Header Ads

Lelaki dan Monster (Bagian 2)

Ilustrasi: caps.umich.edu

Baca bagian 1 di sini

Penulis: Ilyas Gautama, Administrasi Publik 2015

Wajah Andri agak kecut saat kami bertemu di dalam toko buku itu. Ia lantas mengenalkanku dengan Afif. Matanya yang terang itu dibingkai oleh kacamata yang menghiasi wajah gadis berkerudung ini.

“Teman kuliah?” Ia mengawali basa-basi kami.

“Satu kontrakan juga,” Aku menimpali.

Afif adalah mahasiswa tingkat akhir yang kini sedang menyusun skripsinya. Dari obrolan kami, kuketahui ia lebih banyak menghabiskan waktu di kontrakan dan berkegiatan di luar kampus. Untuk ukuran kampusku yang tak terlalu luas itu, maka wajar bila Andri hanya bisa menemui gadis yang satu fakultas ini di warung pecel. Selanjutnya kami tak mengobrol banyak, hari sudah menjelang magrib saat itu.

“Aku ada urusan malam ini,” Afif lantas melenggang ke luar toko buku itu. Katanya ia mesti kembali ke kontrakannya terlebih dahulu sebab ia tak boleh terlambat.

Aku dan Andri lantas mengikutinya sampai parkiran. Kami lantas pulang ke kontrakan sore itu. Dari cerita Andri, aku mengetahui Afif terlibat aktif dalam sebuah komunitas yang berkegiatan untuk menumbuhkan minat baca orang-orang. Afif bilang bahwa membaca dapat menyembuhkan penyakit yang diderita banyak orang di dunia ini. Ia menyebut penyakit ini sebagai kebodohan. Seperti sebuah mesin, kebodohan adalah karat yang menempel dan membuat nalar tak berfungsi dengan baik. Kegiatan membaca seperti mengolesi mesin dengan oli agar nalar dapat bekerja secara logis dan sistematis. Aku jadi membayangkan Andri sedang melakukan bimbingan dengan dosennya, ketimbang berkencan dengan seorang gadis.

Tapi malam-malam sebelum pertemuan selanjutnya terjadi, Andri tak bisa tidur dan sering mengetuk pintu kamarku untuk mengajak ngobrol. Ia mengatakan, bahkan ketika berak pun yang terbayang adalah wajah gadis itu. Kau tahu, sebagai kawan yang baik aku selalu mendengarkannya membicarakan gadis itu hingga hal tersebut lebih mirip seperti dongeng pengantar tidur. Pada pertemuan ketiga dan selanjutnya, Andri sudah tidak lagi datang ke kamarku untuk mengoceh. Ia jadi disibukkan dengan kegiatan membaca dan menulis, lalu pergi keluar setiap malam Jumat. Selama tiga tahun tersebut, Andri jarang sekali mengobrol atau bahkan mengunjungi kamarku untuk mengajak makan malam. Hingga suatu waktu aku mencoba untuk tidak menyapanya ketika berpapasan di depan gerbang kontrakan. Ia pun melakukan hal yang sama dan kuanggap hal tersebut sebagai tanda persahabatan kami telah usai.

 Lalu tibalah pada satu malam, ia datang sambil terhuyung ke arahku yang baru saja membuka gerbang kontrakan. Andri basah kuyup, jendol sebesar bola tenis di pelipisnya serta lebam di bibirnya membuatku terkejut. Aku bopong dia menuju kamarnya, dan kubaringkan ia di atas sehelai kasur tipis, di antara buku-buku yang berserakan. Ia mencoba bergerak tapi langsung memegang perutnya dan mengerang kesakitan. Maka, sekali lagi, sebagai kawan yang baik, aku membantunya mengganti pakaian dan merawat luka-lukanya karena kami terlampau kere untuk membawanya ke klinik. Selagi aku mengolesi obat luka di wajahnya, Andri bercerita tentang apa yang membuatnya terluka saat itu.

Dari ceritanya aku mengetahui bahwa Afif memang bukanlah gadis biasa sebagaimana yang aku kira sebelumnya. Setelah keduanya dekat, Afif mengajak Andri terlibat lebih jauh dalam kegiatannya selama ini.

“Gadis itu pernah bilang bahwa semua mahluk di dunia ini akan mati pada saatnya. Dan hanya tulisan kita yang akan tetap hidup selamanya,” [3] 

Kalimat itulah yang membuat Andri yakin. Bahwa keputusannya untuk ikut dalam kerja penulisan pamflet-pamflet pendidikan bagi buruh adalah pekerjaan mulia. Satu minggu sekali, setiap malam Jumat, Andri akan menyetorkan hasil tulisan-tulisannya itu dalam pertemuan bersama penulis lainnya, termasuk Afif. Di tempat itulah Andri menyaksikan gadisnya itu sering menyampaikan kalimat-kalimat yang membakar semangatnya untuk menulis lagi dan lagi.

“Dunia ini, hancur karena ada orang-orang yang menumpuk kekayaannya untuk diri sendiri dan kelompoknya. Mereka memeras keringat orang-orang kalah seperti kita, hingga mirip seperti kanebo kering. Maka, adalah tugas kita untuk menyampaikan apa yang perlu disampaikan,” begitulah Andri meniru pidato gadisnya itu.

Hari itu, beberapa jam sebelum Andri menghampiriku di pagar kontrakan, lima orang menyergapnya setelah turun dari angkot. Andri mengatakan kelima pria yang kesemuanya cepak dan berbadan tegap itu langsung menghujaninya dengan pukulan dan tendangan. Selama beberapa detik itu, hanya terdengar dengus napas dari mereka dan ia yang mengerang kesakitan. Salah satu dari mereka, menjenggutnya dan memaksanya memberikan identitas dan informasi lainnya seputar Afif. Hanya setelah Andri memberikan apa yang mereka mau, ia bisa lepas dari deritanya dan tiba di depan pagar kontrakan dalam keadaan mengenaskan.

Pasca kondisinya yang mengenaskan itu dan setelah pengakuannya kepada para pria cepak, Andri melakukan rutinitasnya yang sempat hilang ketika menjalin hubungan dengan Afif. Ia tak lagi mengurung diri seperti kelomang. Ia tak lagi memenuhi ruangannya dengan kertas-kertas berserakan yang penuh dengan catatan. Ia jadi lebih sering melakukan aktivitasnya bersamaku, teman sekontrakannya. Namun, ia jadi sering tak bisa tidur dan lebih suka memaki dirinya sendiri dan melamun di depan teras kontrakanku hingga pagi tiba.

Siang hari ia mengatakan akan pergi menemui seseorang. Sebelum berangkat ia sempat mengajakku untuk duduk di bawah pohon di teras kontrakan. Ia memandangi langit biru dengan paras yang sedih. Aku mengeluarkan rokok dari saku celanaku, dan kami menikmati beberapa batangnya sambil bercerita tentang harapan-harapan kami di masa depan. Aku bilang kepadanya bahwa ketika tua, aku ingin tinggal di sebuah bukit dengan hamparan hijau kebun buah dan sayur milikku. Menghabiskan pagi untuk mencangkul dan menikmati bekal makan siang kami di teduhnya pepohonan yang rindang, sepertinya menyenangkan.

“Entahlah, kau pernah membayangkan bagaimanakah hari terakhirmu di dunia ini?” Aku mendengar suaranya lemah sekali.

“Tidak, kau sendiri?”

“Jika aku harus mati. Aku ingin mati di tangan orang-orang yang aku percayai,” katanya.

 

Aku tak keburu menanggapinya karena tak lama kemudian ia langsung berdiri dan pergi menemui “seseorang” itu. Sebenarnya, aku ingin sekali melangkahkan kaki atau berlari mengejarnya, hingga aku bisa mengungkapkan segala yang berkecamuk di pikiranku saat itu. Namun, semuanya seolah tertahan di tenggorokanku dan perlahan hilang seiring mataku mengikuti langkahnya hingga berbelok di ujung jalan sana.

Desir angin kemarau menimbulkan bunyi gesekan rumput, ranting, pagar dan seng yang rompal di atas kamar kontrakanku. Sudah berulang kali aku memprotes fasilitas kontrakan yang menyedihkan ini kepada pemilik kontrakan. Barangkali ada baiknya aku perbaiki besok dengan mengandalkan bantuan Andri.

Kau tahu, setelah perkenalannya dengan Afif, kawanku ini memang berubah. Sebelum itu, kawanku yang betubuh ceking dan pendek ini adalah satu-satunya tempatku meminta bantuan, begitu juga dengannya. Sering kali dalam keadaan sulit, kami berbagi apa yang kami miliki. Entah itu sepiring nasi, sebatang rokok atau segelas kopi.

Kau boleh saja berpikir bahwa orang sepertiku ini terlampau naif. Dan tak pernah menyadari bahwa setiap detiknya orang-orang akan kehilangan sosok yang mereka kenal. Sebab waktu akan selalu mengikis memori-memori yang tersimpan dalam ruang di mana segalanya melekat; kenangan baik, kenangan buruk, tentang apa pun dan siapa pun.

Tapi coba bayangkan, anggap saja waktu adalah selembar kertas. Ketika ujung satu dan ujung lainnya dilipat, apakah ada yang mampu bertahan, adakah yang masih tersimpan, sebagai rahasia?

Dalam senja yang dilumuri cahaya merah tembaga, segala kenangan tentang kawanku ini mengucur dan menggenang di rongga dada. Wajahnya sekilas melintas di benakku. Ketampanannya seperti lenyap ditimbun penyesalan-penyesalan yang menekannya belakangan ini. Aku tahu bahwa kawanku ini gelisah oleh keputusannya saat itu. Dan ketika malam tiba, ia menyampaikan pengakuannya itu padaku.

“Afif sangat kecewa padaku bukan karena aku lah yang membeberkan semuanya kepada tentara yang lantas membuatnya mesti berpindah-pindah tempat. Tetapi kepada keputusanku yang menyudahi semuanya karena terlampau ciut,”

Aku tahu sejak pertama kali bertemu dengan kawanku ini bahwa ia hanya memiliki nyali sebesar biji jeruk. Tapi, aku rasa Andri lebih baik ketimbang orang-orang yang mirip seekor kerbau yang akan berkubang di situ-situ juga. Kawanku ini lebih memilih untuk membunuh rasa cintanya demi membunuh ketakutan yang menghantuinya. Ia jujur akan kerapuhannya, ia jujur tentang kepengecutannya. Malam itu, tetesan air matanya memantulkan cahaya lampu bohlam yang menerangi kami.

Orang-orang kadang tak bisa melepas masa lalu yang mirip seperti kepergian yang mutlak. Dan aku sama seperti Andri dan orang-orang itu. Aku ingin sekali melepas kenangan itu. Atau barangkali membakarnya hingga rongga dada dan benakku terbebas dari tekanan bayang-bayang masa lalu yang membanjiri paru-paruku. Kenangan itu, selalu bergelombang memukul-mukul dinding dada, menimbulkan rasa sesak. Kau tahu, membenci orang yang sangat kau cintai adalah keruwetan.

Oleh karenanya aku lebih memilih untuk tak menyimpan keruwetan itu. Jika seseorang patut dicintai, maka cintailah sebaik-baiknya. Dan jika seseorang patut dibenci maka bencilah sebaik-baiknya. Aku tak ingin berakhir seperti tahi yang hanya mengambang di atas air tanpa memiliki kuasa untuk mengubah nasibnya.

Inilah saatnya. Pisau telah kuasah di atas batu amarahku. Mata pisau itu berkilat-kilat, seolah tak sabar untuk memotong dan mengiris apa pun yang ada di hadapannya. Aku ingin mencincang orang yang telah mematahkan hatiku. Aku ingin menyayat mata yang tak sanggup melihat ketulusan hati seseorang yang selalu ada untuknya. Aku ingin menusuk hati yang beku dan dingin yang tak mampu menerima kehangatan kasih sayang orang yang selama ini menerimanya. 

Malam itu seorang pria melepaskan monster di kepalanya.

Selesai.

[3] Si Janggut Mengencingi Herucakra,” karya A.S. Laksana.

No comments