Header Ads

Perihal “Kami”, ”Kalian”, dan Politik Peradaban

 

Cover buku "Kekerasan dan Identitas" karya Amartya Sen. (sumber: bukuprogresif.com)



Sejarawan Ernst H. Gombrich menulis keheranannya ketika ada orang sesumbar tentang dirinya sendiri, “aku ini orang paling pandai, paling kuat, paling berani, dan paling berbakat di dunia, semua orang pasti akan menertawainya dan menganggapnya konyol. Sementara kalau ada orang yang sama mengganti kata “aku” dengan “kami” dan mengatakan bahwa “kami ini bangsa paling pandai, paling kuat, paling berani, dan paling berbakat di dunia, publik di tanah airnya bertepuk tangan meriah dan menyanjungnya sebagai patriot. Sambil menganggap bagian dunia yang lain dihuni oleh cecunguk-cecunguk yang tak ada harganya (Gombrich, 2020).”

Soal kebanggaan akan “kami” dan kebencian akan “kalian” jelas bukan barang baru. Narasi ini pernah digunakan oleh Hitler yang memimpin Partai Nazi di Jerman. Bagi Hitler, “kami” adalah orang-orang ras Arya dan “kalian” adalah orang-orang Yahudi.

Seolah tidak pernah belajar dari sejarah, ultranasionalisme semacam ini terus direproduksi sebagai modal politik dan banyak orang percaya. Definisi “kami” dan “kalian” bisa direproduksi berbeda-beda sesuai emosi publik. Bahkan siapa pun bisa mengklaim dirinya adalah “kami”, tanpa perlu benar-benar menjadi “kami”, asalkan mengaku membenci “kalian”.

Soal “kami” dan “kalian” juga turut membentuk perjalanan hidup seorang Amartya Sen, penulis buku Kekerasan dan Identitas dan penerima Nobel ekonomi 1998. Ketika berusia 11 tahun ia menyaksikan Kader Mia, seorang Muslim yang dibunuh dalam kerusuhan Hindu-Muslim pada 1944. Kader Mia adalah seorang buruh miskin yang sedang pergi mencari kerja untuk makan. Ia lalu dibunuh dalam perjalanan karena dipandang dalam identitas tunggal: Muslim, yang menjadi “musuh” dalam peristiwa tersebut. Meskipun seorang Kader Mia sebetulnya bagian dari identitas-identitas lainnya seperti buruh miskin (hlm. 223).

“Mengapa seseorang sekonyong-konyong dibunuh? Mengapa pula hal itu dilakukan oleh orang yang bahkan tidak mengenal korbannya, dan yang korbannya belum pernah menyakiti pembunuhnya? Bahwa seseorang dipandang hanya memiliki satu identitas sungguh tidak masuk akal (hlm. 222).”

Rasisme, xenofobia, terorisme, sektarianisme, polarisasi dan kekerasan bersumber identitas lainnya lahir dari pendekatan “soliteris” yang mengelompokkan manusia berdasarkan identitas yang tunggal dan mutlak. Pendekatan inilah yang melahirkan sebuah “politik peradaban”.

Politik Peradaban

Kita dapat temukan narasi “kami” muncul dalam tesis Clash of Civilizations atau benturan peradaban. Tesis ini dipopulerkan oleh Samuel Huntington, seorang pemikir studi hubungan internasional yang berpengaruh. Tesisnya menekankan bahwa sumber utama konflik di dunia setelah Perang Dingin bukanlah ideologi atau ekonomi. Budaya lah yang akan menjadi faktor pemecah-belah umat manusia dan sumber konflik yang dominan. Konflik utama dari politik global akan terjadi di antara kelompok peradaban yang berbeda (Huntington, 1993).

Huntington mengelompokkan dunia yang berhadap-hadapan antara “peradaban Barat”, “peradaban Islam”, “peradaban Hindu”, “peradaban Konfusian”, “peradaban Jepang”, “peradaban Amerika Latin”, “peradaban Ortodoks-Slavik”, dan “peradaban Afrika” (Huntington, 1993).

Menurut Huntington, politik peradaban inilah yang menjadi tahap terakhir dalam evolusi konflik di dunia setelah Perang Dingin. Sepanjang abad ke-17 hingga Perang Dingin, dunia Barat telah diwarnai oleh perang antar raja, negara-bangsa, dan ideologi. Berakhirnya peperangan di Barat setelah selesainya Perang Dingin memunculkan kekuatan-kekuatan baru non-Barat (Huntington, 1993). Kekuatan-kekuatan baru non-Barat tersebut yang kemudian dilihat oleh Huntington sebagai “kalian” dari peradaban Barat.

Tesis Huntington menjadi taman bermain bagi para ekstremis sayap kanan untuk menjustifikasi gerakan-gerakan kekerasan berbasis identitas agama dan nasionalisme.

Dalam buku ini, Amartya Sen menolak pengkotak-kotakan peradaban dunia dalam tesis Clash of Civilizations. Dalam analisisnya, ia melihat tesis ini lemah karena dua hal. Pertama, tesis ini terjebak dalam ilusi ketunggalan. Maksudnya, seseorang harus selalu dikelompokkan dalam satu identitas yang tunggal dan mutlak (hlm. 60).

Ilusi ini mendorong kita melihat Kader Mia hanya dalam atribut identitas muslim. Meskipun, Kader Mia juga memiliki atribut lain dalam dirinya: buruh miskin, pengagum Mahatma Gandhi, heteroseksual, pecinta sepakbola, atau vegetarian.

Bagi Huntington, identitas bersifat kodrati. Sehingga seseorang tidak memiliki kuasa untuk memilih mana yang menjadi atributnya.

Sen menolak argumen tersebut. Sebagai filsuf liberal, ia melakukan pembelaan pada kebebasan individu. Sen berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan untuk menentukan kesetiaan dan prioritas di antara pelbagai macam kelompok pertalian (hlm. 9).

Kelemahan kedua dalam tesis Huntington adalah ahistoris. Ketika mengelompokkan peradaban-peradaban dunia yang saling terpisah dan berlawanan, Huntington sesungguhnya mengabaikan hubungan penting antar peradaban yang pernah dicatat sejarah.

Sen memberikan contoh mengenai India. Menurutnya, Huntington mendistorsi sejarah India sebagai “peradaban Hindu”. Padahal, 150 juta penduduk India adalah Muslim, dan menjadi salah satu dari Negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. Bahkan, India juga merupakan tempat lahir Buddhisme.

India adalah contoh bagaimana peradaban bisa saling terhubung satu sama lain tanpa antagonisme berarti. Menggambarkan India sebagai peradaban Hindu berarti menghilangkan proses sejarah yang kompleks dalam masyarakat India.

Kekerasan berdasarkan identitas seharusnya bisa dihindari jika kita tidak melihat dunia sebagai federasi agama-agama atau peradaban-peradaban. Sen mengajak kita untuk merayakan dan memeluk kemajemukan identitas manusia. Dimana atribut dalam diri manusia tidak tunggal dan kita mampu memilih dan memutuskan afiliasi atau asosiasi masing-masing.

 

Identitas Buku

Judul: Kekerasan dan Identitas, Penulis: Amartya Sen, Penerbit: Marjin Kiri, Terbit: 2015, Tebal: 239 halaman.

Penulis Resensi

Candra Septian, mahasiswa jurusan Ilmu Hubungan Internasional Universitas Pasundan. Penulis bisa dihubungi melalui Instagram & Twitter @chandraseptiaan

Referensi

Gombrich, E. H. (2020). Sejarah Dunia untuk Pembaca Muda. Tangerang Selatan: Marjin Kiri.

Huntington, S. (1993). The Clash of Civilizations? Foreign Affairs, III, 22-49. doi:10.2307/20045621

 

 








Tidak ada komentar