Header Ads

Mereka yang Terlupakan (Bagian 2)





Oleh: Ilyas Gautama 

Di saat-saat seperti itulah ingatan Amin jalalen melambung ke masa lima puluh tahun silam, ketika ia masih berumur 10 tahun. Dalam ingatannya itu Amin Jalalen berjalan mengekor dibelakang Ayahnya, Sutarno, yang sedang menuju ke sawah. Sawah itu terletak dibalik kaki bukit dan harus ditempuh dengan melewati padang ilalang, sungai dan hutan pinus. Dalam perjalannya itu, Ayahnya sering bercerita tentang kegiatanya sebagai simpatisan salah satu partai terbesar di zaman pemerintahan Soekarno. Ia selalu bilang bahwa ketika sudah besar nanti, Amin akan didaftarkan sebagai salah satu kader partai itu. Ia juga bilang, bahwa partai itu adalah satu-satunya partai yang membela kaum tani sepertinya.

Namun pada suatu malam, terjadi sebuah percobaan kudeta terhadap pemerintahan Soekarno. Dan partai itu dituduh telah membunuh tujuh jenderal angkatan darat, sebagai upaya untuk melancarkan kudeta. Beberapa hari setelahnya terjadi pembantaian besar-besaran yang berlangsung hingga beberapa bulan. Pembantaian itu dilakukan oleh ormas-ormas, dengan dikomandoi oleh militer. Tidak hanya menimpa anggota partai, siapapun yang dituduh terlibat akan dihabisi. Sutarno dan istrinya tak luput dari pembantaian itu. Keduanya dibunuh di depan mata Amin Jalalen. Sutarno harus mengubur dalam-dalam impian untuk menjadikan anaknya sebagai anggota partai itu. Pembunuhan itu berlangsung cepat dan sangat mengerikan. Ayah dan ibu Amin jalalen dibunuh dengan ditebas menggunakan golok oleh salah satu anggota ormas. Amin Jalalen kemudian tinggal bersama pamanya di sebuah gubuk tak jauh dari rumahnya dulu. Selama itu pula, tak ada sekolah yang mau menerima Amin Jalalen, hanya karena ia anak seorang anggota partai yang katanya biadab itu. Butuh beberapa tahun, untuk membuat Amin Jalalen bisa menerima itu semua dengan kebesaran hati.

Selama waktu-waktu itu berlalu, Amin senantiasa mengisi waktunya untuk membantu pamannya yang sama berprofesi sebagai petani.

Amin menikah dengan perempuan yang bernama Sanikem. Wanita yang menjadi istrinya kini, telah membuat Amin jatuh hati saat pertama kali ia bertemu. Wajahnya yang bulat dan manis itu, serta sifatnya yang sederhana membuat Amin jatuh hati. Mereka sering bertemu di ladang ketika keduanya sama-sama membantu orang tuanya menggarap sawah. Setelah peristiwa pembantaian itu terjadi, Sanikem dilarang oleh orang tuanya untuk bertemu dengan Amin. Tapi, cinta selalu saja menemukan caranya untuk tumbuh dan bersemi. Keduanya selalu bertemu secara diam-diam. Hingga Amin dan Sanikem memutuskan untuk kabur dan menjalani hidup bersama, jauh dari keluarganya. Dengan uang yang didapat dari hasil menjual pusaka dan warisan peninggalan orangtuanya, Amin menikahi Sanikem. Uang itu cukup untuk membeli dua petak sawah dan sebuah gubuk reyot di tengah lembah. Dengan dua petak sawah itu Amin dan Sanikem bertahan ditengah-tengah keadaan yang semakin menghimpit mereka.

*

Hari  kampanye itu tiba. Pawai simpatisan calon wali kota memenuhi jalan menuju lokasi kampanye. Ada yang membawa bendera, ada yang menggunakan kaos bergambar calon wali kota, ada yang mengecat seluruh tubuh dengan warna partainya. Dari yang muda hingga yang tua, semuanya tumpah ruah ke jalanan. Tak termasuk juga dengan Amin dan Sanikem kali ini. Dengan menggunakan kaos bergambar wajah calon wali kota, keduanya ikut meramaikan pawai itu hingga lokasi kampanye. Tempat itu terletak di sebuah lapangan di pusat kota. Terdapat panggung yang megah dan pengeras suara yang berukuran besar. Terdapat artis dangdut ibu kota yang sudah bersiap untuk menghibur simpatisan kampanye itu. Tak lama setelah pembawa acara menyampaikan sambutan yang bertele-tele, artis ibu kota itu mulai menghibur penonton.

Semua berjoget mengikuti irama dangdut dan berusaha untuk memeriahkan acara. Kecuali Amin dan Sanikem, keduanya hanya berdiri heran melihat situasi yang terjadi. “Orang-orang goblok! mau aja dibohongi” kata Amin. “Lah sampeyan terus ngapain disini?” balas istrinya, “masih syukur kita dikasih duit cuma buat joget-jogetan dan teriak-teriak”. Amin hanya terdiam mendengar istrtinya berucap. Ia sadar, mungkin orang-orang itu juga bernasib sama sepertinya. Seperti sapi perah, dirawat dan diberi makan untuk menghasilkan susu yang bisa dikonsumsi.

Kemudian tibalah saat dimana Wijay, calon wali kota nomor urut satu, maju ke atas mimbar. Dengan mengenakan kaos dan celana panjang hitam serta sendal, ia mencoba untuk menampilkan sosok sederhana. Kehadirannya disambut dengan teriakan dan tepuk tangan meriah. Terdengar orang-orang berteriak “Hidup Wijay! Hidup Wijay!”. Teriakan-terikan itu dibalas dengan senyum dan lambaian tangan Wijay. Tak lama keriuhan simpatisan itu perlahan mulai diam, mereka semua bersiap-siap mendengar janji-janji dari sang calon wali kota. “Sodara-sodara saya berjanji sekolah akan gratis, sembako akan gratis, bbm akan gratis, semua akan gratis”. Diselingi dengan tepuk tangan yang riuh dari kerumunan itu, Wijay kembali berpidato. “Dan untuk mencapai itu semua sodara-sodara, anda-anda sekalian harus memilih saya, coblos no 1!”. Kembali orang-orang bertepuk tangan. Sambil mengacungkan jari telunjuknya, orang-orang berteriak “Hidup Wijay! Hidup Wijay! Coblos nomor 1!”.

Selepas itu tak ada yang membedakan dari pidato-pidato calon wali kota yang lainnya. Terlihat wajah-wajah yamg lelah akibat dibakar sinar matahari siang. Amin dan Sanikem yang sedari tadi berdiam dibagian belakang, tidak sedikitpun bersuara. Sebetulnya mereka ingin sesegera mungkin menyelesaikan urusan mereka di tempat itu. Menurut mereka lebih baik  lebih baik duduk di pekarangan gubuk mereka sambil memandangi sawah, ketimbang hadir dalam acara kampanye. Bosan. Tapi apa boleh buat, nasib berkata lain.

Bersambung...

Tidak ada komentar