Header Ads

Kritik Sebagai Pelampauan, Tanggapan untuk Empat Mahasiswa Ini


Opini, Rifqi -- Tanggapan untuk Rangga Amalul

Dalam tulisannya, Rangga Amalul menjawab berbagai kritikan terhadap parpol kampus dengan sangat normatif woles-politis, dengan mengakui absennya parpol dalam beberapa hal kemudian menawarkan bagaimana cara mengencangkan skrup ini dan itu, memoles borok ini dan itu sembari mengafirmasi bahwa sistem kepartaian adalah sebuah keniscayaan, singkatnya mengisi kekosongan esensi dari politik elektoral dengan menyuntikkan berbagai suplemen agar politik kembali menjadi seperti yang di-idealkan. Dalam diskusi ini, saya akan mencoba menguraikan argumen konseptual dalam tulisan Rangga dan ketepatan tanggapannya atas kritik yang bermunculan tentang partai politik mahasiswa.

Rangga memulainya dengan rasionalisasi sistem kepartaian yang ada di luar kampus sudah tidak bisa terbantahkan lagi sebagai cara paling konstitusionil dalam mencapai kekuasaan, daripada cara-cara lain yang main tabrak tanpa aturan (anarki?). Di sini sudah terlihat jelas bahwa ada perbedaan momentum epistemologis antara pengkritisi dan parpol yang dikritisi, dalam konteks tulisan ini Rangga sebagai kader parpol—mempunyai logika yang berbeda. Jika para pengkritisi berangkat dari bagaimana seharusnya sistem politik kemahasiswaan bisa memberikan kemajuan dan perubahan berarti bagi mahasiswa dan kampus, berbeda dengan parpol yang agenda utamanya adalah mengakses kekuasaan, yang kebetulan melibatkan mahasiswa secara luas dalam prosesnya.

Kemudian Rangga menempatkan sistem yang saat ini berjalan sebagai sistem yang terberi (given), yang telah ada dari sananya. Dengan memberikan contoh Negara dengan ideologi berbeda pun melakukan hal yang sama, jika yang dimaksud ideologi adalah ide tentang politik yang unik, jelas Rangga absen mengikuti peta politik global hari ini, pertarungan partikular antar ideologi jelas telah berakhir sejak Turki Usmani runtuh dan kehancuran Komunisme pasca-kebangkrutan Soviet, sekalipun Cina yang pernah menawarkan ide pembangunan politik-ekonomi komunisme berubah menjadi kapitalisme-otoritarian dalam alam neoliberalisme global.

Selanjutnya Rangga menawarkan solusi klasik seperti ; (1) mendorong transparansi dan (2) kontrol ketat dari semua elemen terhadap aktivitas politik partai dan rekomendasi yang detil tentang bagaimana seharusnya sistem politik kemahasiswaan yang ideal, yaitu ; political reforms, administrative reforms dan management information. Tiga Hal yang Rangga rekomendasikan adalah indikator penting good governance, konsepsi pembangunan ála neoliberal institusionalis untuk mengajarkan masyarakat bagaimana mengawasi sekaligus mematuhi kebijakan, bukan untuk melibatkan masyarakat secara aktif dalam pembuatan kebijakan. Namun sayangnya, bukan itu yang menjadi fokus para pengkritisi parpol, tiga poin yang Rangga rekomendasikan memang sangat penting, sayangnya good governance bukan merupakan tujuan namun proses untuk mewujudkan tujuan yang lebih besar, yaitu sistem yang melibatkan banyak mahasiswa lainnya seperti apa yang di-diskusikan Fajar Hasanul dalam tulisannya, “Kegiatan politik yang dilokalisir sebatas untuk kalangan LKm sebagai cermin ekslusivitas aktivis mahasiswa, tidak akan pernah menemukan political power yang produktif bagi kemajuan kampus bahkan Negara”.

Tanggapan Untuk Ryan Pujiawan, Dede Darusman dan Alfi Arafah

Dalam wawancara BPPM Pasoendan dengan Ryan Pujiawan (Ketum Pasfor), Dede Darusman (Ketum Pinus) dan Alfi Arafah (Ketum Jong Pasundan) tentang respon ketiganya mengenai kritikan yang ditujukan kepada parpol, mereka sepakat untuk tidak menyepakati opini-opini yang bertebaran di luar mengenai parpol, yaitu lagi-lagi mengulang argumen klasik politisi diluar sana yang sudah bosan kita dengar.

Ryan mengatakan bahwa fungsi partai adalah bagian dari pencerdasan politik, kemudian Dede menegaskan jika setiap hari parpol bekerja, berbeda dengan Alfi yang merespon kritik dengan kritik kepada para pengkritisi (mahasiswa lainnya) yang ia anggap apatis. Saya menggaris-bawahi tiga kata kunci premis dari argumen yang mereka layangkan, yaitu Cerdas-Kerja-Apatis, selanjutnya akan disingkat menjadi “Ceker Api”. Saya tidak akan mengelaborasinya menjadi sebuah tesis, namun lebih kepada makna yang dari argumen yang ketiganya maksud.

Ceker Api dimaknai sebagai tugas yang seharusnya partai lakukan, dan mereka menyatakan telah melakukannya, seperti: pencerdasan politik, kerja politik dan menggalang political awereness demi menyelematkan mahasiswa dari kubangan sikap apatis. Pembelaan itu jelas melenceng dari kritik yang dilayangkan, karena yang dikritisi bukan kinerja partai perse dan orang-orang yang ada didalamnya, namun sistem politik kemahasiswaan FISIP secara lebih luas. Seperti yang Resha Harpina katakan, “Bertahun-tahun kampus FISIP punya parpol,  DPM, Lembaga Eksekutif yang mangkal di Lengkong Besar, tetap saja dosen tidak berkapabilitas masih mengajar, kurikulum yang enggak jelas arahnya kemana tidak pernah jadi bahan kritikan wakil mahasiswa. Walaupun sebenarnya LKm, Partai dan orang-orang yang ada didalamnya tidak bisa dipisahkan, karena Birokrat LKm adalah kader Partai.

Kritik Sebagai Pelampauan Logika, bukan Kepala.

Ketiga argumen itu mengafirmasi ketidak-pahaman dari kritik yang sering dilancarkan kepada parpol dan sistem politik kemahasiswaan, yang menjadi inti kritik bukanlah kinerja partai-walaupun ada beberapa kritik yang langsung dilancarkan pada kinerja partai dengan beberapa indikator, namun sistem politik kampus lebih luas, karena kinerja akan mengikuti bagaimana logika sistem itu berjalan. Hal ini pula menegaskan bahwa rasionalitas mereka yang berada dalam sistem berbeda dengan rasionalitas kita yang berada diluar sistem.

Yang menjadi pijakan para pengkritisi partai dan sistem politik kemahasiswaan adalah keruh-kacau kampus, mulai dari hal akademik dan non-akademik, Partai jelas tidak beranjak dari titik berangkat yang sama, parpol beranjak dari bagaimana mendapatkan kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan, tidak lebih dari itu. Bagaimana menguasai HMJ, bagaimana kadernya duduk di kursi birokrasi BEM, bagaimana kursi DPM bisa dikuasai. Menyatukan semua mahasiswa untuk bersama-sama mengkritisi kampus bukan agenda utama partai. Hal itu jelas memperlihatkan perbedaan pijakan epistimologis yang berbeda atau bahkan perbedaan di level ontologi tentang apa itu politik.

Disaat gerakan protes mahasiswa yang berangkat dari berbagai tuntutan satu bulan belakangan ini mengemuka kembali, mulai dari London, Toronto, Québec, Amsterdam, Dublin menjalar sampai New Delhi, di FISIP Unpas malah ramai meributkan politik-recehan yang dirayakan dalam Pemira. Inilah mengapa banyak mahasiswa yang menolak ber-partai atau bahkan keluar dari partai karena mereka merasa hanya melakukan aksi yang seakan-akan politis, namun sebenarnya apolitis. Kita  yang mengetahui betul bagaimana politik kampus berjalan, mungkin sudah bosan untuk berlagak naïf, kita akan lebih banyak tertawa atau bahkan malas  jika membicarakan kontestasi perebutan kekuasaan kecil-kecilan dikampus.

Rifqi Fadhlurrakhman
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional 2012
Editor CSS Journal

No comments