Header Ads

Nilai A, Cuma Beruntung?

Opini, Melani -- Nilai tingi tentu menjadi idaman mahasiswa. Dari mahasiswa baru sampai mahasiswa abadi alias mahasiswa yang – gak – lulus – lulus pasti menginginkan nilai A. Hal ini wajar, karena nilai adalah tolak ukur yang dilihat ketika seseorang melamar pekerjaan. Saat melamar pekerjaan, Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) tidak luput dari perhatian perusahaan. Bahkan saat masih menjadi mahasiswa pun, nilai A menjadi tolak ukur kepintaran atau intelektualitas seseorang. Apalagi jika seseorang itu mendapat banyak nilai A hingga IPK nya mencapai angka 4. Suatu hal yang menjadi harapan semua mahasiswa.

Dibalik adanya nilai A, tentu ada perjuangan yang dilalui oleh seorang mahasiswa. Mahasiswa boleh berbangga diri karena mendapat nilai A setelah rajin mengikuti jadwal perkuliahan, datang tepat waktu, mengerjakan tugas individu dan kelompok, serta aktif dan berani berargumentasi saat forum diskusi kelas. Namun hal yang aneh adalah, ketika seorang mahasiswa mendapat nilai sempurna tetapi tidak melakukan hal diatas, dan dia dengan bangga memamerkan nilai sempurnanya.

Apakah degradasi moral benar terjadi? Apakah sifat mahasiswa saat ini, yang sering datang terlambat dan melontarkan celoteh tanpa didasari argument logis adalah suatu hal yang lumrah, karena mahasiswa pada dasarnya juga masih belajar?

Hal yang sangat disayangkan, apabila hal demikian terjadi di kampus tercinta kita, FISIP Unpas. Seorang mahasiswa (apalagi mahasiswa FISIP) yang dituntut untuk melek politik malah menyepelekan sifat intelektualnya.

Padahal menurut Knopfelmacher, mahasiswa adalah seorang calon sarjana yang keterlibatannya dengan perguruan tinggi yang didik diharapkan menjadi calon calon intelektual.

Intelektual yang dimaksud bukan hanya pandai dalam beretorika, berani bicara di depan orang banyak, tapi harus juga sejalan dengan logika dan fakta.

Jika faktanya adalah : Seorang mahasiswa yang sering bolos dan tidak memperhatikan saat kuliah berlangsung mendapat nilai A.

Maka logikanya adalah : Seorang mahasiswa tidak harus rajin untuk mendapat nilai A.

Dan mari kita renungkan baik baik, apakah logika tersebut benar adanya? Apakah seorang intelektual  akan menganggap hal tersebut benar?

Perihal nilai A ini juga menjadi tanya besar untuk sebagian mahasiswa yang sudah melakukan ‘hal – hal baik’ tapi malah mendapat nilai C. Dan akhirnya mindset mahasiswa pun berubah menjadi “gak perlu aktif di kelas karena yang aktif aja nilainya C”.

Mengemban nilai A bahkan memiliki IPK diatas 3 juga memerlukan tanggung – jawab besar. Mahasiswa perlu memahami ilmu yang sudah diterimanya, bukan hanya sebatas tahu tapi juga harus paham dan mengerti. Sehingga jangan sampai ada pemikiran mahasiswa lain bahwa nilai A adalah keberuntungan.

Tentu saja, dalam hal ini dosen juga memiliki andil besar. Seorang dosen pastilah lebih tahu mahasiswanya. Dosen juga tidak boleh sembarang memberi nilai, berdasarkan kedekatan atau keakraban. Seorang dosen haruslah dapat menilai dengan obyektif dan berdasarkan fakta; pantas tidaknya seorang mahasiswa mendapat nilai C,B,A atau harus mengulang.

Penulis disini berharap, mahasiswa (khususnya mahasiswa FISIP Unpas) dapat menjadi seorang intelek yang kata katanya bisa dipertanggung - jawabkan, bukan hanya kalimat asal bunyi, dan berlandaskan pada fakta dan logika yang dapat diterima. Sehingga, nantinya nilai A bukan hanya sebatas huruf, dan IPK sebatas angka, lebih jauh dari itu semua, mahasiswa harus menjadi manusia intelek berwawasan luas yang peduli pada bangsanya sendiri.


Melani Hermalia Putri 
Hubungan Internasional FISIP Unpas 2015


Tidak ada komentar