G-30S/SSM, Bukan PKI Tapi "Suara-suara Miring"
Opini, Daniel -- Dengan adanya Tulisan ”Redefinisi Sistem Politik Mahasiswa FISIP Unpas di Tengah Gelombang Kritikan” yang ditulis oleh Bung Rangga, kiranya ada baiknya saya selaku dari pada mahasiswa yang menjadi bagian dari pada bagian “suara-suara miring” yang mumgkin dimaksud oleh Penulis tersebut untuk memberikan sebuah tanggapan yang konstruktif agar sebuah pemahaman akan realitas objektif dapat kita gambarkan melalui diskursus inter-subjektivitas pemahaman antara saya (Daniel Russell Enander) dengan Bung Rangga serta mahasiswa lainnya yang terlibat dalam konstalasi sosial yang ada di Kampus FISIP Unpas .
Selayaknya kita sebagai mahasiswa yang sadar akan pemahaman kritis dan nilai-nilai akademis dalam menanggapi suatu permasalahan maka ada baiknya bagi saya untuk membuat (partisipasi politik) suatu tanggapan kepada penulis dengan dasar keberatan-keberatan saya yang tertuang dalam beberapa statemen yang ada di tulisan Bung Rangga. Dimana dengan adanya statemen-statemen yang dikeluarkan dalam tulisan Bung Rangga kiranya menurut saya telah dengan sendirinya memunculkan suatu asumsi—karena ini opini makanya boleh dong menurut saya—yang menolak suatu realitas yang seharusnya kita mengerti dengan tidak bersifat defensif dengan memberikan label “suara-suara miring” bagi kritikan-kritikan terhadap partai politik kampus dan memberikan suatu pendekatan yang justru menawarkan mekanisme yang menurut saya adalah utopis dan reformis dalam kondisi dan segmentasi realitas politik kampus yang ada. Maka kiranya ada beberapa point yang akan saya langsung jabarkan di bawah.
Pertama, dengan statemen kata “main tabrak tanpa aturan” kiranya perlu kita pahami realitas sebelum statemen tersebut yang bagi saya adalah suatu kontradiksi karena sifatnya tidak yang kompherensif atau menjadi sebuah struktur bahasa yang disusun oleh Bung Rangga justru tidak mewaliki realitas yang ada. Perlu kita ketahui bahwa dengan keberadaan partai politik yang ada di kampus sangatlah terlihat jelas kita selaku data empiris lapangan yang merasakan atmosfer politik kampus bahwa “main tabrak tanpa aturan” yang dimaksud oleh Bung Rangga justru telah lama terjadi di kampus kita tercinta, dengan mencampur-adukan antara jabatan karir dengan politis yang ada jika kita berbicara pada akses struktural kekuasaan. Dimana tidak adanya transparasi yang jelas dalam pembagian kursi kekuasaan, sebagai contoh kadiv-kadiv eksekutif yang tidak dipilih bedasarkan mekanisme yang transparan atau dalam kondisi bedasarkan partisipasi politik yang akut (dimana semua pihak mahasiswa dilibatkan), atau tertutupnya partisipasi politik dalam mekanisme tersebut, walau pada akhirnya secara konstitusional pemilihan kadiv adalah hak perogratif dari pada pemegang jabatan politik gubernur yang memenangkan Pemira dengan suara terbanyak .
Kedua, dengan adanya statemen solusi yang paling rasional bagi keberadaan partai politik yang tidak terbantahkan adalah bagi saya tidak lebih dari suatu tindakan yang telah dengan sendiri menolak pengembangan suatu logika yang organik, yang dimana selayaknya kita sebagai subjek manusia berhak untuk berpikir menurut subjektivitasnya masing-masing demi proses pengembangan suatu solusi bagi hidup kita atau telah adanya suatu pelarangan yang secara persuasif dengan menghentikan proses berpikir dan mendekonstruksi atau mendefinisikan suatu realitas dan solusi yang ada, ditambah dengan adanya data-data empiris yang ditunjukan dari beberapa negara seperti Jepang, Kuba dan Tiongkok oleh Bung Rangga yang dijadikan sebagai pemantapan status quo kondisi akan pemahaman realitas yang tidak boleh terbantahkan, atau seakan-seakan partai politik berada dalam suatu kondisi hukum alam (biologis) yang diciptakan dari Tuhan yang maha Esa.
Kiranya yang perlu kita ketahui adalah solusi haruslah dibangun didasarkan oleh segmentasi realitas lapangan yang ada, dan jelas bukanlah suatu kajian teoritis dengan skala, tempat dan waktu yang jauh atau tidak pernah kita kunjungi (karena permasalahan yang berbeda). Intinya adalah saya menolak pemantapan data objektif dari beberapa negara tersebut atas keberadaan partai politik yang tidak boleh terbantahkan sebagai suatu pemahaman yang harus kita terima mentah-mentah atau sebagai ilmu pasti (kaya matematika, kimia dan biologi) tanpa memikirkan suatu permasalahan secara historis dan dinamis bedasarkan skala, kondisi dan waktu yang berbeda, dan menolak pembunuhan akal sehat berpikir organik mahasiswa dalam mendekonstruksi realitas yang dibunuh oleh objektivitas data faktual yang ahistoris atau adanya objektivitas yang menghentikan proses berpikir (subjektivitas).
Di samping yang perlu Bung Rangga ketahui adalah kita sebagai layaknya manusia bukanlah suatu angka statistik yang ada berhak untuk berpikir secara subjektif dan merubah realitas yang kita miliki dengan suatu imajinisasi ilmiah sebagai bagian inheren dari proyek perubahaan yang lebih baik dan masuk akal atas dasar segmentasi data empiris lapangan, dikarenakan kemerdekaan dan penghargaan manusia sebagai manusia yang utuh (manusiawi) diawali dengan penghargaan oleh setiap subjetivitas individu dengan proses berpikir dalam mendefinisikan realitas atau dunia dan maknanya sebagai langkah awal kita berkontribusi sebagai subjek (manusia) bukanlah objek (hasil yang diciptakan manusia, seperti perabotan rumah tangga, mesin produksi, dan lainnya) yang sering kali maknanya dibunuh oleh data faktual (data partai negara) yang kuantitatif maupun kualitatif yang membuang detail permasalahan.
Ketiga adalah dengan adanya statement “bagaimana menjabarkan pendaftaran partai politik kampus yang dilimpahkan pada domain KPUM saja serta kaitannya dengan bagaimana BEM selaku pelaksana tertinggi (apakah itu ditingkat Depdagri, Setneg, ataupun departemen yang relevan lainnya) tidak memposisikan diri dalam pemeriksaan, pengujian dan pembuktian kelengkapan dan kebenaran persyaratan hingga keabsahan suatu partai” bagi saya bukanlah permasalahan yang dalam konteksnya suara miring dikeluarkan, karena ini seakan-akan memindahkan masalah dari proses faktual yang dihasilkan oleh kekuasaan ke dalam tataran mekanisme persiapan yang nadanya wow! banyak intervensi sana-sini di dalam tubuh KPUM (Komite Pemilihan Umum Mahasiswa) itu sendiri, sekali lagi yang harus Bung Rangga ketahui adalah bahwa kebanyakan mahasiswa di kampus tidak butuh tata kelola normatif dan reformis yang anda anjurkan (maaf mungkin karena kami tidak mengerti mekanisme bertele-tele dan sana sini dalam kondisi objektif yang tidak mendukung), karena itu menurut saya adalah hak dari masing-masing partai, tetapi yang kita inginkan adalah tidak lain bagaimana dan hasil apa yang telah partai politik lakukan dalam proses kekuasaan (komsumsi kekuasaannya) yang dapat dilihat dan dirasakan secara faktual (sesuai dengan apa yang dikatakan pada saat Pemira di mana kata “perubahaan!” selalu muncul dan sering menjadi jargon utama setiap partai menjelang Pemira), di samping bagi saya tidak mungkin untuk merekonstruksi secara berulang-ulang atas mekanisme normatif yang ada di-dalam suatu kondisi (saat ini) di mana telah terjadinya kepesimisan dalam skala besar (menurut saya, maaf!) mahasiswa terhadap eksistensi lembaga yang ada .
Ke-empat adalah dengan adanya statemen keterlibatan pihak kampus juga sangat penting. Kampus bisa menyediakan program-program semacam (1) Training & directing: berupa pelatihan keorganisasian, kepemimpinan dan kepartaian hingga pengarahan visi-misi yang sesuai dengan kampus. (2) Developing: implementasi dan eksplorasi. (3) Researching: mengkaji dan mengevaluasi sistem kepartaian terutama dalam misi untuk mengembangkan kemampuan mahasiswa serta peningkatan budaya partisipannya adalah tidak lain bagi saya di mana dengan adanya kata yang saya garis bawahi yang ditulis oleh Bung Rangga, dengan meningkatkan keterlibatan pihak kampus telah dengan sendirinya menimbulkan suatu kekawatiran bagi saya, disamping jika yang dimaksud birokrat (asumsi yang paling kuat), maaf sekali lagi saya harus mengkritik (bukan mendikte) bahwa ada dimensi kehidupan mahasiswa yang tidak boleh dicampur-adukkan oleh birokrat kampus meski antara mahasiswa dan birokrat ada di satu kampus yang sama tetapi secara ilmiah tidak ada substansi dan garis kepentingan yang sama, layaknya air (H2O), dimana hidrogen dan oksigen adalah dua substansi yang selalu bertentangan dan tidak pernah netral dalam suatu kepentingan (buruh: butuh makan atau kesejahteraan dalam bentuk upah, dan pengusaha: butuh profit dengan menurunkan upah buruh di dalam kondisi pasar yang dinamis ), dan juga karena kekawatiran saya akan melemahnya kemampuan dan pembangunan kemandirian berpikir dan berorganisasi mahasiswa, di samping kita bukan lagi anak OSIS yang penuh intervensi guru BP yang sok paling bener atas nama protektif, atau jangan sampai keterlibatan kreativitas mahasiswa oleh pihak kampus justru menjadikan kita bukan sebagai kaum akademisi atau agent of change yang organik (secara kognitif maupun praktikal) tetapi menjadi “EVENT ORGANIZER” birokrat atau pemilik modal atau manajemen kampus dalam proses akumulasi kapital atau promosi kampus demi memperbanyak mahasiswa hingga ruangan kelas tidak dapat menampung dan dosen dipaksa bekerja dengan upah yang sama per-SKS.
Maka pesan penutup dari saya atas opini balasan dari tulisan Bung Rangga yang saya hormati walaupun masih banyak yang ingin saya permasalahkan adalah pertama kiranya ada baiknya untuk Bung Rangga untuk lebih memperhatikan esensi “suara-suara miring” dengan tidak melabelinya tetapi menjadikan suatu antitesis yang haruslah ditanggapi secara dewasa dan bijak, karena dari “suara-suara miring” yang dimaksud oleh Bung tersebut tidaklah mungkin ada atau eksis tanpa adanya realitas yang dibentuk oleh struktural politik (menjadi bagian yang paling bertanggung jawab karena akses dan legalitas kekuasaan yang dimilikinya dan didapatkan secara etika politik melalui sistem pemira “voting suara terbanyak”), dan penutup kedua dari saya adalah mohon bagi saudara untuk dapat membaca teori yang saya rekomendasikan (lebih filosofis dan esensial), dibandingkan dengan jika kita harus mutlak-mutlak-kan kekuatan absolut dari data “objektif” (misalnya data negara yang berpartai) dengan teori aksi komunikasi Jurgen Habermas yang berbicara tentang substansi-subtansi dan prasyarat-prasyarat bagaimana membangun suatu ruang publik dalam kondisi kesetaraan (bahasa dan berpendapat) dalam rangka menjadikan demokrasi lebih bersifat partisipatoris disamping adanya penekanan sentralitas solusi kekuatan ketua umum partai dengan statement “artinya beberapa waktu kedepan konsolidasi antar ketua umum bisa menjadi jalan yang tepat terutama untuk menjawab kritikan-kritikan” disamping yang perlu Bung Rangga ketahui adalah demokrasi bukanlah membangun komunikasi antar “ketua partai (kalau buat koalisi ya boleh lah) tetapi bagaimana membangun partisipasi secara menyeluruh dengan terlebih dahulu menunjukan hasil faktual kekuasaan yang bagi “suara-suara miring” menjadi sponsor utama kemunculannya, disamping yang perlu kita ketahui akses berpendapat yang cenderung tertutup (rapat hanya bisa dihadiri oleh DPM dan Ketua HMJ yang belum tentu mewakili kita sebagai mahasiswa disamping logika ketua-ketua HMJ seringkali tidak mewakili permasalahan kami atau mahasiswa biasa karena mungkin kita berada pada struktur dan dimensi serta hingga akhirnya menjadikan logikanya masing-masing berbeda atau hingga akhirnya telah munculnya antagonisme antara kami dengan penguasa atau perwakilan kami dengan tidak adanya hubungan yang setara dan demokratis antara yang mewakili dan diwakili.
Daniel Russel Enander
Hubungan Internasional 2012
Selayaknya kita sebagai mahasiswa yang sadar akan pemahaman kritis dan nilai-nilai akademis dalam menanggapi suatu permasalahan maka ada baiknya bagi saya untuk membuat (partisipasi politik) suatu tanggapan kepada penulis dengan dasar keberatan-keberatan saya yang tertuang dalam beberapa statemen yang ada di tulisan Bung Rangga. Dimana dengan adanya statemen-statemen yang dikeluarkan dalam tulisan Bung Rangga kiranya menurut saya telah dengan sendirinya memunculkan suatu asumsi—karena ini opini makanya boleh dong menurut saya—yang menolak suatu realitas yang seharusnya kita mengerti dengan tidak bersifat defensif dengan memberikan label “suara-suara miring” bagi kritikan-kritikan terhadap partai politik kampus dan memberikan suatu pendekatan yang justru menawarkan mekanisme yang menurut saya adalah utopis dan reformis dalam kondisi dan segmentasi realitas politik kampus yang ada. Maka kiranya ada beberapa point yang akan saya langsung jabarkan di bawah.
Pertama, dengan statemen kata “main tabrak tanpa aturan” kiranya perlu kita pahami realitas sebelum statemen tersebut yang bagi saya adalah suatu kontradiksi karena sifatnya tidak yang kompherensif atau menjadi sebuah struktur bahasa yang disusun oleh Bung Rangga justru tidak mewaliki realitas yang ada. Perlu kita ketahui bahwa dengan keberadaan partai politik yang ada di kampus sangatlah terlihat jelas kita selaku data empiris lapangan yang merasakan atmosfer politik kampus bahwa “main tabrak tanpa aturan” yang dimaksud oleh Bung Rangga justru telah lama terjadi di kampus kita tercinta, dengan mencampur-adukan antara jabatan karir dengan politis yang ada jika kita berbicara pada akses struktural kekuasaan. Dimana tidak adanya transparasi yang jelas dalam pembagian kursi kekuasaan, sebagai contoh kadiv-kadiv eksekutif yang tidak dipilih bedasarkan mekanisme yang transparan atau dalam kondisi bedasarkan partisipasi politik yang akut (dimana semua pihak mahasiswa dilibatkan), atau tertutupnya partisipasi politik dalam mekanisme tersebut, walau pada akhirnya secara konstitusional pemilihan kadiv adalah hak perogratif dari pada pemegang jabatan politik gubernur yang memenangkan Pemira dengan suara terbanyak .
Kedua, dengan adanya statemen solusi yang paling rasional bagi keberadaan partai politik yang tidak terbantahkan adalah bagi saya tidak lebih dari suatu tindakan yang telah dengan sendiri menolak pengembangan suatu logika yang organik, yang dimana selayaknya kita sebagai subjek manusia berhak untuk berpikir menurut subjektivitasnya masing-masing demi proses pengembangan suatu solusi bagi hidup kita atau telah adanya suatu pelarangan yang secara persuasif dengan menghentikan proses berpikir dan mendekonstruksi atau mendefinisikan suatu realitas dan solusi yang ada, ditambah dengan adanya data-data empiris yang ditunjukan dari beberapa negara seperti Jepang, Kuba dan Tiongkok oleh Bung Rangga yang dijadikan sebagai pemantapan status quo kondisi akan pemahaman realitas yang tidak boleh terbantahkan, atau seakan-seakan partai politik berada dalam suatu kondisi hukum alam (biologis) yang diciptakan dari Tuhan yang maha Esa.
Kiranya yang perlu kita ketahui adalah solusi haruslah dibangun didasarkan oleh segmentasi realitas lapangan yang ada, dan jelas bukanlah suatu kajian teoritis dengan skala, tempat dan waktu yang jauh atau tidak pernah kita kunjungi (karena permasalahan yang berbeda). Intinya adalah saya menolak pemantapan data objektif dari beberapa negara tersebut atas keberadaan partai politik yang tidak boleh terbantahkan sebagai suatu pemahaman yang harus kita terima mentah-mentah atau sebagai ilmu pasti (kaya matematika, kimia dan biologi) tanpa memikirkan suatu permasalahan secara historis dan dinamis bedasarkan skala, kondisi dan waktu yang berbeda, dan menolak pembunuhan akal sehat berpikir organik mahasiswa dalam mendekonstruksi realitas yang dibunuh oleh objektivitas data faktual yang ahistoris atau adanya objektivitas yang menghentikan proses berpikir (subjektivitas).
Di samping yang perlu Bung Rangga ketahui adalah kita sebagai layaknya manusia bukanlah suatu angka statistik yang ada berhak untuk berpikir secara subjektif dan merubah realitas yang kita miliki dengan suatu imajinisasi ilmiah sebagai bagian inheren dari proyek perubahaan yang lebih baik dan masuk akal atas dasar segmentasi data empiris lapangan, dikarenakan kemerdekaan dan penghargaan manusia sebagai manusia yang utuh (manusiawi) diawali dengan penghargaan oleh setiap subjetivitas individu dengan proses berpikir dalam mendefinisikan realitas atau dunia dan maknanya sebagai langkah awal kita berkontribusi sebagai subjek (manusia) bukanlah objek (hasil yang diciptakan manusia, seperti perabotan rumah tangga, mesin produksi, dan lainnya) yang sering kali maknanya dibunuh oleh data faktual (data partai negara) yang kuantitatif maupun kualitatif yang membuang detail permasalahan.
Ketiga adalah dengan adanya statement “bagaimana menjabarkan pendaftaran partai politik kampus yang dilimpahkan pada domain KPUM saja serta kaitannya dengan bagaimana BEM selaku pelaksana tertinggi (apakah itu ditingkat Depdagri, Setneg, ataupun departemen yang relevan lainnya) tidak memposisikan diri dalam pemeriksaan, pengujian dan pembuktian kelengkapan dan kebenaran persyaratan hingga keabsahan suatu partai” bagi saya bukanlah permasalahan yang dalam konteksnya suara miring dikeluarkan, karena ini seakan-akan memindahkan masalah dari proses faktual yang dihasilkan oleh kekuasaan ke dalam tataran mekanisme persiapan yang nadanya wow! banyak intervensi sana-sini di dalam tubuh KPUM (Komite Pemilihan Umum Mahasiswa) itu sendiri, sekali lagi yang harus Bung Rangga ketahui adalah bahwa kebanyakan mahasiswa di kampus tidak butuh tata kelola normatif dan reformis yang anda anjurkan (maaf mungkin karena kami tidak mengerti mekanisme bertele-tele dan sana sini dalam kondisi objektif yang tidak mendukung), karena itu menurut saya adalah hak dari masing-masing partai, tetapi yang kita inginkan adalah tidak lain bagaimana dan hasil apa yang telah partai politik lakukan dalam proses kekuasaan (komsumsi kekuasaannya) yang dapat dilihat dan dirasakan secara faktual (sesuai dengan apa yang dikatakan pada saat Pemira di mana kata “perubahaan!” selalu muncul dan sering menjadi jargon utama setiap partai menjelang Pemira), di samping bagi saya tidak mungkin untuk merekonstruksi secara berulang-ulang atas mekanisme normatif yang ada di-dalam suatu kondisi (saat ini) di mana telah terjadinya kepesimisan dalam skala besar (menurut saya, maaf!) mahasiswa terhadap eksistensi lembaga yang ada .
Ke-empat adalah dengan adanya statemen keterlibatan pihak kampus juga sangat penting. Kampus bisa menyediakan program-program semacam (1) Training & directing: berupa pelatihan keorganisasian, kepemimpinan dan kepartaian hingga pengarahan visi-misi yang sesuai dengan kampus. (2) Developing: implementasi dan eksplorasi. (3) Researching: mengkaji dan mengevaluasi sistem kepartaian terutama dalam misi untuk mengembangkan kemampuan mahasiswa serta peningkatan budaya partisipannya adalah tidak lain bagi saya di mana dengan adanya kata yang saya garis bawahi yang ditulis oleh Bung Rangga, dengan meningkatkan keterlibatan pihak kampus telah dengan sendirinya menimbulkan suatu kekawatiran bagi saya, disamping jika yang dimaksud birokrat (asumsi yang paling kuat), maaf sekali lagi saya harus mengkritik (bukan mendikte) bahwa ada dimensi kehidupan mahasiswa yang tidak boleh dicampur-adukkan oleh birokrat kampus meski antara mahasiswa dan birokrat ada di satu kampus yang sama tetapi secara ilmiah tidak ada substansi dan garis kepentingan yang sama, layaknya air (H2O), dimana hidrogen dan oksigen adalah dua substansi yang selalu bertentangan dan tidak pernah netral dalam suatu kepentingan (buruh: butuh makan atau kesejahteraan dalam bentuk upah, dan pengusaha: butuh profit dengan menurunkan upah buruh di dalam kondisi pasar yang dinamis ), dan juga karena kekawatiran saya akan melemahnya kemampuan dan pembangunan kemandirian berpikir dan berorganisasi mahasiswa, di samping kita bukan lagi anak OSIS yang penuh intervensi guru BP yang sok paling bener atas nama protektif, atau jangan sampai keterlibatan kreativitas mahasiswa oleh pihak kampus justru menjadikan kita bukan sebagai kaum akademisi atau agent of change yang organik (secara kognitif maupun praktikal) tetapi menjadi “EVENT ORGANIZER” birokrat atau pemilik modal atau manajemen kampus dalam proses akumulasi kapital atau promosi kampus demi memperbanyak mahasiswa hingga ruangan kelas tidak dapat menampung dan dosen dipaksa bekerja dengan upah yang sama per-SKS.
Maka pesan penutup dari saya atas opini balasan dari tulisan Bung Rangga yang saya hormati walaupun masih banyak yang ingin saya permasalahkan adalah pertama kiranya ada baiknya untuk Bung Rangga untuk lebih memperhatikan esensi “suara-suara miring” dengan tidak melabelinya tetapi menjadikan suatu antitesis yang haruslah ditanggapi secara dewasa dan bijak, karena dari “suara-suara miring” yang dimaksud oleh Bung tersebut tidaklah mungkin ada atau eksis tanpa adanya realitas yang dibentuk oleh struktural politik (menjadi bagian yang paling bertanggung jawab karena akses dan legalitas kekuasaan yang dimilikinya dan didapatkan secara etika politik melalui sistem pemira “voting suara terbanyak”), dan penutup kedua dari saya adalah mohon bagi saudara untuk dapat membaca teori yang saya rekomendasikan (lebih filosofis dan esensial), dibandingkan dengan jika kita harus mutlak-mutlak-kan kekuatan absolut dari data “objektif” (misalnya data negara yang berpartai) dengan teori aksi komunikasi Jurgen Habermas yang berbicara tentang substansi-subtansi dan prasyarat-prasyarat bagaimana membangun suatu ruang publik dalam kondisi kesetaraan (bahasa dan berpendapat) dalam rangka menjadikan demokrasi lebih bersifat partisipatoris disamping adanya penekanan sentralitas solusi kekuatan ketua umum partai dengan statement “artinya beberapa waktu kedepan konsolidasi antar ketua umum bisa menjadi jalan yang tepat terutama untuk menjawab kritikan-kritikan” disamping yang perlu Bung Rangga ketahui adalah demokrasi bukanlah membangun komunikasi antar “ketua partai (kalau buat koalisi ya boleh lah) tetapi bagaimana membangun partisipasi secara menyeluruh dengan terlebih dahulu menunjukan hasil faktual kekuasaan yang bagi “suara-suara miring” menjadi sponsor utama kemunculannya, disamping yang perlu kita ketahui akses berpendapat yang cenderung tertutup (rapat hanya bisa dihadiri oleh DPM dan Ketua HMJ yang belum tentu mewakili kita sebagai mahasiswa disamping logika ketua-ketua HMJ seringkali tidak mewakili permasalahan kami atau mahasiswa biasa karena mungkin kita berada pada struktur dan dimensi serta hingga akhirnya menjadikan logikanya masing-masing berbeda atau hingga akhirnya telah munculnya antagonisme antara kami dengan penguasa atau perwakilan kami dengan tidak adanya hubungan yang setara dan demokratis antara yang mewakili dan diwakili.
Daniel Russel Enander
Hubungan Internasional 2012
Beri Komentar