Header Ads

Neo-Imperialisme, Neo-Liberalisme Ancaman Negara dan Pancasila

Opini, BPPM -- Penjajahan gaya baru bukan hanya melibatkan fisik semata dan rupanya diterima ‘baik’ oleh masyarakat kita, karena beberapa dari mereka ada yang turut membantu sebagai perantara dari penjajahan ini. Sebagai analoginya kita ini seperti bayi usia 6 (enam) bulan saja, diberi makan dan tidak tahu apa yang dimakannya, yang penting kita itu diam, tidur dan berhenti menangis. Miris sekali ketika bangsa ini cenderung apatis menyikapinya padahal dampak yang ditimbulkan sangat luar biasa karena “neo-imperialisme” ini atas dasar persetujuan dari bangsa kita sendiri. Munafik? Jelas.

ilustrasi/visimulsim.com
Memperkaya diri dengan menyerahkan hasil tanah kekayaan pribumi, serta mengeksploitasi manusia hanya untuk kepentingan golongan dan pihaknya, lebih baik hengkang saja dari Indonesia. Sumber daya manusia (SDM) jadi keraguan dan persoalan besar untuk mengolah dan memafaatkan hasil tanah sendiri. Lantas apa gunanya membangun universitas-universitas ternama di negeri ini dengan jenjang pendidikan hingga “master-profesor”? Apakah mereka tidak bisa? Ataukah eksistensi mereka tergulingkan oleh asing? Jadi kemana sebenarnya orang-orang pintar di negeri ini? Mayoritas bangsa kita mendefinisikan Negara “makmur” hanyalah soal materealis belaka bahkan mungkin kita menjilat kaki para “penjajah” mau-mau saja asalkan demi materi.

Selanjutnya soal kebebasan gaya baru yang kebablasan, atau “neo-liberalisme” yang di agung-agungkan ini ternyata menimbulkan suatu masalah baru dan juga berdampak kritis dimana “freedom of speech” dan “human right” menjadi salah arti dan memiliki penafsiran yang berbeda-beda. Sehingga yang dihasilkan adalah bangsa ini seperti tidak memiliki pelindung, akses yang luas tanpa aturan, yang rentan sekali menimbulkan suatu pemikiran yang menyimpang dan meng-cover dirinya atas dasar faham “semua individu memiliki kebebasan.” Apabila sesuatu yang dikemukakan bersifat menyimpang bukankah itu sebuah penjajahan terhadap ideologi kita?
Kita ambil satu contoh kasus LGBT (Lesbian, Gay, Bisexsual dan Transgender), dimana para pejuang neo-liberal bersikukuh ingin melegalkan perkawinan sejenis. Jikalau terjadi, bangsa ini berarti sudah benar-benar menyimpang. Karena dalam sila ke-1 saja jelas bertentangan,pertanyaanya adalah Tuhan manakah yang mengizinkan perkawinan sejenis? Sebuah degradasi moral yang luar biasa, karena dalam demokrasi pancasila sendiri tetap ada batasan-batasan tertentu. Lantas mengapa prinsip sosial-komunis ditentang habis-habisan sedangkan neo-imperialisme dan neo-liberalisme seakan-akan diadopsi sebagai budaya yang menjadi transisi dari pancasila. Adil kah?

(Try Anggara Putra. HI 2015)

Tidak ada komentar