Header Ads

DUNIA PASCA-AMERIKA: MAMPUKAH AMERIKA BERTAHAN DITENGAH KEBANGKITAN YANG LAIN?



The Post-American World: Gejolak Dunia Pasca-Kekuasaan Amerika

Penulis: Fareed Zakaria

Penerbit: Bentang, Yogyakarta, 2015.

Tebal: 336 halaman

Setelah berakhirnya Perang Dunia II, perdebatan mengenai kemerosotan Amerika Serikat seringkali muncul setiap negara ini ditantang oleh kekuatan baru. Namun, dalam beberapa kesempatan, ketakutan negara adikuasa ini tidak pernah terbukti ―setidaknya hingga hari ini.

Rakyat AS pernah dibuat takut kala Uni Soviet menantang hegemoni mereka di Asia, Afrika, dan Amerika Latin pada era Perang Dingin. Mereka juga dibuat cemas pada Jepang yang akan menjadi kekuatan ekonomi dunia pada 1980-an. Sampai hari ini, rakyat AS masih juga dikhawatirkan oleh kebangkitan pengaruh Tiongkok di beberapa kawasan seperti Asia dan Afrika.

Magnus opus Francis Fukuyama berjudul The End of History? menutup mitos kemerosotan AS yang pertama. Fukuyama, seorang pemikir politik AS ini menyatakan bahwa akhir Perang Dingin ditandai oleh “akhir sejarah”: yakni titik akhir dari evolusi ideologi umat manusia dan makin universalnya demokrasi liberal Barat sebagai bentuk final pemerintahan umat manusia (Fukuyama, 1989).

Selanjutnya, Fukuyama menulis bahwa kemenangan AS merupakan bukti kuat dari pudarnya semua sistem alternatif yang ada bagi liberalisme Barat (Fukuyama, 1989). Esai tersebut menandai  kejatuhan Uni Soviet yang membawa bentuk pemerintahan alternatif ala Marxisme-Leninisme.

Kebangkitan ekonomi Jepang pada dekade 1980-an juga pada akhirnya mengalami kemunduran pada 1990-an. Pada tahun 1990 hingga 2000, Jepang mengalami resesi atau yang dikenal dengan The Lost Decade (Abe, 2010).

Terakhir, pertumbuhan ekonomi Tiongkok di bawah rezim otorier juga diperkirakan tidak akan berlangsung lama. Menurut duo ekonom Daron Acemoglu dari Massachusetts Institute of Technology dan James A. Robinson dari University of Chicago dalam buku Mengapa Negara Gagal: Awal Mula Kekuasaan, Kemakmuran, dan Kemiskinan, pertumbuhan ekonomi Tiongkok akan terhambat jika tidak secepatnya mengupayakan reformasi politik. Pertumbuhan ekonomi di bawah kekuasaan rezim otoriter ekstraktif, meskipun bisa dipertahankan selama beberapa saat, tidak akan menjadi pertumbuhan ekonomi berkelanjutan yang didukung oleh institusi inklusif dan disertai oleh gelombang penghancuran kreatif (Acemoglu & Robinson, 2020). Pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan hanya datang dari institusi negara inklusif yang menghargai kebebasan. Karena hanya dengan kebebasan, kreativitas dan inovasi muncul dan menopang pertumbuhan ekonomi. Kebangkitan Tiongkok yang didorong oleh institusi terpusat dan nondemokratis, besar kemungkinannya tidak akan langgeng.

Kebangkitan yang lain

Dunia pasca-kekuasaan AS yang dimaksud Zakaria tidak berarti AS runtuh seperti halnya Uni Soviet pada akhir Perang Dingin. Menurut Zakaria, dunia pasca-Amerika adalah dunia dimana AS tidak lagi menjadi kekuatan tunggal yang menguasai segala dimensi kekuatan ― ekonomi, politik-militer, sosial-budaya. Kekuatan-kekuatan tersebut semakin terdistribusi. 

Ia memberikan analogi untuk memotret pergeseran ini. Misalnya, “…bangunan tertinggi di dunia kini terletak di Dubai; pabrik-pabrik terbesar sejagat berdiri di Tiongkok; Hongkong menjadi sentral keuangan baru dunia; Uni Emirat Arab menyumbang investasi terbesar di dunia” (hlm. 3). 

Unipolaritas AS di periode ini akan tamat. Meskipun begitu, Zakaria juga meragukan dunia multipolar dengan lebih dari dua pemain besar yang setara.

Zakaria meminjam istilah “uni-multipolar” dari Samuel Huntington untuk menjelaskan dunia baru ini. AS masih akan menjadi negara adikuasa, tetapi hanya salah satu diantara sekian banyak negara yang kuat, percaya diri, dan aktif dalam sistem internasional yang lebih demokratis, dinamis, terbuka, dan berkelindan. Inilah yang terjadi sampai beberapa dasawarsa ke depan. Dunia baru itu adalah dunia pasca-Amerika (hlm. 60).

Dalam sejarah, pergeseran distribusi kekuasaan (power) adalah proses panjang. Zakaria mencatat pergeseran kekuasaan telah berlangsung tiga kali dalam kurun waktu lima ratus tahun terakhir. Pergeseran tersebut bukan hanya merubah siapa yang menjadi pusat kekuasaan, tetapi juga mengubah tatanan politik, ekonomi dan kebudayaam global. Pergeseran kekuasaan pertama terjadi seiring kebangkitan dunia Barat sejak abad ke-5 hingga abad ke-18 yang menghasilkan revolusi pertanian, revolusi industri, dan kolonialisme.

Pada pergeseran kekuasaan kedua, AS menggeser dominasi negara-negara Eropa sejak akhir abad ke-19. Saat ini, pergeseran kekuasaan ketiga ditandai oleh “kebangkitan ‘yang lain’”, yaitu negara-negara non-Barat yang menggerogoti unipolaritas AS (hlm. 2). Meskipun aktor-aktor non-negara juga dikategorikan sebagai ‘yang lain’ oleh Zakaria, tetapi sulit untuk membayangkan mereka mampu menantang AS.

Fenomena “kebangkitan ‘yang lain’” (the rise of the rest), menurut Zakaria, merupakan fenomena ekonomi, tetapi berdampak pada level politik, militer, sosial-budaya. Banyak sarjana yang menyebut ini sebagai “kebangkitan Asia”. Tetapi, Zakaria menganggap istilah itu kurang tepat. Meskipun kebangkitan ekonomi yang paling kentara terjadi di Asia, tetapi kebangkitan ini juga dirasakan di banyak negara Afrika dan Amerika.

Tantangan Tiongkok

Hingga saat ini, AS masih berdiri kokoh sebagai satu-satunya pusat kekuasaan meskipun sudah ditantang berkali-kali.

Tantangan terbesar dalam “kebangkitan ‘yang lain’” muncul dari Tiongkok. Antara tahun 1981-2012, negara ini tumbuh rata-rata 9,7 persen per tahun. Pertumbuhan ekonomi itu memberi manfaat bagi negara-negara lain dari kenaikan harga komoditas global. Bahkan, resep kebangkitan Tiongkok dengan Konsensus Beijing ― teori yang mendukung pemerintah yang aktif dan proses pengambilan keputusan politik yang tertutup dalam pembangunan ekonomi ― disejajarkan dengan Konsensun Washington (Hidalgo, 2013).

Satu dekade setelah buku ini  ditulis, Tiongkok masih menjadi aktor yang menantang dominasi AS secara serius. Proyek ambisius One Belt, One Road (OBOR), misalnya, muncul sebagai Marshall Plan versi Tiongkok dan mampu menarik minat sekutu lama AS di Uni Eropa (Shen, 2016).

Bagi orang-orang AS, ada tiga cara memandang “kebangkitan ‘yang lain’”: sebagai ilusi, sebagai ancaman, atau sebagai tantangan.

Zakaria memilih memandang kebangkitan ini sebagai sebuah tantangan bagi AS. Menurutnya, strategi terbaik AS adalah mengakomodasi ― daripada menahan ―  Tiongkok untuk menjadi pemangku kepentingan dalam dunia yang baru ini. Tetapi, hubungan keduanya lebih rumit dari yang dibayangkan. Ada perlunya AS bekerja sama dengan Tiongkok dalam beberapa isu dan menahannya dalam isu lain. Tiongkok merupakan mitra, kompetitor, dan musuh sekaligus (Dollar & Hass, 2021).

Zakaria mendorong AS untuk menyeimbangkan dua peran diplomasi terhadap Tiongkok. Pertama, peran AS untuk mengakomodasi kebangkitan Tiongkok. Menurutnya kebangkitan ini sebagai sesuatu yang tidak bisa terhindarkan akibat globalisasi. Kebangkitan ini adalah buah dari ide dan Tindakan AS. Sejak Perang Dunia II berakhir, AS melalui politisi dan diplomatnya berkeliling dunia untuk mendorong negara-negara berkembang membuka pasar mereka, menerapkan keterbukaan dalam bidang politik, serta merengkuh perdagangan bebas dan teknologi (hlm. 69).

Sebagai kekuatan ekonomi terbesar kedua, emiter karbon terbesar, dan memiliki populasi penduduk terbesar di dunia, Tiongkok perlu berada dalam kerangka kerja sama dengan AS dalam isu-isu yang berkaitan dengan kepentingan bersama seperti perubahan iklim, nonproliferasi nuklir, dan kesehatan global.

Kedua, peran AS untuk mengikatnya dalam sistem internasional. Seiring dengan menguatnya posisi Tiongkok, AS harus memastikan bahwa mereka akan tetap mematuhi order yang sudah ada. Inilah batasan utama yang bisa AS tegakkan guna memastikan agar “kebangkitan ‘yang’” lain tidak menjadi kompetisi gila-gilaan karena negara-negara kuat sibuk mengejar kepentingan dan keuntungan masing-masing sehingga menghancurkan stabilitas sistem internasional (hlm. 297).

AS perlu meminta komitmen Tiongkok terhadap institusi dan mekanisme global yang berperan dalam menyelesaikan dan menengahi masalah, dan mekanisme yang sudah AS ciptakan lima dasawarsa belakangan ini ― liberal international order (hlm. 298).

Setelah PD II, AS mempelopori tatanan dunia yang ditandai dengan keterbukaan ekonomi, upaya kolektif menjaga perdamaian, memajukan supremasi hukum, dan institusi internasional yang menciptakan kesalingtergantungan (Ikenberry, 2018). Keunikan tersebut mendorong Amerika membidani pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sistem Bretton Woods, Marshall Plan, North Atlantic Treaty Organization (NATO) dan institusi internasional lainnya. Tatanan inilah yang sukses mengantarkan Tiongkok sampai pada pertumbuhan ekonomi sekarang.

Jika melihat pada apa yang terjadi dalam sistem internasional hari ini, secara definitif dunia pasca-Amerika itu sedang terjadi. Dunia pasca-Amerika yang uni-multipolar akan ditentukan oleh aspek-aspek yang saling berkaitan: perilaku negara, reaksi negara lain, dan sistem internasional yang dihasilkan dari interaksi di dalamnya. Terakhir, Zakaria berharap “Kebangkitan ‘yang lain’” tidak serta merta menggembosi tradisi liberal international order.

Candra Septian adalah mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Pasundan, Bandung. Dapat ditemui melalui Instagram dengan nama pengguna @chandraseptiaan


Referensi:

Abe, N. (2010). Japan’s Shrinking Economy. Brookings Institution. https://www.brookings.edu/opinions/japans-shrinking-economy/

Acemoglu, D., & Robinson, J. A. (2020). Mengapa Negara Gagal Awal Mula Kekuasaan, Kemakmuran Dan Kemiskinan. PT Elex Media Komputindo.

Dollar, D., & Hass, R. (2021). Getting the China challenge right. Foreign Affairs, 1–15. https://www.brookings.edu/research/getting-the-china-challenge-right/

Fukuyama, F. (1989). The End of History? The National Interest, 16, 3–18. http://www.jstor.org/stable/24027184

Hidalgo, J. C. (2013). The Rise of Emerging Economies : Challenges and Liberal Perspectives. Friedrich Naumann Stiftung Fuer Die Freiheit, OccasionalPaper 118, 1–16. www.freiheit.org

Ikenberry, G. J. (2018). The end of liberal international order? International Affairs, 94(1), 7–23. https://doi.org/10.1093/ia/iix241

Shen, S. (2016). How China’s “Belt and Road” Compares to the Marshall Plan. The Diplomat. https://thediplomat.com/2016/02/how-chinas-belt-and-road-compares-to-the-marshall-plan/


Tidak ada komentar