Header Ads

Seni dan Melawan ala Dead Poets Society



Judul: Dead Poets Society
Produser: Silver Screen Partners IV, Touchstone Pictures
Penulis: Tom Schulman
Sutradara: Peter Weir
Pemeran: Robin Williams, Robert Sean Leonard, Ethan Hawke, Josh Charles, Gale Hansen, Dylan Kussman, Allelon Ruggiero dan James Waterston
Tahun Rilis:  2 Juni, 1989


“We don't read and write poetry because it's cute. We read and write poetry because we are members of the human race. And the human race is filled with passion. And medicine, law, business, engineering, these are noble pursuits and necessary to sustain life. But poetry, beauty, romance, love, these are what we stay alive for." (John Keating, Dead Poets Society)

Seni sering dianggap oleh masyarakat pada umumnya, hanya sebagai hiburan dan pelarian dari persoalan hidup saja. Dan lembaga pendidikan hari ini pada umumnya sering menganggap seni sebagai keterampilan tambahan saja, selain bidang-bidang yang subur dan jelas. Film Dead Poets Society berhasil menggambarkan pandangan masyarakat dan lembaga pendidikan pada umunya hari ini terhadap seni. Kita bisa lihat bagaimana Tom, Ayah dari Neil Perry, menganggap bahwa kegiatan seni drama yang dilakukan anaknya adalah sesuatu yang tidak penting dan membuang-buang waktu. Bahkan Tom menganggap bahwa cita-cita anaknya sebagai seorang aktor dapat menghancurkan hidupnya.

Tom menginginkan anaknya menjadi seorang dokter. Karena penolakan yang terus menerus dari Neil Perry, Tom akhirnya mengeluarkan anaknya dari Akademi Welton dan memasukannya ke sekolah militer. Hingga akhirnya Neil bunuh diri akibat frustasi. Padahal jika kita punya kemauan menggali seni lebih jauh lagi, seni jauh lebih kompleks dari sekedar keindahan.

Melalui lukisan dengan reka citranya; melalui puisi dengan pengolahan katanya, melalui musik dengan rajutan nada, dinamika dan iramanya; melalui tarian dengan olaeh cipta geraknya; melalui novel, teater dan film dengan kontruksi dramatiknya, dst. Seni memberi bentuk pada pengalaman yang tak jelas bentuknya (amorf). Seni menampilkan yang tadinya tersembunyi, mengartikulasikan yang tak terartikulasikan. Melalui seni pengalaman manusia terhadap dunianya mampu terlukiskan, terkatakan, terumuskan, tersuarakan dan terungkapkan.

Dari sisi ini yang hendak dirogoh dan diungkapkan oleh seni sesungguhnya bukan sekedar ‘Keindahan’ fisik seperti yang lazim dikira orang ‘Kebenaran’. Kebenaran disini bukanlah kebenaran ilmiah (kebenaran tentang pola-pola teratur alam), bukan kebenaran religius (kebenaran sesuai wahyu dan hukum Tuhan), bukan kebenaran moral (kebenaran normatif ideal), melainkan ‘Kebenaran Eksistensial’ (the truth of being). Artinya yang hendak disampaikan oleh seni adalah bahwa hidup itu nyatanya dialami seperti ini. Oleh karenanya seringkali kompleksitas pengalaman manusia tentang dunianya seringkali hanya bisa terlukiskan, terekam dan terkatakan lewat karya lukis, film dan sastra yang bagus.

Dan dalam film Dead Poets Society, Mr. Keating mencoba menyampaikan hakekat seni kepada muridnya bahwa, “pengobatan, hukum, bisnis, teknik. Itu semua pekerjaan mulia dan diperlukan untuk mempertahankan hidup. Tetapi puisi, keindahan, asmara, cinta, berguna bagi kita untuk tetap hidup”. Keating mencoba menyampaikan bahwa seni justru adalah hal yang bisa dibilang paling esensial dan dengannya menurut Keating ‘kita tetap hidup’.

Pada adegan sebelum Keating menyampaikan pesan itu kepada muridnya, ia menyuruh muridnya itu merobek bagian suatu buku, yang ia anggap bagian itu perlu di musnahkan. Bagian buku itu menjelaskan mengenai bagaimana memahami puisi. Melalui pertanyaan (1) bagaiamana seni menerjemahkan tujuan puisi? (2) seberapa penting tujuan itu?. J. Evans Pritchard dalam bukunya Understanding Poetry itu, menyarankan agar dibuat suatu diagram untuk membandingkan satu puisi dengan puisi lain, melalui perbandingan ritme dan iramanya.“Membosankan” kata yang terlontar dari Keating setelah salah satu muridnya Neil Perry selesai membaca bagian buku itu. “Kita tidak sedang membuat saluran pipa. Kita sedang membicarakan puisi”, lanjut oleh Keating.

Paparan mengenai puisi menurut J. Evans Pritchard dalam film itu merepresentasikan bagaimana seni pada kian hari kian jauh dari hakekatnya yaitu sebagai proses pemaknaan atas kehidupan. J.Evans Pritchard mereduksi makna dibaliknya lewat penelusuran tujuan dan seberapa penting tujuan itu. Alih-alih menjadi sesuatu yang memiliki makna tersendiri bagi penikmatnya, makna puisi oleh J. Evans Pritchard dipersempit menjadi hanya mengenai keindahan, dan patut-mematut kata saja.

Pemahaman masyarakat akan seni tak kalah memprihatinkan. Pandangan mengenai seni dan khususnya mengenai puisi, yang melulu dianggap sebagai hal yang tak berfaedah, cengeng dan mebuang-buang waktu adalah potret pandangan masyarakat kebanyakan mengenai seni. Dead Poets Society kemudian hadir. Dead Poets Society adalah sebuah klub membaca puisi yang digagas oleh Keating ketika masih di akademi itu. Sebuah klub yang ilegal dan dilarang di akademi itu. Klub ini dilanjutkan oleh murid-murid Keating kemudian. Digawangi oleh Neil Perry, Charlie Dalton, Knox Overstreet, Steven Meeks, Pitts, Todd Anderson dan Cameron. Mereka semua sering mengadakan peretemuan mereka pada sebuah goa yang letakanya tak jauh dari akademi itu.

Dalam goa itu satu persatu Neil dkk mencoba untuk membentuk ruang dimana mereka bisa mengaktualisasikan diri mereka. Lewat puisi, mereka bisa mengatakan apa sebelumnya tak terkatakan dalam pengalaman hidup mereka. Melalui drama Neil mencoba untuk mengaktualisasikan dirinya dalam tokoh yang ia perankan. Namun lebih dari itu anak-anak itu mencoba memberikan makna dalam kehidupan yang mereka jalani setiap hari yang monoton dan penuh dengan aturan yang megekang di Akademi Welton.
Welton Academy, Ideological State Aparatus dan Reproduksi Kelas Pekerja

“Karena pelatihan-pelatihan yang diperlukan praktik-praktik perniagaan, bahasa-bahasa dan sebagainya, makin lama makin diproduksi secara cepat, mudah, universal dan murah dengan majunya ilmu pengetahuan, dan pendidikan publik, makinlah corak produksi kapitalis mengarahkan metode pengajaran dan sebagainya ke arah tujuan-tujuan praktis”.
(Marx ,1962a; 295, as cited in Dede Mulyanto, 2012).

Welton Academy dalam film tersebut merupakan sebuah akademi yang memiliki 4 pilar utama tradisi, kehormatan, disiplin dan jaminan mutu. Murid-murid dalam akademi itu di didik untuk bisa lulus dengan nilai dan kepribadian sempurna agar dapat masuk pada perguruan tinggi bergengsi. Dari mulai tugas, makanan, sampai jam istirahat diatur sedemikian rupa agar mereka semua bisa disiplin dan patuh pada aturan. Sebuah pelatihan dan persiapan agar mereka sudah siap sedia ketika kelak mereka dijadikan tenaga kerja upahan.
Dalam sistem kapitalisme reproduksi  kelas pekerja sangatlah diperlukan dalam proses kelangsungan sirkulasi kapitalnya. Karena tanpa tenaga kerja yang dibawah uang tetaplah uang, bukan kapital. Tanpa kapital tidak akan ada produksi.

Didalam konteks reproduksi kapital, keberadaan golongan sosial ini tidak hanya terus menerus diciptakan dari komposisi sosial yang ada, tetapi juga diciptakan terus menerus sesuai dengan kebutuhan kapital yang merevolusi kekuatan produktifnya. Tidak sama dengan komoditi industrial, tenaga kerja ada di dalam tubuh manusia. Tubuh itu bukan hanya tubuh fisiologis tapi juga tubuh sosial. Tubuh-tubuh dan tenaga kerja siap pakai tidak tersedia begitu saja di alam. Masyarakat kapitalis harus menciptakannya.

Dalam bukunya Genealogi Kapitalisme, Dede Mulyanto menjelaskan bahwa tenaga kerja memiliki dua aspek; aspek nilai dan aspek fisik. Aspek nilai berkaitan dengan nilai dan harga tenaga kerja. Nilai ini ditentukan oleh kebutuhan tenaga kerja yang terus berkembang seiring kemajuan zaman. Aspek fisik adalah berkenaan dengan keterampilan yang dikuasai. Keterampilan dari para tenaga kerja ini diperoleh melalui pelatihan-pelatihan dan pendidikan yang diakomodir oleh kurikulum lembaga pendidikan.

Kenyataan yang dikatakan Marx bisa kita lihat juga pada awalan film Dead Poets Society. Kepala sekolah dari Welton Academy dengan bangga mengumumkan keberhasilan murid-muridnya mencapai perguruan tinggi bergengsi. Sebuah contoh bagaimana lembaga pendidikan hari ini hanya mengakomodir kebutuhan praktis. Selain itu dalam adegan lainnya kita dapat menemukan bahwa lembaga pendidikan tidak hanya berperan sebagai pencetak “proletariat terdidik”, tapi juga patuh dan sukarela.

Melalui ideologi, kapitalisme bekerja secara efektif. Lewat apa yang disebut Althusser sebagai Ideological State Aparatus. Ia bekerja secara “halus” berbeda dengan Repressive State Aparatus (militer, kepolisian, hukum, penjara dan pengadilan). Ideologi yang menyebar pada seluruh praktik kehidupan, pada tindakan kecil dan besar, pada pikiran awam dan ilmiah, pada percakapan iklim cuaca hari ini dan iklim politik negeri ini, pada semua sela-sela kecil kehidupan manusia.

Althusser tidak hanya melihat bagaimana struktur besar seperti ekonomi, negara (dengan perangkat hukum dan keamannya) serta agama, berpengaruh terhadap individu dalam kehidupannya di masyarakat , tetapi lebih dasar lagi, ia mengkaji sejak tangis pertama seorang bayi di dunia pengaruh struktur sudah ditanamkan disana. Kepercayaan yang tertanam tanpa disadari itulah yang dinamakan ideologi oleh Althusser. Sebab bukan hanya keterampilan yang dibutuhkan tetapi kesiapsediaan dan kepatuhan mereka.

Dalam film Dead Poets Society kita melihat bagaimana orang tua dari Neil Perry yang menuntut anaknya untuk lulus dan sekolah di kedokteran. Neil dilarang oleh ayahnya melakukan kegiatan apapun yang dianggap mengganggu kegiatan akademisnya. Neil tidak pernah diberi ruang sedikitpun untuk melakukan apapun yang dia mau. Ia harus mengubur dalam-dalam cita-citanya sebagai aktor. Hingga akhirnya bunuh diri karena frustasi terhadap kekangan orang tuanya. Namun satu hal yang penting, Neil berhasil melakukan apa yang ia mau sebelum ia mati.

Pada tokoh Cameron hal terjadi justru berbeda. Kapitalisme menemukan keberhasilan dalam membentuk kesadaran dan keterampilan yang dipersiapkan kelak ke dunia kerja. Ada adegan dimana untuk hal-hal yang secara sederhana bisa dilakukan dengan efektif, Cameron melakukannya secara sistematis dan bertele-tele. Selain itu potret individu dalam kehidupan kapitalisme yang egois dan serakah, terekam jelas pada sosok Cameron. Ketika ia dengan sengaja dan sadar menyetujui bahwa Mr. Keating sebagai sosok yang bertanggung jawab terhadap kematian Neil Perry dan menyuruh teman-temannya untuk setuju dengannya karena hal itu yang bisa menyelamatkan mereka. Padahal Mr. Keating adalah sosok yang justru menginspirasi mereka untuk melakukan hal-hal yang baru di hidup mereka.

Keating mengajarkan kepada murid-muridnya bahwa hidup itu bukan soal bertahan hidup saja. Bahwa hidup itu juga memiliki ciri khas dan keunikannya. Adalah hal yang sungguh percuma menurut Keating jika tidak menikmatinya dan melakukan apa yang kita mau dalam hidup.

Daftar Pustaka
Sugiharto, Bambang, 2015, Untuk Apa Seni?, Bandung: Matahari, hlmn 17.
Ibid, hlmn 18

Ilyas Gautama
Mahasiswa Administrasi Negara 
FISIP Unpas 2015 



Tidak ada komentar