Header Ads

Tidak Ada Keadilan bagi si Miskin (bag 1)




Siang itu matahari berada tepat diatas kepala Roy, ketika ia sedang menyusuri rel kereta api. Sambil mengapit sebuah ukulele ditangan kirinya, ia dengan teliti menghitung uang recehan. “47, 48, 49, 50, ah alhamdulillah,” ia senang hari ini mendapatkan penghasilan yang lebih dari hari-hari biasanya. Dengan jumlah uang sebesar itu ia berpikir untuk memanjakan lidahnya, ia pergi ke warung nasi padang yang jaraknya tidak jauh dari rel kereta api itu. Hal ini jarang dilakukan, penghasilannya mengamen membuatnya harus menahan lapar dari pagi sampai sore. Setelah beberapa saat memilih menu, dipilihnya dua potong daging rendang untuk makan siangnya.

Pesanan dibungkus dan dia keluar dari rumah makan itu. Ia sadar seisi rumah makan itu akan risih melihat anak remaja berbaju biru dengan noda cokelat di sana-sini serta berbau keringat, makan pada ruangan yang sama dengan mereka. Pada sebuah pohon beringin rindang di pinggir rel kereta api, ia memutuskan untuk duduk dibawahnya sambil menyantap nasi padang. Tempat itu agak sedikit jauh dari keramaian, karena sisi kanan-kirinya adalah lahan penuh dengan ilalang. Untuk sampai ketempat itu, kau harus menyusuri rel kereta api dari parkiran rumah sakit Dustira di kota Cimahi sejauh 500 meter.

Ia makan dengan lahapnya seperti seorang yang dilanda kelaparan di tengah gurun pasir sahara, dan baru menemukan makanan setelah 7 hari. Tak sampai lima menit nasi dan dua potong daging rendang itu habis dimakan.

Setelah menghabiskan makan siangnya Roy memutuskan untuk kembali mengais rezeki. Ditumpanginya angkot jurusan Pasar Atas-Cimindi yang sedang ngetem di depan Rumah Sakit Dustira. Tampak seorang pria paruh baya dengan menggunakan setelan pegawai negeri duduk di pojokan kiri depan, dekat dengan sopir. Di pojok kanan dan kiri belakang, duduk seorang wanita paruh baya yang menjinjing keranjang belanja yang berisi sayuran dan buah-buahan. Remaja putri yang menggunakan seragam SMA di sisi berlawanan.

Mereka semua asik dengan kegiatannya masing-masing, tak memperdulikan musik yang dibawakan oleh Roy. Si remaja putri asik memainkan gawainya, wanita paruh baya asik dengan lamunannya dan pria pegawai negeri itu asik mengobrol dengan sopir angkot tentang harga BBM yang naik. Lagu pertama selesai bersamaan dengan masuknya seorang mahasiswa laki-laki dengan mengenakan jas almamater. Setelah melewatkan beberapa menit sambil menunggu penumpang, sopir memutuskan untuk berangkat.

Mobil angkot itu melaju melewati sebuah toko swalayan dan perlintasan kereta api. Keadaan seperti sebelumnya masih sama ketika Roy mulai memainkan lagu kedua. Walau suaranya sumbang dan agak serak, ia masih semangat. Skillnya dalam memainkan ukulele yang cukup baik, sedikit menutupi suara sumbang dan seraknya. Wajahnya yang ramah membuat ia memberikan sedikit rasa simpati pada orang-orang.

Lagu kedua selesai bersamaan dengan turunya wanita paruhbaya yang duduk di pojok kanan. Dengan tergesa ia mengeluarkan uang di dompetnya, dua ribu rupiah ia berikan kepada sopir. Angkot melaju kembali dengan kecepatan perlahan karena tampak beberapa meter didepan, anak smp sedang berdiri di halte.

Ketika wanita itu hendak memasukan dompet itu ke saku kanannya , dompet itu terjatuh. Roy yang melihat kejadian itu dari tempat duduknya di angkot, langsung turun. Beruntung angkot melaju dengan perlahan sehinga ia turun tanpa terjatuh. Ketika Roy berlari ke tempat dompet itu terjatuh, wanita itu tengah berjalan kepangkalan tukang ojeg. Roy berteriak, namun karena jarak yang sudah jauh wanita itu tidak mendengar.

Pangkalan tukang ojeg itu berada dibelakang halte dan terpisah dengan jalan raya oleh sebuah sungai agak lebar. Roy harus melewati jembatan dengan panjang lima meter untuk sampai dipangkalan ojeg. Ia bertanya kepada salah satu tukang ojeg, mengenai alamat yang dituju wanita itu. Diketahui bahwa wanita itu tinggal di Perumahan Majapahit No. 99. Setelah menanyakan arah ia kembali melangkah dengan niat baik, untuk mengembalikan dompet.

Dari pangkalan tukang ojeg itu ia berjalan lurus lima ratus meter, dan berbelok kanan, kemudian berbelok kiri. Roy tidak mengetahui informasi apa saja yang tertera didalam KTP. Sehingga alamat yang diberitahukan oleh tukang ojeg harus di ingat olehnya, masalahnya Roy sering ceroboh dan melupakan hal-hal yang penting. Hal inilah yang membuatnya tersesat setelah berjalan melewati beberapa belokan.

Komplek Majapahit adalah perumahan dinas milik aparat, sehingga bangunannya hampir semua berbentuk sama dan bercat sama. Hanya pangkat pemiliknya yang membedakan bentuk dan ukuran rumah-rumah yang ada disana. Dalam keadaan kebingungan ia berjalan tergesa menyusuri jalan perumahan itu.

Oleh: Ilyas Gautama

Tidak ada komentar