Header Ads

Kinipan: Dinamika Deforestasi dan Politik Oligarki

      

          WatchDoc sebagai rumah produksi yang gencar merilis berbagai film dokumenter dengan mengangkat tema-tema sosial. Kembali hadir menyuguhkan film terbarunya yang dapat diakses melalui kanal YouTube WatchDoc documentary berjudul Kinipan, menyoal kritik kebijakan lingkungan hidup dan konflik kepentingan. Film ini disutradarai oleh founder WatchDoc yaitu Dandhy Laksono dan Indra Jati. Lingkungan yang termasuk isu eksistensial dikemas secara lebih menarik agar mudah dipahami oleh penonton. Di mana setiap babak permasalahan disajikan layaknya bab dalam buku yang saling berkaitan satu sama lain. Basuki Santoso dan Feri Irawan dijadikan tokoh utama untuk menganalisis dinamika persoalan lingkungan yang terjadi sesuai dengan fakta di lapangan. 

     Latar belakang Basuki Santoso sebagai seorang forester sejak tahun 2003, terlibat langsung menangani proyek restorasi atas tindakan deforestasi yang terjadi di Kalimantan Tengah. Ia mengajak para pemuda dan warga sekitar untuk memperbaiki hutan yang telah hancur. Dalam rentang waktu tertentu Basuki dan warga menerima kedatangan  relawan warga negara asing ke Borneo, Kalimantan Tengah. Dengan cara itu mereka dapat secara konsisten berupaya menyebarkan gagasan dengan menjelaskan realita yang terjadi secara nyata terhadap paru-paru dunia. Ia menegaskan bahwa walaupun pemerintah seakan berkomitmen untuk memulihkan hutan, realitasnya tidak demikian.   

      Kemudian tokoh sentral lain dalam film ini yaitu Feri Irawan yang sebelumnya merupakan  seorang atlet panjat tebing PON. Semenjak tahun 90-an dengan didasari oleh jiwa empati tinggi membela ketidakadilan yang terjadi di sekitarnya, ia mengaktualisasikan dirinya untuk membersamai perjuangan penyelamatan hutan bersama masyarakat di Sumatera hingga ke Eropa. Sejalan dengan kenyataan dari tahun ke tahun hutan Kalimantan maupun Sumatera sudah mulai berkurang, dan saat ini telah terjadi juga pada hutan Papua. Hal tersebut berakibat fatal terhadap keberlangsungan makhluk hidup, bahkan hingga matinya biodiversitas, dan umat manusia berkontribusi besar terhadap tragedi tersebut. 

Deforestasi 

       Lebih lanjut Dandhy membuka pertemuan antara Basuki dan Effendi Buhing sebagai pemantik menelusuri lebih jauh getirnya kehidupan masyarakat Suku Adat Tomun, Kinipan, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah. Perjuangan masyarakat Kinipan untuk mempertahankan hutannya dari praktik penanaman konsep monokultur kelapa sawit, yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan PT. Sawit Mandiri Lestari (SML) menghadapi perjalanan yang panjang. Kebijakan pelepasan hutan oleh KLHK dan perizinan HGU dari Badan Pertanahan Nasional tahun 2015 lalu meningkatkan potensi kerusakan hutan. Akibatnya masyarakat Kinipan teraleniasi dari pemenuhan hak-hak sebagai warga negara yang sepatutnya dilindungi. Lalu diperkuat bukti akan luas hutan yang sudah terlanjur di eksploitasi sekitar 3600 hektar. 

       Sampai disini saja sudah jelas bahwa Dandhy hendak menjelaskan terjadinya ketimpangan keadilan yang dilakukan pemerintah terlebih kepada masyarakat adat. Sehingga Effendi Buhing bersama warga lainnya berinsisatif membuat posko jaga di hutan, agar mereka bisa terus mengawasi aktivitas perusahaan terhadap hutan mereka. 

     Akan tetapi kondisi semakin memanas manakala perusahaan SML menangkap secara tidak manusiawi beberapa warga yang dianggap telah mencuri salah satu alat perusahaan dihutan, termasuk Effendi Buhing. Banyak masyarakat yang menaruh perhatian lebih terhadap kasus ini, kemudian mereka mengeratkan solidaritas terhadap Effendi Buhing dan warga Kinipan. Berselang 24 jam ia sudah dilepaskan. Maka hal tersebut memperjelas upaya kriminalisasi yang terus digencarkan oleh perusahaan untuk menekan masyarakat. 

         Pasca penangkapan Effendi Buhing terjadi pula banjir yang melanda kawasan Kalimantan Tengah dan beberapa kawasan lainnya yang diakibatkan oleh pembukaan lahan dan alih fungsi hutan yang secara massif di provinsi tersebut berkaitan dengan aktivitas perkebunan sawit dan pertambangan batu bara. 

      Dampak berkelanjutan dari praktik deforastasi hutan belum selesai sampai disitu saja. Pada awal tahun 2020 masyarakat Indonesia digemparkan dengan situasi ancaman pandemi. Lantas wawancara bersama para ahli sesuai para ahli pun untuk menguak fakta sebenarnya korelasi deforestasi dan masifnya gelombang pandemi. Di tempatnya masing-masing Feri dan Basuki menemui tokoh yang relevan untuk dimintai analisis konkrit, dan terkuaklah istilah Zoonosis. Wuryantari Setiadi yang merupakan peneliti Biologi Molekuler mengungkapkan saat berbincang dengan Basuki bahwa  Zoonosis yang bersumber dari penebangan hutan secara massif menimbulkan kemunduran keberlangsungan hidup habitat alami satwa yang merupakan medium pertemuan manusia dan vector. Maka tidak dapat dihindari transmisi penyakit dari hewan ke manusia maupun sebaliknya akan lebih mudah terjadi. 

      Pada akhirnya pandemi Covid-19 melanda Indonesia, dalam kurun waktu tahun 2020 saja 80 juta korban terkena Covid dan 1,7 juta meninggal dunia. Pelbagai sektor kehidupan tidak hanya kesehatan mengalami dampak signifikan yang membawa pada terjadinya krisis pangan. Pada akhirnya pemerintah Indonesia membuat kebijakan Food Estate untuk mempersiapkan akan kelangkaan pangan di masa yang akan datang. Berkaitan dengan  itu kebijakan mengesahkan Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang disinyalir jalan keluar menghadapi pandemi yang sedang terjadi ditentang keras oleh berbagai lapisan masyarakat, apalagi dalam naskah akademiknya disinyalir meghapus regulasi upaya mempertahankan 30% hutan, yang di mana akan meningkatkan deforestasi. 

       Dandhy memetakkan kondisi tragis,  diawali dari deforestasi yang berkorelasi dengan terjadinya berbagai bencana fisik maupun non-fisik. Dan pandemi yang saat ini kita rasakan sangat berdampak luar biasa terhadap kehidupan. Ternyata  jika pemicu krisis lingkungan masih dipelihara. 

Politik Oligarki 

        Istilah oligarki berasal dari bahasa Yunani yaitu oligarkhes yang memiliki arti diperintah atau diatur oleh beberapa orang saja. Berdasarkan pada kamus Merriam Webster oligarki merupakan suatu kelompok kecil yang melakukan kontrol terhadap pemerintahan untuk tujuan korupsi ataupun kepentingan diri sendiri. Jeffrey A. Winters seorang Profesor di Northwestern University mendefiniskan oligarki sebagai politik pertahanan kekayaan oleh pelaku yang memiliki kekayaan materil atau oligarki. Ia juga menekankan dalam tulisannya yang berjudul Oligharcy and Democracy in Indonesia, bahwasannya kekuataan kekayaan atau materiil merupakan unsur sentral yang paling signifikan untuk mendapatkan dan melanggengkan kekuasaan. 

       Dalam film yang berdurasi kurang lebih dua jam setengah membuka tabir  kegagalan sistem ekonomi kapitalis yang menekankan korporasi berskala besar, sehingga harus mengorbankan kehidupan bumi secara komprehensif. Serta menimbulkan kesenjangan sosio-ekonomi bagi masyarakat Indonesia. Bahkan hingga saat ini 4 orang terkaya di indonesia sebanding dengan 100 juta orang termiskin yang ada di indonesia. Tampuk kursi parlemen yang telah dikuasai oleh 557 anggota, juga berlatar belakang pebisnis dengan presentase 55% dan 26% adalah pemilik perusahaan. Sedangkan di kalangan eksekutif juga, termasuk presiden Jokowi dan beberapa menteri lainya berlatar belakang pengusaha dan eksekutif perusahaan. Dan dari hasil keputusan mereka yang tidak secara kuat meletakkan asas kepentingan masyarakat, sehingga wajar adanya apabila RUU Omnibus Law Cipta Kerja disahkan dalam tempo waktu yang sesingkat-singkatnya. 

      Selain itu kebijakan Food Estate yang dicanangkan pemerintah Jokowi untuk menciptakan lumbung pangan yang terkonsentrasi di beberapa tempat, termasuk Kalimantan dan Sumatera mendatangkan kemungkinan yang lebih parah kepada masyarakat baik secara langsung maupun tidak. Arti dari setiap adegan dalam film semakin mengerucut lagi, khususnya perihal Food Estate. 

      Pada kenyataannya kebutuhan pangan dengan konsep Food Estate bukanlah strategi yang tepat, apalagi tenaga kerja yang dikerahkan untuk melakukan bercocok tanam pun tidak menitikberatkan pemberdayaan masyarakat di daerah tersebut. Bertolak belakang dengan kebijakan pemerintah, pertanian tradisional yang telah dilakukan oleh warga setempat di Kalimantan maupun Sumatera bertujuan untuk mengelola pangan secara mandiri, bukan dikhususkan memenuhi kebutuhan wilayah-wilayah yang sentral. Strategi masyarakat yang demikian seharusnya lebih diandalkan, karena bersifat berkelanjutan yang dapat menjadi cadangan makanan dikala gagal panen maupun bencana bagi setiap komunitas masyarakat. Karena model penanamannya pun juga berdasarkan pada berbagai jenis varietas. 

      Selanjutnya sebagai penonton kita diajak juga untuk membedah keadaan sesungguhnya tentang praktik restorasi yang seharunya dalam film tersebut diatasi oleh masyarakat sekitar kawasan hutan yang mengalami degradasi lingkungan. Namun pemerintah memiliki konsep lain dengan menyerahkan secara penuh kepada pihak perusahaan restorasi ekosistem hutan, dengan cara tersebut pemasukan pajak bagi negara semakin meningkat. Dan perlu ditekankan masyarakat adat tidak akan bisa memenuhinya. 

      Dandhy berusaha memberikan pernyataan berimbang dari kedua sisi agar mendapatkan fakta secara jelas. Pelbagai asumsi yang timbul diolah kembali secara mendalam dengan mencari jawaban yang sesungguhnya Tidak terelekkan konflik antara perusahaan restorasi hutan dan masyarakat adat pun meruncing tatkala pihak perusahaan menganggap bahwa masyarakat tidak pro-aktif terhadap aktivitas mereka dan menimbulkan kegaduhan dengan dibakarnya area hutan. 

       Padahal di kawasan hutan tersebut terdapat tanaman warga, dan tidak akan tega hati jika mereka membakarnya yang hakikatnya dari situlah sumber mata pencahariannya. Dilematika donor negara industri kepada Indonesia selaku pihak yang bertanggung jawab untuk menjaga dan mengembalikan hutan menjadi dana tersendiri bagi perusahaan untuk dialokasikan bagi pajak maupun kebutuhan perusahaan lainnya, tidak sepenuhnya untuk hutan, dan tidak mungkin negara pendonor tidak tahu akan hal itu. 

      Seperti film dokumenter yang digarap langsung oleh Dandhy sebelumnya, secara mendasar diproses melaui riset mendalam, hingga menemukan jawaban yang faktual dari berbagai macam gelembung pertanyaan. Dengan film ini ia memproyeksikan bagaimana berbagai macam bencana alam maupun non-alam terkoneksi dan lainnya dan dirangkum dalam suatu kebijakan pemerintah yang tidak berpikir jangka panjang, tapi hanya mengutamakan egosentrisme sekelompok manusia sampai berefek domino terhadap keberlangsungan kehidupan makhluk hidup dan masyarakat lain yang sama sekali tidak mendapatkan hasil pertumbuhan kue ekonomi. 

           "Pemerintah memberikan proyek pelestarian hutan kepada mereka yang hidupnya tak bergantung secara langsung kepada hutan, sementara yang terdekat justru hanya menonton. Menonton bagaimana dulu hutan dirusak dan menonton bagaimana dulu hutan akan dipulihkan lewat berbagai proyek yang tak mereka pahami. Padahal justru dari bangku penonton inilah pertunjukkan keserasian antara kebutuhan antara alam dan kebutuhan hidup telah dipentaskan selama ribuan tahun”, ujar Dandhy Laksono menjelang akhir tayangan film tersebut.

       Film ini sarat akan pesan mendalam bagi kita semua agar memiliki kesadaran penuh untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup. Ditambah dengan tantangan nyata bahwasannya krisis iklim sudah di depan mata, terlebih dinamika peradaban manusia saat ini yang terlalu menggantungkan kebutuhan hidupnya secara berlebihan kepada alam didorong oleh kebijakan pemerintah yang belum berlandaskan pada. Seiring berjalannya waktu manusia tetap akan terjebak dalam lingkaran masalah lingkungan, manakala paradigma berpikir sistem politik oligarki yang melahirkan kebijakan tidak adil kepada masyarakat masih dipertahankan dan mengakar di tubuh suatu pemerintahan. Dan sistem politik ekonomi yang berlandaskan ecosentrisme juga masih diabaikan. Dengan demikian modal yang harus dibayar manusia terhadap alam akan jauh lebih besar di masa depan. 

Sherani Soraya Putri 






      










      







Tidak ada komentar