan dengan apa yang menjadi keinginan dari rakyat seluruhnya.

Seiring dengan denyut sejarah, kita sebagai bangsa Indonesia sendiri seolah terbius oleh romantisme demokrasi yang dihembuskan gerakan reformasi 1998, seakan-akan segala sesuatu yang dibawa olehnya adalah kebebasan dan keadilan semata-mata tanpa memperhitungkan kesalahan-kesalahan fundamental yang diterapkan melalui demokrasi itu sendiri.

Secara etimologi istilah demokrasi merujuk kepada kata Yunani demos yang berarti rakyat dan kratos/kratein yang berarti kekuasaan dengan begitu dapat kita artikan bahwa demokrasi adalah pemerintahan yang dijalankan oleh rakyat atau kekuasaan berada di tangan rakyat. Ide mengenai demokrasi dianggap yang paling ideal karena cara-caranya yang halus dan jauh dari unsur kekerasan, terlebih lagi demokrasi adalah bentuk sistem pemerintahan yang mewakili sebagian besar keinginan dari rakyat seluruhnya, dan sekurang-kurangnya di dalam demokrasi kontemporer akan selalu terdapat konsep trias politica ala John Locke dan Montesquieu sebagai pola keseimbangan atas kekuasaan.

Namun demokrasi secara praktis tidak selalu mencerminkan keinginan dari rakyat bahkan demokrasi memiliki kecenderungan untuk menjadi instrumen pragmatis para aktor politik (orang-orang yang bermodal) dalam memanipulasi dan memonopoli berbagai kepentingan demi mencapai keinginan mereka.

Oleh sebab itu kita tidak dapat membiarkan demokrasi berjalan begitu saja apalagi dengan mudahnya percaya kepada aktor-aktor politik yang setiap saat mampu mengubah pengertian demokrasi sesuai dengan keinginan mereka. Kita tidak boleh menerima sesuatu hal sebagai kebenaran yang mutlak.

Bersambung ke "Kekuasaan Mahasiswa FISIP Unpas"

No comments