Header Ads

Katanya Mahasiswa, Kekerasan dan Kemiskinan 'Kok' Dianggap Wajar

Situasi di Kulon Progo pada 4 Desember 2017. Aparat keamanan telah melakukan apel dan siap menghadang aksi penolakan Bandara Internasional Yogyakarta pada pukul 09.15 waktu setempat.


Opini, Jeje-- Belakangan ini, santer terdengar isu soal penggusuran di pelbagai media massa. Ada yang pro dan adapula yang kontra, ada yang mendukung, ada pula yang mencaci dengan terang-terangan.

Penggusuran yang dibicarakan pun bukan hanya satu atau dua. Di Kota Bandung sendiri, ada tiga titik yang sedang hangat-hangatnya diperbincangkan; Kebon Jeruk, Dago Elos, dan RW 11 Tamansari.

Penggusuran bukan masalah sepele, ini merupakan instrumen perampasan yang dilakukan oleh penguasa terhadap penghidupan masyarakat. Penggusuran tidak boleh dibiarkan, karena membiarkan penggusuran terjadi itu sama artinya dengan membunuh rasa kemanusiaan dan akal sehat.

Penggusuran tidak bisa dibenarkan atas tujuan apapun. Apalagi, jika tujuan pembangunan kota adalah untuk memperluas jaringan kapitalisme.

Dalam Islam diajarkan untuk tidak saling memakan hak sesama, apalagi lewat jalan yang bathil. Perihal ini dibahas dalam Quran Surat An-Nisa ayat 29 bahwa di dalam Islam, proses jual beli harus berdasarkan kesukarelaan dari kedua belah pihak.

Penggusuran juga merupakan kasus jual beli; Kontraktor memberikan ganti rugi pada warga, lalu warga menerima ganti rugi tersebut dengan terpaksa karena tidak ada pilihan lain melawan borjuasi nasional.

Di Kebon Jeruk, sebanyak 55 kepala keluarga yang sebagian besar sudah tiga generasi menetap di wilayah Kebon Jeruk dipaksa untuk pindah karena tanahnya akan digunakan untuk lahan parkir PT.KAI.

Namun, anehnya adalah PT. KAI tidak bisa memberikan bukti kepemilikan tanah yang diklaim sebagai miliknya. Sedangkan warga yang sudah menempati wilayah Kebon Jeruk sejak tahun 60-an tidak diwadahi oleh pemerintah untuk melakukan sertifikasi tanah.

Hal serupa juga terjadi di Dago Elos. Sebanyak 400 kepala keluarga yang sudah menetap sejak 1918 harus rela rumahnya digusur untuk dibangun Apartemen MAJ Bandung.

Padahal, Kawasan Bandung Utara (KBU) ini diperuntukkan untuk Ruang Terbuka Hijau, struktur tanah di wilayah utara Bandung, tidak cocok untuk dijadikan apartemen. Hal ini lantaran, wilayah utara adalah wilayah resapan air. Di mana jika daerah resapan yang harusnya ditumbuhi pohon dan dengan struktur tanah yang rapuh, jika dipaksakan pembangunan maka kemungkinan longsor, banjir dan krisis air di wilayah Kota Bandung dan sekitarnya.

"KBU sama dengan Pangalengan, sangat rentan dengan gerakan tanah, lapisan batu di KBU adalah hasil dari gunung vulkanik dan ditunjang dengan kemiringan, peristiwa longsor pasti akan terjadi," ujar Kepala Sub Bagian Perencanaan Badan Geologi ESDM, Joko Parwata dikutip dari Kabar Rakyat.

Padahal, tanpa pembangunan apartemen ini wilayah KBU sudah dapat dikatakan rusak parah.

Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2008 tentang pengendalian pemanfaatan KBU, yang kemudian direvisi dengan Perda Nomor 2 Tahun 2016, berupaya melindungi KBU dengan mengharuskan pembangunan fisik hanya 20% dari luas lahan, dan sisanya untuk ruang terbuka hijau dan daerah resapan air.

Nyatanya, menurut Dewan Pakar Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Supardiyono Sobirin, wilayah KBU tetap mengalami kerusakan parah.

“Tingginya run off air hujan dari KBU ke kota Bandung, dipicu oleh banyaknya kegitan pembangunan fisik di daerah resapan air,” ujarnya dikutip dari Okezone.

Keadaan yang lebih riskan di Bandung, terjadi di Tamansari. Pada Senin siang 6 Desember 2017, pemukiman warga nyaris digusur paksa. Padahal, seisi keluarga ada di dalam rumah yang hampir dirobohkan oleh beko.

Permasalahan warga Tamansari memang cukup rumit, selain karena tidak difasilitasi oleh pemerintah untuk membuat surat kepemilikan lahan sejak 1960, warga juga tidak diberikan ganti rugi yang setimpal dengan harga lahan yang mereka miliki. Ketakutan akan tidak terealisasinya rumah deret yang dijanjikan juga terus menghantui mereka. Pasalnya, Balubur Town Square (Baltos) juga memiliki kasus serupa: pemukiman warga rencananya akan dibangun kembali dengan tertata, kemudian dibuat lahan hijau, namun saat ini wilayah tersebut harus kita kenal sebagai mall yang disebut Baltos.

Selain itupula, lahan sebesar 8 hektare tersebut rencananya hanya akan digunakan 5.6 hektare untuk pembangunan rumah deret, sisanya untuk dibangun hotel. Ajaibnya adalah, pemkot –yang digembor-gemborkan sebagai pemilik lahan- tidak memiliki surat kepemilikan lahan RW 11 Tamansari.

Kasusnya tidak sederhana, masyarakat –terutama mahasiswa, sebagai kaum intelektual- yang tidak membuka mata pada kasus ini sepertinya harus disadarkan pada keadaan ‘baik-baik saja’ yang utopis.

Kemampuan untuk membeli barang-barang branded, jajan di pusat perbelanjaan, beli ini-itu, nongkrong sana-sini, main games, sibuk dalam ajang diskusi-sibuk memamerkan intelektualitas- adalah keadaan yang semu.

Jika masyarakat tidak mempunyai kesadaran untuk bergerak mengubah tatanan sosial, politik, dan ekonomi yang korup, maka kelas majikan –istilah Marx untuk menggambarkan pemodal- akan terus menerus bertindak sesuai dengan kepentingannya, di mana para majikan akan mengusahakan laba sebanyak mungkin, dengan melakukan penghisapan manusia atas manusia--Exploitation de l'homme par l'homme.

Hal pertama yang perlu dipikirkan oleh seorang individu adalah sadar bahwa kemiskinan merupakan hal yang tidak wajar, dan mahasiswa, sebagai agen intelektual sudah seharusnya memberikan keberpihakannya kepada masyarakat ‘kecil’ yang di-miskinkan oleh sistem.

Banyak mahasiswa yang menyebarkan video Najwa Shihab ketika membacakan puisi “Mahasiswa, kok Cari Aman?” tapi dirinya sendiri takut untuk bergerak, bahkan takut dalam menulis, apalagi bicara dengan lantang dihadapan penguasa.

Mahasiswa saat ini menganggap dirinya lebih pintar dalam persoalan teoritis, tetapi tumpul dalam soal pergerakan dan bermasyarakat. Keadaan demikian tidak bisa dibiarkan, karena matinya pergerakan kaum muda, berarti diperbolehkannya korupsi.

Montesquieu mengatakan, bahwa ada dua macam korupsi, pertama; saat masyarakat tidak mempelajari hukum, kedua; ketika hukum mengkorupsi masyarakat.

Hukum yang mengkorupsi masyarakat benar-benar sedang terjadi di Indonesia. Di mana Aparatur Negara yang seharusnya menjungjung tinggi kemaslahatan rakyat, malah menjadi instrumen kekerasan di dalam masyarakat.

Sebanyak 12 mahasiswa yang bersolidaritas di Kulon Progo ditahan, lantaran mahasiswa-mahasiswa tersebut dianggap menghalangi proses pembangunan Bandara Internasional Yogyakarta, atau yang lebih dikenal dengan nama NYIA.

Selain itu, beberapa warga yang bertahan karena mempertahankan sumber mata pencaharian mereka harus rela dipukuli oleh aparat karena enggan pergi dari tempat di mana mereka hidup.

Di Bandung, warga Kebon Jeruk, Dago Elos dan Tamansari harus pasang badan terhadap tindakan represif aparatur negara beserta pemodal. Mereka harus siap menghadapi tindakan kekerasan, bahkan digusur paksa pada tengah malam, karena sistem pemerintahan saat ini tidak berpihak kepada mereka, rakyat miskin kota.

Berdoa saja tidak cukup untuk mengubah keadaan. Dalam Quran Surat An-Nisa ayat 75, Tuhan berfirman;

"Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan membela orang yang lemah, baik laki-laki, perempuan dan anak-anak yang semuanya berdoa, "Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang penduduknya zalim. Berilah kami pelindung dari sisi-Mu, dan berilah kami penolong dari sisi-Mu"

Di mana mahasiswa saat masyarakat sedang tertindih oleh borjuasi nasional? Padahal, mahasiswa sebagai bagian dari kaum muda dalam tatanan masyarakat yang mau-tidak-mau pasti terlibat langsung dalam fenomena sosial, dituntut untuk mampu mengimplementasikan kemampuan keilmuannya dalam laju perubahan kehidupan kearah yang lebih beradab.

Ironisnya, predikat mahasiswa justru menjadi simbol demarkasi yang disokong oleh pelbagai dalih. Mulai dari; ketakutan akan aparat, bukan prioritas keilmuan, tidak suka aksi, sampai sibuk pada program kerja di Lembaga Kemahasiswaannya.

Bagaimana bisa kemiskinan dan penindasan dianggap wajar oleh mahasiswa yang katanya agen intelektual? Sementara perampasan, pemiskinan, dan kekerasan terhadap masyarakat benar-benar terjadi di hadapan akal sehat.

Jeje
Mahasiswa Hubungan Internasional
FISIP Unpas 2015

No comments