Luka Lama (Bagian 3)
Oleh: Rinaldi Fitra Riandi, Ilmu Komunikasi 2015
“Lalu apa hubungan pembangunan ini dengan pelemparan bom molotov dirumah saya?!!” Ucapnya sambil memukul meja. Dibalas dengan tegas oleh pak Sodik “Heeh!! .... kamu tau apa anak kecil tentang pembangunan ini?!! Kamu ga mau lihat pemukimannya??!”. Ucapnya menutupi ketakutannya karena peristiwa bom molotov. Ia tak kuasa menahan gejolak amarah di dadanya, kursi chitose dilempar ke arah Pak Sodik ‘Braaakakkk’ hingga terpental ke belakang mimbar dan pelipis wajahnya meneteskan darah.
“Eh,bocah!!,dasar gatau diri, sini kalau berani!!”teriaknya. Suasana kian tak terkendali para warga memisahkan masing-masing dari mereka.Nugi menyeret adiknya keluar dari ruangan rapat,rapat itu ditunda karena ricuh.
“Dek,kamu ini apa-apaan?Bukan gitu caranya,kamu melakukan kesalahan sangat fatal”Ujarnya.
“Apa?? Bodoh??Kakak gak sadar emang, keterkaitan bom molotov itu dan pembangunan minimarket tersebut?!!.”Nadanya membentak.
Keduanya terdiam tak saling bicara bahkan menatap , adiknya pulang terlebih dahulu. Nugi memutuskan bertandang ke rumah Pak Sopyan---Tetangga karib ayah-nya. Pak Sopyan yang tidak menghadiri rapat tadi, diceritakan olehnya.”Adik saya tadi ngamuk pak, banting kursi ke wajah Pak sodik” keluhnya, “Nugi, wajar saja adikmu ngamuk kaya gitu. Emosinya belum stabil” terangnya.Ia bertanya kembali “lantas,kita harus melakukan apa pak?? Keluarga bapak sama saya dirugikan, belum yang lain”.Dengan tenang pak sopyan menjawab “Jika nanti ada rapat kembali, adikmu jangan ikut. Saya dan kamu saja biar beres.”
Dua hari berselang rapat kembali digelar, membicarakan hal-hal yang kemarin sempat tertunda; rapat berjalan alot tak ada keputusan yang keluar, kedua belah pihak masih menemui jalan buntu---Antara keluarga Affandi-keluarga Sopyan dengan PT. Supermart serta Pak Sodik.
Malam hari dikediamannya, ketua Dewan warga (Pak Sodik) serta perwakilan PT. Supermart membuat siasat keji untuk menjatuhkan pihak yang tidak setuju.”Lhaaa, gampang itu pak. Kita kasih sumbangan buat warga dan mesjid saja, Si Affandi sama Sopyan kita singkirin aja. Bahaya kalau enggak nanti bisa dipekarain kita, apalagi kita waktu itu yang lempar bom molotov!!.” Dan mereka semua yang hadir mengiyakan ucapan pak Sodik untuk melancarkan pembangunan Minimarket.
Ketua dewan warga mengutus pesuruhnya untuk membagikan amplop berisi uang kepada warga yang belum sadar akan imbas dari pembangunan ini---kecuali keluarga Affandi dan Keluarga Sopyan. Memberitahu semua warga bahwa mereka yang tidak setuju adalah Orang-orang golongan kiri. Keesokan pagi petinggi dari PT.Supermart mengunjungi mesjid di sekitar pemukiman, memberikan santunan pada pihak DKM (Dewan Kepengurusan Masjid) serta Sumbangan air bersih berliter-liter kubik.
Siang hari nan terik warga berbondong-bondong memboikot rumah Pak Sopyan; para warga membawa parang dan kayu balok. “loh-loh?? Ada apa ini?" ujarnya. “Pak Sopyan ini orang kiri, harus kita usir!!” teriak para warga. “Kata siapa saya orang kiri?!!” tegasnya. Salah satu warga membalas perkataannya “Bapak kan sama si keluarga Affandi yang gak setuju sama pembangunan ini??! Orang-orang itu (PT.Supermart) baik nyumbang uang dan air buat mesjid, situ kurang bersyukur. Sekarang kamu minggat dari sini,atau kita bakar rumahmu!!.”
Pak Sopyan terbujur kaku lalu berkemas dan pergi meninggalkan kediamannya, saat akan memboikot rumah keluarga Affandi ternyata tidak ada seorang pun didalam. Adu domba berhasil dilakukan; para warga berjalan menuju bale warga untuk menemui Pak Sodik, para warga bertanya “Keluarga Affandi gak ada dirumah?? ... lalu kita apain rumahnya??” , Ia pun menjawab enteng “Gausah diapa-apain, cukup didiamkan aja buat mereka seperti orang asing.”
Pada Saat yang bersamaan Nugi dan adiknya menepi dirumah setelah menjemput ayah-nya yang berminggu-minggu koma dirumah sakit; setelah pulih lalu diizinkan untuk pulang kerumah. Pemandangan yang membuat kehidupan mereka berubah segala-galanya, lalu-lalang kontainer membawa pasir, semen dan perkakas lainnya. Tukang-tukang berjumlah jamak mendirikan papan bertuliskan: “AKAN DIBANGUN MINIMARKET SERBA ADA”.
Keluarga kecil berparas wajah pasrah memasuki rumah-nya, duduk bersimpuh diruang tamu seakan tidak percaya dengan apa yang dilihat. Nugi serta Dedi berlari kencang menuju kediaman Pak sopyan berjarak 20 Meter lantas mengetuk pintu rumah-nya; yang didapat oleh mereka nihil---Pak Sopyan sudah tidak ada dirumah terkena boikot pengusiran oleh warga.
Nugi terburu-buru meraih ponsel dalam saku celananya untuk menelepon Pak Sopyan hingga tersambung dengannya : Tuuuut...tuuuut....tuuut “Assalamualaikum pak, sedang berada dimana?? Mengapa banyak kontainer? dan pembangunan dilangsungkan” ujarnya. “Mereka (warga) di sogok dengan iming-iming sumbangan air ke masjid dan uang, lalu kita difitnah oleh Pak Sodik sebagai orang-orang golongan kiri. Saat ini saya lagi dijalan mau pulang kampung ke Ciamis ketemu anak dan istri” lirihnya
Saluran telepon dimatikan oleh nugi,kedua nya hanya terdiam meratapi kekalahan mempertahankan nasib beserta hak-nya berpendapat.”Dek, mari kita pulang. Lupakan saja hal ini” ujarnya, Dedi tidak mengucap sepatah kata pun saat perjalanan pulang.
Waktu tak terasa cepat berganti, dua tahun pasca pemabangunan minimarket serta keterasingan sosialnya tersebut. Menyisakan ‘luka lama’ terhadap keluarga Affandi terlebih lagi usahanya (Warung dan rental komputer) gulung tikar, lantai bawah huniannya disewakan kepada sanak saudaranya---Serta Pak Sopyan yang kini hanya menjadi tukang ojek dikampungnya.
Hari-hari pilu dengan nestapa tak berujung dilalui Affandi yang hanya menghabiskan hari-harinya duduk dikursi goyang nya—ia mengidap trauma mendalam---Mariana tetap tegar manghadapi keluh-kesah hidupnya, menjaga sang suami penuh cinta,(tetap) menjadi guru honorer masih dilakoni-nya----sesekali mendoktrin para murid nya untuk tidak terlena oleh kemewahan duniawi; Nugi pergi Ke Jakarta mencari pekerjaan baru---setelah dipecat karena tidak bekerja cukup lama; Dedi hanya menjadi Office Boy disebuah kantor swasta Bandung---Sikapnya menjadi lebih dingin dan sering berada diluar rumah.
Wajah pemukiman Cibiru senantiasa ‘merias diri’ semakin terlihat bersolek untuk dijadikan lahan investasi pemodal. Menyusul (minimarket) kini jamak ritel-ritel serta restoran cepat saji berdiri---tak terkecuali Perumahan ekslusif berharga milliaran rupiah.
Semakin banyak pembangunan; juga semakin jamak yang digusur: Sawah, pemukiman kumuh atau lahan tak bertuan---tak ada ahli waris---Ketua Dewan Warga (Pak Sodik) menjadi kaya mendadak dan bersikap seolah ia raja layaknya kehidupan feodal berabad-abad silam. Warga-warga terlambat menyadari akan hal ini setelah penghidupan mereka di renggut semena-mena, kini mereka menjadi kaum marjinal kota yang tak terurus; Pemerintah hanya menuduh mereka adalah sampah masyarakat---itu membuat lebih pahit keadaan.
Dedi yang menyadari hal ini jauh-jauh hari memilih aktif berorganisasi di serikat buruh, orasinya yang lantang di latarbelakangi pengalamannya terdahulu membuatnya banyak dibenci para pejabat rakus maupun pemodal-pemodal yang hendak menanam saham. Dalam sanubarinya bergumam kencang:‘Benar apa dikata Karl Marx (Das Kapital) terdahulu bahwa kapitalisme memanipulasi apapun untuk mobilisasi kepentingannya; Kapitalisme menggunakan agama agar memuluskan segalanya.Ya?? Agama adalah Candu, tergantung siapa yang mengenakan (Agama) itu sendiri, tangan besi tak mudah dtepis tangan kiri, jiwa muda harus tetap membara walau bajingan-bajingan si tua berusaha menguburnya.’
Tamat
Beri Komentar