Header Ads

Warga RW 11 Tamansari Geruduk Jakarta dan Menggugat Negara!



Press Release

Pasca dua hari dinobatkan sebagai kota ramah HAM, Kota Bandung tentu semakin ramah terhadap investasi di bidang industri jasa, properti, maupun pariwisata. Buktinya, pada 12 Desember 2019, Pemkot Bandung mengggusur warga Tamansari RW 11 yang masih bertahan mempertahankan ruang hidupnya. Menurunkan lebih dari 1000 aparat gabungan (Satpol PP, Polisi, Brimob, TNI), mereka tanpa malu-malu mempertontonkan tindakan kekerasan seperti pemukulan, tendangan, penembakan gas air mata–yang konon diperuntukan agar keamanan terjaga–atau hantaman baton kepada massa aksi di hadapan publik. Seluruh bukti macam video, foto maupun berita sudah banyak, dan bisa di akses melalui portal online.

Tak ayal hal ini pun menimbulkan banyak kerugian. Sekitar 35 orang menjadi korban dari tindakan kekerasan aparat; luka lebam, kepala bocor hingga trauma, dampak pada kondisi kesehatan mental warga. Untuk warga sendiri, butuh keberanian besar agar tetap bertahan di titik kritis ini, bayangan akan kebutuhan hidup masih menguntit di kepala mereka.

Kehilangan rumah berarti hilangnya memori kolektif akan tanah kelahiran serta kenang-kenangannya selama puluhan tahun. Barang-barang yang digondol habis aparat gabungan itu, nasibnya kini tidak jelas, banyak barang pecah belah yang hancur maupun dokumen pribadi seperti akta kelahiran dan kartu keluarga raib hancur beserta rumah mereka. Beberapa barang berharga yang hilang tersebut, nilainya ditaksir mencapai ratusan juta rupiah.

Lalu, untuk apa rumah warga digusur? Pemkot Bandung mencanangkan proyek rumah deret (baca: deret ke atas alias rumah susun) di Tamansari, konon proyek ini bertujuan untuk mengentaskan perumahan kumuh. Mekanismenya sederhana, warga dipindahkan dulu ke Rusunawa Rancacili, setelah dipindahkan sementara alias dijauhkan dari mata pencaharian serta akses terhadap pendidikan, barulah warga boleh menghuni ‘rumah deret’ yang akan di gratiskan selama lima tahun. Setelah itu, warga harus membayar sewa yang harganya tentu akan dilempar pada arus pasar bebas.

Artinya, bila semakin banyak permintaan, harga sewa pun akan naik. Lantas, apakah warga Tamansari mampu membayar harga tersebut dengan logika pasar? Jangankan untuk membayar, bukan bermaksud merendahan, kehidupan kelas buruh di kota sudah sangat sulit. Hal yang lebih kentara adalah warga bakal mewarisi hutang kepada anak-cucu mereka di masa depan.

Proyek ‘rumah deret’ (baca: rumah susun) ini merupakan tembusan dari program nasional KOTAKU (Kota Tanpa Kumuh) yang diinisiasi oleh Pemerintah Pusat dan Kementrian Pembangunan Umum (PU). Pada 12 Juli 2016, Badan Direksi Bank Dunia telah menyetujui utang pemerintah Indonesia sebesar $ 216.5 juta atau setara dengan 2,814 trilyun rupiah untuk proyek “National Slum Upgrading.” Selain itu, juga diputuskan bahwa pemerintah Indonesia akan mendapat pinjaman perdana dari Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB) dengan jumlah yang sama yaitu $ 216,5 juta atau setara dengan Rp 2,814 triliun untuk proyek itu.

Pemberian utang tersebut untuk mendukung program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU), atau dalam istilah Bank Dunia dan AIIB disebut National Slum Upgrading Project (NSUP). Dengan demikian, pemerintah Indonesia telah menambah utang dari Bank Dunia dan AIIB untuk melaksanakan proyek KOTAKU ini dengan total pinjaman sebesar $ 433 juta atau setara 5,629 trilyun rupiah. Skema pembiayaan bersama ini merupakan kerjasama pertama antara AIIB dan Bank Dunia untuk lima tahun ke depan, dan menjadi proyek pertama AIIB sejak pendirian AIIB pada tahun 2016. AIIB merupakan Bank baru yang belum memiliki sistem perlindungan lingkungan dan sosial yang kuat dengan staf yang sangat terbatas, sehingga dalam proyek ini AIIB mengikuti safeguard Bank Dunia. Awalnya, proyek ini dikategorikan berisiko tingkat A (berisiko tinggi) namun belakangan diubah menjadi risiko dengan tingkat B (lebih rendah).

Selain itu, dari 153 kota yang akan dibiayai oleh utang Bank Dunia/AIIB melalui proyek National Slum Upgrading, kami memprediksi 9,7 juta jiwa penghuni pemukiman kumuh di seluruh Indonesia akan mengalami dampak sosial, dan 4,85 juta jiwa diantaranya merupakan perempuan. Pembangunan infrastruktur di Indonesia terus mengalami peningkatan. Sejumlah daerah yang dulunya tidak tersentuh pembangunan, kini mulai dibangun sejumlah infrastruktur. Pembangkit energi, DAM, jalan lintas provinsi, hingga penataan kota, adalah proyek infrastruktur yang kini mulai dikerjakan.

Dana yang diperoleh dari pinjaman atau utang tentu harus dikembalikan. Sehingga utang pemerintah menjadi beban negara yang tentunya juga beban rakyat. Pembangunan infrastruktur sudah barang tentu memerlukan lahan, sehingga tidak sedikit pembangunan infrastruktur menimbulkan konflik yang berujung pada pelanggaran Hak Asasi Manusia, berupa pengambilan paksa lahan-lahan warga, serta kriminalisasi warga. Artinya, tidak menutup kemungkinan biaya pembangunan infrastruktur yang diperoleh dari utang akan menimbulkan masalah bagi masyarakat.

Bila diperhatikan lebih lanjut, sesungguhnya Pemkot Bandung tidak memiliki hak atas tanah Tamansari RW 11. Klaim Pemkot Bandung yang telah membeli tanah Tamansari RW 11 pada zaman kolonial Belanda (Gementee Bandung) yang dimana saat Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaan pada tahun 1945 secara otomatis pemerintahan Gementee Bandung telah berakhir dan berbeda subjek hukum dengan pemerintahan kota Bandung. Pemerintah Kota Bandung sampai saat ini belum memiliki bukti kepemilikan tanah di Tamansari RW 11 namun menyatakan telah menyewakan tanah terhadap Warga Tamansari RW 11 yang artinya Pemerintah Kota Bandung melakukan praktek premanisme (pungli) terhadap warga Tamansari RW 11 dari tahun 1978-2006.

Berdasarkan peta interaktif BPN (Badan Pertanahan Nasional) tanah RW 11 Tamansari berwarna abu-abu atau tanah negara bebas. Warga telah menggarap tanah Tamansari selama lebih dari 50 tahun. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) menyatakan bahwa setiap masyarakat yang telah tinggal atau menggarap tanah negara bebas lebih dari 20 tahun, maka mereka diprioritaskan sebagai pemilik tanah tersebut. Sebagian warga pun telah memiliki persil sebagai salah satu syarat pengajuan sertifikat. Bahkan ketika penggusuran paksa terjadi, Pemkot Bandung tidak memperhatikan peringatan dari BPN yang menyatakan status quo di Tamansari RW 11.

Warga sendiri telah mengupayakan untuk mediasi dengan instansi-instansi terkait. Mereka telah bertemu dengan BPN, Pemkot Bandung, komisi C DPRD, DPKP 3, DLHK kota Bandung, akan tetapi tidak ada yang peduli dengan nasib warga. Hingga saat ini Pemkot Bandung tidak memiliki itikad baik terhadap warga Tamansari RW 11 untuk dimintai pertanggung jawabannya.

Untuk itu warga Tamansari akan pergi ke Jakarta guna memprotes pemerintah dan mengajak seluruh elemen masyarakat untuk hadir dan bersolidaritas dalam menyuarakan hak atas tanah, hak atas penghidupan, dan hak demokrasi yang seharusnya pemerintah jamin.

Kami, Forum Juang Tamansari Melawan Bandung akan menyampaikan beberapa poin tuntutan pada instansi yang kami geruduk:
1. Mendesak Kementerian ATR/BPN memblokir pengajuan sertifikat Pemkot Bandung
2. Mendesak pejabat Kementerian ATR/BPN meninjau langsung dan menyatakan tanah Tamansari adalah tanah negara bebas
3. Melarang Pemkot Bandung melakukan aktivitas pembangunan proyek rumah deret di Tamansari
4. Prioritaskan warga untuk memiliki sertifikat
5. Hentikan pembangunan rumah deret oleh kontraktor, Pemkot Bandung, dan instransi terkait
6. Mendesak KPAI menindak tegas aparat yang melakukan kekerasan terhadap anak
7. Mendesak Ombudsman menindak tegas Pemkot Bandung karena telah melakukan pelanggaran dengan menghancurkan rumah warga melalui aparat (Satpol PP, Polisi, TNI), juga mengerahkan aparat berlebih ketika eksekusi pada tanggal 12 desember 2019
8. Mendesak Komnas HAM melakukan investigasi pelanggaran HAM terkait proyek rumah deret
9. Usut tuntas kekerasan aparat yang telah melakukan pembongkaran paksa
10. Ungkap pelanggar HAM terkait pembangunan proyek rumah deret
11. Usut tuntas kekerasan aparat terhadap warga dan massa solidaritas

Narahubung:
Instagram: tamansarimelawan

No comments