Header Ads

Katakan Tidak Pada Humor Seksis!


Opini, Melani -- Jokes atau humor menjadi sebuah hal yang patut hadir dalam sebuah obrolan. Malah, tanpa humor sebuah obrolan atau percakapan panjang akan terasa menjenuhkan. Jika dalam kehidupan sehari – hari, kita tidak pernah bisa lepas dari suatu hal yang berbau humor, apakah humor seksis juga salah satunya?

Suatu hari, ketika menjemput adik saya di Sekolah Dasar (SD) ternama di Bandung, saya dikagetkan dengan perkataan yang dilontarkan oleh beberapa anak SD tersebut.

Sebut saja namanya Aa. Ia dan ketiga temannya yang sedang membeli basmut tiba – tiba membahas soal cabe – cabean di kelasnya, “Loba cabe mah di kelas” katanya, seakan belum puas dengan guyonan soal cabe, satu lagi anak laki laki nimbrung dengan celetukan “Tapi Shakira kabeh, alias Sekali ‘hisap’ ga kira – kira!” dan semuanya terbahak, termasuk tukang basmut yang melayani.

Bayangkan obrolan tersebut menjadi lumrah dikalangan siswa SD, generasi penerus bangsa!

Belum sudah keheranan saya dengan obrolan anak SD tersebut, ternyata dunia maya telah geger dengan tingkah anak SD yang salah menyebut nama ikan didepan presiden Jokowi (diketahui belakangan bahwa si anak menderita kelainan). Yang mengherankan adalah fenomenalnya video berdurasi 1 menit tersebut, karena salah menyebutkan nama ikan menjadi kemaluan pria! Walhasil, kita dibuat terpingkal – pingkal selama beberapa hari oleh video tersebut. Pertanyaannya lagi, apakah humor seks sudah lazim di kalangan masyarakat Indonesia?

Jika dikaji dari bahasa, humor berasal dari Bahasa Latin “umor” yang berarti cairan. Sejak 400 SM, orang Yunani kuno percaya bahwa suasana hati manusia ditentukan oleh empat macam cairan di dalam tubuh: darah (sanguis), lender (phlegm), empedu kuning (choler), dan empedu hitam (melancholy). Kekurangan atau kelebihan salah satu dari keempatnya akan berpengaruh pada suasana hati, seperti: darah menentukan suasana senang, lendir menentukan suasana tenang, empedu kuning menentukan suasana marah, dan empedu hitam menentukan kesedihan. Teori mengenai cairan ini merupakan upaya utama untuk menjelaskan suatu hal yang disebut humor.

Tapi nampaknya, teori yang disusun Plato ini sudah tidak erat hubungannya dengan definisi umum humor di zaman ini. Di Inggris, humor diterminologikan dalam dua bentuk: humor dalam kata kata dan tingkah laku (Ben Johnson; 1599). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), humor diasumsikan sebagai ‘suatu hal yang lucu’, ‘keadaan dalam cerita yang menggelikan hati; kejenakaan, kelucuan.

Humor seksis dan berbau misoginis bukan lagi hal baru ditengah masyarakat kota, apalagi kota besar seperti Bandung. Hal yang serupa seperti kalimat anak SD tadi pernah terjadi kepada saya. Ketika pertama kali menginjakkan kaki di Bandung, saya yang saat itu berumur tujuh tahun disodori pertanyaan oleh teman.

“Kamu pilih relaxa, mentos, atau kopiko?” yang saya tahu, ketiga tersebut merupakan merek permen. Saya pun menjawab asal, relaxa. Dan ketiga teman baru saya itu pun tertawa terbahak, “Rela diperkosa euy,” katanya. Saya yang bergidik ngeri dengan gurauan tersebut langsung masuk kerumah.

Ternyata, humor seksis telah menjamur dikalangan remaja. Seolah – olah humor soal seks dan gender menjadi lazim, dan bukan hal tabu untuk diperbincangkan. Lantas, apakah humor berbau seks tidak menimbulkan hal negatif?

Seks Menjadi Budaya

Sebuah gagasan/ide, perbuatan dan tindakan yang dihasilkan oleh manusia, menjadi sebuah budaya dalam suatu golongan/masyarakat tertentu (Koentjaraningrat). Humor seks, dalam perkembangannya bisa disebut demikian.

Humor mempunyai kekuatan yang tidak bisa diremehkan. Fakta bahwa saya pernah mendengar humor seksis saat masih berseragam putih merah menandakan bahwa ada suatu hal yang tidak wajar, berkembang dalam masyarakat Indonesia.

Penelitian di Western California University menyatakan bahwa, individu yang kerap terkena paparan humor seksis dapat menyebabkan individu tersebut mentolerir perilaku berbau seks, memusuhi dan mendeskriminasi perempuan.

Maraknya kasus perkosaan, pencabulan, dan diskriminasi pada suatu golongan di Indonesia, tidak lain karena adanya ajaran atau mindset individu tentang keburukan individu/golongannya yang lain.

Humor seksis yang terus dibicarakan, akan melahirkan mindset yang berbau negatif. Jika seorang anak SD sudah paham dengan apa arti perkosaan, sepong, dan lainnya, serta terus menerus membicarakannya maka, anak tersebut akan menganggap wajar hal – hal yang berbau seks. Apa akibatnya jika seks dianggap wajar sejak dini? Pergulan bebas; maraknya seks bebas dan tingginya angka aborsi, kenaikan angka penderita HIV/Aids, lebih buruk lagi; meningkatnya angka anak putus sekolah, pengangguran tanpa skill, kemiskinan, minimnya pendapatan negara dari pajak, hingga menjadi negara terbelakang.

Apa solusinya?

Solusi yang bisa kita lakukan adalah, STOP menganggap wajar humor seksis. Jika sudah, STOP mengatakan hal hal yang berbau seks dalam humor.

Mereka yang tertawa pada humor seksis, sesungguhnya turut menunjukkan bahwa jauh dalam hati dan pikirannya ada prasangka negatif terhadap perempuan, dan menganggap seks bukan lagi tabu untuk diperbincangkan di muka umum.

Adapula yang tertawa karena jika tidak tertawa akan dianggap tidak asik, boring, terlalu serius, but sexist jokes not funny at all!. Menertawakan humor seksis sama saja dengan menganggap wajar seksisme dan diskriminasi gender.

Apa jadinya bila orang yang menolerir humor seksis menjadi pengambil kebijakan di Indonesia? Tentu hal itu akan membawa dampak buruk pada kesetaraan gender yang selama ini digalakkan oleh aktivis berbau HAM dan Feminis.

Sekarang atau terlambat, jangan jadikan humor seksis menjadi hal wajar, dan lazim diperbincangkan. Berhenti tertawa dengan humor seksis, dan jangan jadikan seks sebagai humor!

Melani Chaniago
Hubungan Internasional
FISIP Unpas  2015

Tidak ada komentar