Header Ads

Curi Start Pilpres 2024: Baliho Dipajang Mural Dilarang



Ilustrasi

Lengkong Besar, BPPM Pasoendan- Polemik situasi politik Indonesia di tengah situasi pandemi Covid-19 terus menguak ke permukaan. Para aktor politik telah mengambil langkah strategis untuk meraih kekuasaan dalam konstelasi politik nasional Pemilihan Presiden 2024, yang sebenarnya masih tiga tahun lagi. 

Berdasarkan pada fenomena tersebut sekaligus memperingati hari kemerdekaan Indonesia ke-76, Komite Independen Sadar Pemilu (KISP) mengadakan acara webinar bagi publik,  bertajuk Refleksi Demokrasi 76 Tahun Kemerdekaan yang bertemakan Pandemi Belum Usai, 2024 Sudah Mulai, pada 18 Agustus 2021 melalui zoom meeting.

Beberapa pembicara yang hadir diantaranya, Wasisto Raharjo Jati selaku Peneliti Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Aqidatul Izza Zain selaku Peneliti Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD), dan Wildhan Khalyubi selaku Peneliti Komite Independen Sadar Pemilu (KISP). Para narasumber menyampaikan materi mengenai menurunnya indeks demokrasi di setiap tahunnya, misinformasi dan autokrasi, serta fenomena baliho politisi yang dalam kurun waktu terakhir viral di media sosial. 

Catatan Merah Demokrasi di Masa Covid-19 

Aqidatul Izza Zain memaparkan tentang penurunan kualitas sistem demokrasi Indonesia di era pandemi Covid-19. Mengulas dari publikasi Laporan Indeks Demokrasi 2020 The Economist Intellegence Unit (EIU), mencatat rata-rata skor indeks demokrasi dunia adalah 5.37, mengalami penurunan dari yang sebelumnya berada pada 5.44. Menjadikan Indonesia sebagai negara cacat demokrasi, dengan perolehan peringkat ke-64 dari setidaknya 167 negara. 

Selanjutnya menurut IDEA 2021, indeks demokrasi Indonesia menurun, berdasarkan pada faktor kebebasan partai politik, demokrasi lokal, dan kebebasan masyarakat sipil yang terhalang oleh UU ITE, khususnya pasal karet pencemaran nama baik dan pasal ujaran kebencian. Menelisik tentang kinerja pemerintah di masa pandemik, membuka fakta bahwa tingkat kepuasan publik terhadap pemerintah cenderung menurun. Didukung Partai Politik dalam hal ini DPR juga tidak menggunakan kekuatannya secara optimal untuk membantu mengatasi pandemi Covid-19. Ironisnya alih-alih menyelesaikan persoalan di depan mata, mereka memilih fokus untuk persiapan Pilpres 2024. 

Artinya pada kondisi pandemi Covid-19, implementasi nilai-nilai demokratis tidak semakin meningkat, namun terus mengalami kemunduran. 

Dibatasinya ruang kritik juga menjadi penegasan akan menurunnya kualitas demokrasi yang terjadi jauh sebelum pandemi. Dapat ditinjau dari adanya kejadian beberapa waktu ke belakang, yaitu penghapusan gambar-gambar mural di pinggir jalan yang berujung  pada penangkapan penggambar mural tersebut oleh aparat, karena dianggap mengganggu ketertiban masyarakat. 

“Sifat mural itu kan merupakan alat perlawanan, khususnya kelompok kiri terhadap pemerintah. Ekspresi politik tersebut selain dapat dijangkau oleh masyarakat menengah, dasarnya  itu sah-sah  saja. Indikator yang berpeluang mengganggu ketertiban umum itu bukan hanya mural saja, namun baliho partai politik juga. Terlihat represif masih terjadi, kendati ditangkap karena dalih sopan santun, lalu siapakah yang menentukan indikator kesopanan dalam menyampaikan kritik,” tutur Wildhan. 

Izza dan Wasisto juga menganggap bahwa tindakan pembungkaman kritik dengan dihapusnya mural yang berisi protes kepada pemerintah, merupakan upaya mereka untuk memberikan rasa takut kepada masyarakat jika nantinya mereka hendak menyampaikan kritik kembali. Maka dari perspektif para elit, kritik dari masyarakat hanyalah suatu bentuk ancaman bagi eksistensi kekuasaan pemerintah. 

Misinformasi dan Autokrasi

Pada situasi saat ini, di mana pandemi menyebar ke berbagai negara, nyatanya merubah tatanan demokrasi dunia termasuk Indonesia. Wasisto menyatakan penanganan pemerintah terhadap Covid-19 jauh lebih dibutuhkan masyarakat, namun miskonsepsi akan ketergantungan masyarakat membuat posisi pemerintah lebih terlegitimasi. Penerimaan masyarakat akan kebijakan pemerintah secara otoriter dalam menangani pandemi, bukti adanya pergeseran demokrasi di Indonesia ke arah autokrasi atau tatanan pemerintahan yang berlaku otoritarian. 

“Pandemki dalam level elit menciptakan kondisi yang misinformatif dan masyarakat yang anti science, yang berujung pada kondisi autokrasi,” tuturnya. 

Menurutnya akar dari autokrasi itu sendiri adalah misinformasi yang terus terjadi dari awal pandemi hingga saat ini. Salah satunya tidak rincinya pemerintah dalam membuat dan memberlakukan kebijakan penanganan pandemik, sehingga menciptakan misinformasi di masyarakat, yang berujung pada terbelahnya kubu antara masyarakat yang percaya kepada pemerintah dan mereka yang memihak oposisi. Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kinerja presiden turun dalam empat bulan terakhir dengan presentasi 37,1%, sedangkan mayoritas 59,6% merasa sangat/cukup puas dengan kinerja Presiden Joko Widodo. 

Implikasi dari pembesaran eksekutif (excecutive aggrandizement) dan ketergantungan publik kepada negara berdampak positif terhadap elit penguasa (ruling elites) guna menaikkan popularitas pejabat tersebut. 

Kemudian kebijakan misinformatif yang telah ada akan menjadi alat propaganda politik untuk digunakan kepada publik agar lebih patuh terhadap kebijakan pemerintah, dikarenakan kondisi pandemi yang menyimpan banyak ketidakpastian.  

Akhirnya pandemi menjadi berkah politik bagi para elit untuk dijadikan medium manuver politik individu maupun secara kolektif. Lantas kritik yang selama ini disampaikan oleh masyarakat kepada pemerintah  terus di reduksi dan dianggap menciptakan disrupsi. 

Fenomena Baliho 

Seiring dengan ramainya perbincangan akhir-akhir ini di media sosial tentang terpampangnya baliho para petinggi partai politik Beberapa narasumber memberikan tanggapan yang sangat menarik. Izza menyampaikan etika partai politik yang memasang baliho berkaitan dengan agenda kepentingannya dianggap kurang etis. 

“Yang kita tahu saat ini kita masih pandemi, tetapi elit politik sudah mengurusi permasalahan pemilihan presiden, lalu memasang baliho para petinggi parpol. Sebetulnya orang awam saja bisa mengatakan, mereka sedang mempromosikan diri. Padahal parpol punya peran penting untuk menangani pandemi, tidak hanya bansos atau vaksinasi yang bisa dilakukan oleh berbagai level masyarakat, termasuk lembaga swadaya masyarakat. Seharusnya partai politik membantu dalam proses pembuatan kebijakan pemerintah, karena akses mereka cenderung lebih dekat kepada kekuasaan, dibandingkan oposisi” ujarnya.  

Selanjutnya Wasisto juga memberikan pendapatnya, ia melihat dari baliho tersebut sebetulnya tersirat dua pesan yang terkandung di dalamnya. Pertama sebagai pesan akan adanya figur yang heroik, karena baliho adalah media visual untuk promisi yang kerap digunakan oleh semua kalangan. 

Terlebih di masa pandemi, berbagai macam tagline seolah merupakan narasi heroik. Karena saat ini masyarakat membutuhkan  figur yang berada ditengah masyarakat, jadi bisa di interpretasikan bahwa hal itu cukup efektif mendapatkan simpati masyarakat. Kedua, adanya narasi populis, terjadinya relasi struktural adalah ladang untuk investasi politik bagi para elit. Dimana para elit memanfaatkan betul menjadi figur yang populis atau populer di mata publik dengan kejadian viral nya itu. 

“Baliho juga bisa dijadikan cara untuk melakukan identifikasi awal pengaruhnya kepada masyarakat secara terlokalisir, karena jika mengandalkan data dari sosial media nyatanya masih terlalu tidak jelas. Dengan demikian baliho yang secara historis dijadikan sebagai alat politik mendapatkan suara, ternyata masih cukup efektif digunakan, dan biasanya oleh beberapa parta lama,” tambahnya.  

Wildhan juga turut menjelaskan tentang ekosistem politik menuju 2024, dihubungkan dengan tingginya pembahasan baliho politisi ini. Secara tidak langsung baliho yang terus dibahas oleh publik di media sosial, secara tersirat dapat dijadikan bahan bakar bagi elektabilitas beberapa partai politik. Karena walaupun citra dari politisi dalam baliho dinilai buruk oleh warga internet, namun jika terus ditransmisi ulang dapat menguntungkan sebagian partai politik atau biasa disebut dengan istilah bad publicity is good publicity. 

Menurut survei yang telah dilakukan oleh KISP dari tanggal 01 Agustus-15 Agustus 202 perihal percakapan tentang baliho politisi di media sosial. Terdapat 32 % warga internet menyatakan bahwasannya citra politisi di baliho tersebut menunjukka citra buruk dan 26% dari mereka menyayangkan akan adanya kampanye politik di tengah situasi Covid-19. 

“Akan lebih baik jika pemerintah berfokus menangani pandemik Covid-19, contohnya dengan mengalokasikan dana perpindahan ibu kota baru untuk kebutuhan permasalahan penanganan pandemi,” tambah Izza. 

Wildhan menyampaikan dalam memahami peristiwa yang berkembang luas di masyarakat, diperlukan counter narasi yang tidak hanya berfokus pada politik kandidasi menuju Pemilu 2024. Civil Society juga harus dihadapakan pada realita untuk memperhatikan dinamika yang akan terjadi pada penyelenggaraan Pemilu 2024, selain fokus terhadap penanganan Covid-19. 

“Karena fokus terhadap permasalahan Pemilu 2024 akan memungkinkan masyarakat juga mengawal pemilu dengan melihat proyeksi permasalahan yang dapat terjadi, diharapkan agar generasi muda untuk menciptakan konsolidasi demokrasi” ungkapnya. 

Pun dua pembicara lainnya menyampaikan pesan kepada para pemuda untuk tetap menjadi figur yang idealis, karena di situasi pandemi membutuhkan figur yang konsisten dalam memperjuangkan  kebenaran. Pemuda sebagai agen perubahan memiliki presentase yang sangat besar dalam pemilu nanti, jangan sampai terjerumus dengan semakin menurunkan kualitas demokrasi di Indonesia. 

Sherani

Tidak ada komentar