Header Ads

Memahami Lanskap Media Digital di Indonesia: Konglomerat dan Warganet yang Berdaya



Oleh: Candra Septian

Judul Buku : Kuasa Media di Indonesia ― Kaum Oligarki, Warga, dan Revolusi Digital

Penulis : Ross Tapsell

Penerjemah : Wisnu Prasetya Utomo

Cetakan : Cetakan pertama, Oktober 2018

Penerbit : Marjin Kiri

Tebal Buku : x + 298 halaman

Dalam buku Kuasa Media di Indonesia: Kaum Oligarki, Warga, dan Revolusi Digital, Ross Tapsell membahas bagaimana lanskap media digital di Indonesia yang berada di persimpangan jalan. Di satu pihak, media terkonsentrasi di sekelompok elite yang menghambat keragaman informasi. Sementara di pihak lain, digitalisasi memberdayakan warganet untuk menggunakan platformnya dengan tujuan kontra-oligarki. 

Ross berusaha untuk menjawab dua pertanyaan dalam penelitian ini: (1) Apa dampak revolusi digital dalam produksi berita dan informasi? (2) Bagaimana perubahan media digital di Indonesia mempengaruhi cara kekuasaan digunakan?

Buku ini terbagi menjadi lima bab, yang masing-masing membahas perkembangan digitalisasi media di Indonesia dan berakhir dengan kesimpulan. Isinya dibedah satu-persatu pada yang berikut ini.

Bab satu menjelaskan bagaimana media digital di Indonesia tumbuh dari media yang sudah hadir sebelumnya seperti media cetak, televisi, dan radio. Sebelum era digital hadir, media sejatinya sudah memiliki pengaruh bagi masyarakat dan kekuasaan di Indonesia. Sejak revolusi kemerdekaan hingga reformasi, media memainkan perannya untuk ikut mendorong perubahan dalam struktur sosial masyarakat. 

Surat kabar nasionalis di era revolusi memungkinkan tumbuhnya cita-cita kemerdekaan di elite terpelajar. Dalam bahasa Ben Anderson, “Kapitalisme cetak memungkinkan bahasa nasional, bahasa Indonesia, menyebar melalui pasar dan media, yang turut membangun solidaritas kaum muda elite Indonesia.” Begitu juga dengan televisi di orde baru yang dikontrol pemerintah untuk mengamankan kekuasaan, dan media sosial hari ini yang mendorong adanya agensi politik dari warganet. Setiap zaman memiliki medium dan pesannya masing-masing. 

Bab dua, Ross menganalisis ekonomi-politik industri media di Indonesia sejak mengalami digitalisasi. Ia menemukan adanya konglomerat media yang terdiri dari beberapa kelompok besar yang menguasai pasar media arus utama di Indonesia.

Penelitian ini menemukan adanya delapan konglomerat media yang mendominasi lanskap media di Indonesia, yakni Chairul Tanjung (Trans Corporation), Hary Tanoesoedibjo (Global Mediacom), Eddy Sariaatmadja (Emtek), keluarga Bakrie (Visi Media Asia), Surya Paloh (Media Group), James Riady (BeritaSatu), Dahlan Iskan (Jawa Pos), dan Jacob Oetama (Kompas Gramedia).

Konglomerat-konglomerat media ini menciptakan pasar media yang oligopolistik. Mereka bekerja dengan pola yang relatif sama: membeli perusahaan yang lebih kecil, memproduksi konten yang relatif serupa, diproduksi dari ibukota, dan menyesuaikan kepentingan politik dan bisnis pemiliknya.

Mereka terus berkembang menjadi perusahaan multiplatform dengan mendirikan stasiun televisi digital, berita daring, media sosial, jurnalisme warga, dan surat kabar harian.

Pada Bab tiga, Ross menjelaskan secara dalam mengenai tiga tren besar yang muncul dari konglomerasi media digital di Indonesia. Pertama, pemilik media semakin kuat secara politik. Kedua, pemilik media semakin kaya. Ketiga, perusahaan media dikelola menyerupai dinasti.

Para pemilik media ini bertransformasi menjadi oligarki media, yang dengan vulgar menampilkan pengaruhnya dalam politik nasional. Hal tersebut ditandai dengan kedekatannya dengan kekuasaan atau terlibat aktif di partai politik nasional.

Dalam pemerintahan SBY di periode kedua, misalnya, pemilik media yang berada di lingkarannya ikut terlibat dalam pemerintahan. Chairul Tanjung ditunjuk sebagai kepala Komite Ekonomi Nasional (KEN) pada 2010 dan Dahlan Iskan sebagi Menteri BUMN pada 2011-2014.

Sementara itu, pemilik media lain seperti Surya Paloh dan Aburizal Bakrie memilih jalan berseberangan. Mereka melihat SBY sebagai rival politik dan mendemonisasinya.

Pada Pilpres 2014 , Surya Paloh dan Bakrie juga saling bertukar pengaruh lewat media masing-masing. Media milik Surya Paloh dan Bakrie dengan vulgar mempertontonkan sikap partisannya dengan dukungan politik terhadap calon presiden tertentu. Karena keberpihakan pada kandidat tertentu dalam pemilihan umum, sebuah pemberitaan dipotret dengan kesimpulan yang sama sekali berbeda. Sehingga, media tidak lagi bekerja untuk publik.

Dalam bab ini, Ross mempertegas bahwa oligarki media menggunakan kekuasaannya untuk pertarungan oligarki. Saat itu, lanskap multi-oligarkis menciptakan media yang sangat partisan dan buas satu sama lain. Tapi dalam bab empat, Ross melihat bahwa pesan-pesan oligarkis ini bukan tidak bisa dilawan.

Di lain sisi, digitalisasi memungkinkan adanya media-media partisipatif yang menantang dominasi oligarki media. Anak-anak muda yang diberdayakan oleh akses internet yang mudah, mampu menciptakan pesannya masing-masing demi perubahan sosial-politik.

Ross percaya bahwa jalan terbaik untuk melawan oligarki media adalah melalui media digital itu sendiri.

Kawal Pemilu dan Kasus Teman Ahok merupakan contoh bagaimana warganet memakai platform digital untuk menyebarkan pesan anti-oligarki.

Di bab lima, Ross menggarisbawahi bagaimana peran negara dalam membatasi kebebasan warganet di ruang maya. Menurutnya, “Pemerintah Indonesia lemah terhadap oligarki media, tetapi tangkas dan kuat dalam menindak warganet”. Hal ini membuat kita bertanya, “Sejauh mana warganet mampu menantang kekuatan oligarki di media digital?”.

Menjawab pertanyaan tersebut, Ross berpandangan pesimis. Ia berpendapat bahwa negara dan oligarki bersama-sama membawa Indonesia ke arah kontrol yang semakin terpusat.

Kesimpulan dari buku ini tidak mencoba menjawab siapa yang menang dalam digitalisasi media. Menurutnya, digitalisasi memberdayakan dua subjek penting di dalamnya, yaitu konglomerat media dan warganet meskipun dengan tujuan yang berbeda. Dua subjek inilah yang agensi politiknya diperkuat oleh digitalisasi dan saling berebut pengaruh.

Pada akhirnya, ruang maya menjadi arena kontestasi tanpa akhir antara elite dan warganet. Untuk menantang oligarki media secara serius, dibutuhkan nafas panjang serta perlu makin banyaknya warganet yang ikut serta dalam membentuk informasi alternatif dan melobi agar suara mereka di dengar. Upaya ini tidak akan mudah. Sebab, upaya ini membutuhkan lebih dari sekedar minoritas yang terberdayakan, yang umumnya anak-anak muda di kota-kota besar dengan kemudahan akses internet.

Candra Septian, adalah mahasiswa jurusan Ilmu Hubungan Internasional Universitas Pasundan. Penulis bisa dihubungi melalui Instagram & Twitter @chandraseptiaan

 

No comments