Header Ads

Hail, Posmo!!

Opini, Rangga -- Terima kasih atas kritik-kritik yang disampaikan oleh Bro Rifqi dan Bro Daniel yang tidak lain merupakan rekan ber-tabayyun dengan telah menyikapi tulisan saya di BPPM Pasoendan beberapa waktu lalu. Izinkan saya untuk menjawab 4 point kegelisahan (?) yang Bro Daniel sampaikan terlebih dahulu:

(1). Pada awal paragraf Bro Daniel memilih menggunakan diksi khas Post-Positivist untuk menjelaskan hal yang sederhana: menanggapi. Bro Daniel mengurai permasalahan politik mahasiswa di FISIP Unpas, jikapun saya boleh membantu mengarahkan Bro Daniel jawabannya menurut saya ada pada tulisan saya sebelumnya. Namun saya mohon maklum apabila tulisannya diklaim tidak komprehensif dan tidak mewakili realitas versi Bro Daniel. Menyambung ke poin pertama, Bro Daniel mempermasalahkan suatu masalah yang Bro Daniel sendiri mengetahui itu bukan merupakan suatu masalah. Tentu saya tidak perlu meragukan kualitas Bro Daniel apalagi mendikte untuk kembali membuka teori-teori Ilmu Politik untuk menjelaskan apa itu domain politik. Namun bagaimana-pun seruan Bro Daniel layak mendapatkan apresiasi sebagai langkah dalam proses konsolidasi demokrasi dari keterpisahan menuju keterlibatan yang makin mantap. Semua partai perlu untuk mendengarkan keluh kesah ini. Saya juga mencatat kata-kata suara-suara miring, kemudian label utopis dan reformis (saya berterima kasih karena tidak melabeli saya haram ataupun halal), dan Bro Daniel berbicara segmentasi realitas politik di kampus, izinkan saya untuk menjelaskan hal tersebut pada point-point berikutnya.  

(2). Poin dua, Bro Daniel mengatakan jika dalam tulisan saya, saya menolak pengembangan logika dan menghentikan proses berpikir. Tentu ini sangat keliru. Sekali lagi Bro Daniel ada pada tataran “klaim”. Saya rasa kita ada pada proses yang sama-sama ber-tabayyun. Dan singgungan Bro Daniel terkait partai politik dan Tuhan, saya sebagai orang beragama ada pada prinsip Kun Faya Kun adanya partai politik juga adalah kehendak dari Tuhan. Jika boleh saya memberi anekdot, bagaimana bisa Bro Daniel melabeli saya reformis sekaligus menganggap saya status quo? Sejauh ini yang saya pahami keduanya saling bertolak-belakang. Terdapat ketidak konsistenan Bro Daniel disini (?) Menyinggung paragraf berikutnya, jika pun Bro Daniel menolak tulisan saya, tentu Bro Daniel bisa menunjukkan pula solusi-solusi yang paling rasional. Bagaimana pun tata kelola organisasi terkecil hingga raksasa sekalipun tidak bisa selesai hanya jika Bro Daniel menetapkan sesuatu dalam hal yang “bebas nilai” sesuai kegemaran Bro Daniel dalam berpikir. Saya rasa juga Bro Daniel tidak perlu mengkerdilkan ilmu-ilmu saintifik sebagai pemantapan opini apalagi Bro Daniel  telah berbicara segmentasi politik yang notabene itu tidak bisa tidak selalu berdekatan dengan kalkulasi. Di kalimat-kalimat berikutnya saya menduga Bro Daniel sedang tidak sehat dalam menulis tulisan tersebut, bagaimanapun rangkaian kalimat dan dan logika yang dibangun amatlah membingungkan. Saya harap saya saja yang keliru membacanya.

(3). Poin tiga mengesankan bahwa Bro Daniel belum mengerti bagaimana tata-kelola suatu organisasi dan peng-administrasiannya. Jika pun ingin memperdebatkan ini saya menyarankan untuk berdiskusi saja dengan mahasiswa Administrasi Publik atau Negara. Namun kalimat berikutnya saya setuju dengan Bro Daniel yang intinya sistem kepartaian harus diperbaiki, pendapat saya soal cara memperbaiki ada pada tulisan saya sebelum ini.

(4). Terimakasih atas imajinasinya yang cukup membingungkan. Silakan jika berkenan Bro Daniel jelaskan tata cara mengembangkan kemampuan mahasiswa yang paling rasional dan dalam hal apa saja hubungan mahasiswa dan kampus harus dipisahkan. Serta apakah pelatihan yang saya singgung termasuk yang harus dipisahkan. Silahkan pikirkan dengan bijak tanpa perlu menjelek-jelekkan profesi EO. Terima kasih juga rekomendasi tulisan Jurgen Habermas. Jika saya boleh merekomendasikan juga, tolong pahami juga buku-buku dasar ilmu politik, pengantar administrasi dan manajemen serta buku-buku sosiologi di SMA.

(5). Pertanyaan saya: (a) Menurut Bro Daniel mungkinkah saya mengganti kata suara-suara miring menjadi suara-suara merdu? (b) Apakah yang disebut utopis dan sejauh mana orang bisa disebut utopis? (c) Apa dan bagaimana segmentasi realitas politik di kampus menurut Bro Daniel? Tolong jelaskan!

Tanggapan Balik Tulisan Bro Rifqi

Saya beranggapan Bro Rifqi tidak banyak mengoreksi, hanya saja Bro Rifqi aktif dalam memberi pelabelan dan sentilan dengan bahasa yang renyah (?) dan mudah dipahami namun kurang substansial, tanggapan saya:

(1). Jikapun pertarungan ideologi telah berakhir, bisakah saya sebut Bro Rifqi sebagai seorang berpaham kapitalis karena sedang hidup di era kapitalisme yang tanpa ada pertarungan? Bisakah saya sebut dengan kekalahan the left lantas diasumsikan bahwa nilai-nilainya telah mati? Bagaimana Bro Rifqi menjelaskan pula keberadaan fundamentalis jika dan hanya jika pertarungan ideologi telah mati?  

(2). Orang neoliberal adalah pendukung gigih organisasi internasional. Cara Bro Rifqi mengembangkan pemikirannya untuk membangun logika berpikir (yang deduktif) justru dipertanyakan dengan pelabelan neolib yang rasanya kurang tepat dalam konteks ini.

(3). Bro Rifqi yang mengulang-ulang mempermasalahkan sistem. Saya rasa dalam kapasitas yang sesungguhnya Bro Rifqi bisa memberi solusi yang lebih baik (tidak hanya klaim namun metodologis) dengan tidak awas pada level individu dan karakter pemimpinnya. Tentu akan menarik jika Bro Rifqi menjelaskan ini dengan pendekatan Foucault dengan tingkat analisis sebagai berikut: (a) Physical level (b) The emotional level (c) The level of the heart (4) The aspect of mind, ataupun pendekatan Ubermensch Nietzsche dihadapkan pada seni mengelola orang banyak.

(4). Saya rasa Bro Rifqi memahami dengan gamblang perbedaan antara normatif dan preskriptif. Label normatif pada tulisan saya rasanya sebagai gurauan Bro Rifqi saja yang pura-pura tidak mengetahui apa itu preskriptif.

(5). Saya rasa yang melibatkan banyak mahasiswa telah sering dilakukan oleh para LKm sekalipun ada beberapa kekurangan tetapi saya ulangi sistem yang melibatkan banyak mahasiswa telah sering terjadi. Pertanyaan saya berapa jumlah mahasiswa sehingga bisa dikatakan “banyak”?

Perlu diingat bahwa mahasiswa hadir dengan preferensi aktivitas yang berbeda, diantaranya: (1) Hedonis konsumtif. (2) Profesional individualis, tidak peduli yang lain hanya sibuk mempersiapkan masa depan. (3) Asketis religious yang dipikirannya hanya agama saja (4) Aktivis. (5) Protarian, yang suka mengekspresikan penderitaan rakyat kecil. (6) Pengkaji, yang seolah-olah dengan melakukan kajian saja problem masyarakat telah selesai. Jika boleh, saya mengajak Bro Rifqi  dan Bro Daniel untuk berpikir pada saat memahami ada “segmentasi” di kalangan mahasiswa, ide apa yang akan Bro Daniel dan Bro Rifqi usungkan untuk mencapai kata ”keterlibatan banyak mahasiswa” itu? Mohon dijelaskan dengan imajinasinya! Yang komprehensif lebih disukai.

Terakhir, Jika Bro Daniel dan Rifqi ingat, Krasner, Keohane, dan Katzenstein mengklaim jika post positivist bukan merupakan ilmuan sosial, meneliti posmodernisme berisiko menjadi self-referential (merujuk pada diri sendiri) terlepas dari dunia, dan reflektivis ektrim tidak terlibat dalam memahami dunia nyata. Mereka hanya bermain-main kata. Saya yakin Bro Rifqi dan Bro Daniel bukan termasuk yang hanya bermain kata dan tidak memahami dunia nyata. Wallohualam bissawab. Mari berfikir teratur dan terarah.

Rangga Amalul Akhli
Mahasiswa Prodi Hubungan Internasional 2011 

Tidak ada komentar