Pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat Membawa Petaka Untuk Petani
Petani, kerap kali dikriminalisasi sekalipun hanya untuk pertahankan mata pencaharian yang dimiliki. |
Opini, Rinaldi -- Pemerasan kembali terjadi terhadap warga Majalengka oleh segelintir aparatur sipil yang dimotori oleh pemegang modal. Dewasa kini, warga Majalengka dibuat ketar-ketir karena lahan yang telah mereka huni selama puluhan tahun akan digusur lalu dibangun bandara. Tak hanya itu, kriminalisasi pun terjadi dalam proses penggusaran ini: tiga orang petani ditahan karena dituduh sebagai provokator aksi penolakan (detik.com).
Sudah bukan menjadi rahasia umum negeri kita tercinta ini bergantung marwah hidupnya pada kucuran dana investor dan secara langsung terjadi transformasi nilai budaya--perubahan dari masyarakat agraris menuju masyarakat industrialis--memaksa kita mau tidak mau terbawa dalam arus sistem tersebut (sistem kapital). Mengapa proyek pembangunan bandara ini membawa petaka bagi warga Sukamulya, Majalengka?
Proyek yang digarap tentu tidak berpihak bagi kemaslahatan hidup warga sendiri, pembangunan terkesan dipaksakan aparat gabungan (TNI dan Polisi) melakukan tindakan represif kepada warga dengan menyemprotkan gas air mata dan pemukulan. Pembangunan pun tidak hanya bandara, didalamnya meliputi apartemen, mall, pabrik dan lain-lain. Kebutuhan ini sangat berpihak kepada investor,dan warga berhak untuk menentang proyek ini, bukan?
Akibat paling fatal dari pembangunan bandara ini ialah ‘tercerabutnya akar budaya’ masyarakat yang telah mengakar, mengikat dan bersemayam dalam hati warga Sukamulya.
Menurut konsep budaya B. Malinowski, kebudayaan di dunia mempunyai tujuh unsur universal, yaitu:
- Bahasa.
- Sistem Teknologi.
- Sistem Mata Pencaharian.
- Organisasi Sosial.
- Sistem Pengetahuan.
- Religi.
- Kesenian.
Belum lagi dengan sistem mata pencaharian, warga Desa Sukamulya dapat dikatakan sangat mandiri dalam mengais rezeki karena mereka telah memiliki semua yang dibutuhkan: alat dan lahan. Mereka menikmati hasil kerja yang diperoleh sendiri. Organisasi sosial yang berdiri cukup untuk mengordinir kebutuhan-kebutuhan perangkat desa, bahasa pun bukan sekedar verbal dan non verbal, jauh daripada itu ada kenangan-kenangan indah yang tentang desa dalam ingatan mereka. Jika mereka dipaksa untuk pindah pun takkan mudah untuk beradaptasi dengan budaya yang ada ditempat lain yang justru dikhawatirkan adalah distorsi sosial yang akan berdampak pada krisis sosial, krisis moril dan krisis ekonomi.
Jauh sebelumnya Mohammad Hatta pernah mengatakan, "Kita jangan lupa, bahwa rakyat sebagian besar masih tetap hidup dalam kalbunya ialah soal kepentingan hidupnya bersama di dalam desanya." (Demokrasi Kita, 2009 : 13).
Kata-kata ini benar saja terjadi di negeri tercinta dewasa kini, salah satunya kasus pembangunan bandara yang membuat hajat hidup orang banyak akan sengsara. Kedaulatan politik pemerintah pun tidak cukup untuk menunjang kehidupan poltik di indonesia: kedaulatan rakyat pun harus menjadi prioritas utama dalam pembangunan skala nasional.
Di dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yamg menjadi pedoman Indonesia, mengatakan.
"...Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu pemerintahan negara yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban duina yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial..."
Nyata sekali negara kita sangat menjunjung nilai-nilai budi dan luhur; semangat kolektivisme (Collectivism Spirit) dalam sikap politik dalam dan luar negerinya, tetapi pada fakta yang terjadi dilapangan berbanding terbalik dengan apa yang menjadi pedoman berbangsa dan bernegara.
Kriminalisasi terhadap petani, pemukulan dan tindakan represif aparat (TNI dan Polisi) menjadi pertanyaan yang cukup menggelitik yaitu masihkah UUD menjadi pedoman berbangsa dna bernegara? Jawaban ini patut direnungkan bukan hanya oleh pejabat tetapi oleh kita sebagai anggota negara yang mempunyai hak dan kewajiban. Yang lebih dkhawatirkan (kembali) isu-isu perpecahan/konflik di dalam republik ini. Seperti yang dialami Uni Soviet pada medio tahun 80-an.
"Ini tanah kita, di sini kita bukan turis," (Sajak kepada bung Dadi) sepenggal kata dari puisi Widjhi Thukul tadi, menjadi 'pengingat' di kala demokrasi mulai mati dan gelap tidak karuan di masa kini yang makin tereduksi tentang nilai-nilai demokrasi dan kedaulatan rakyat.
Rinaldi Fitra Riandi
Ilmu Komunikasi FISIP Unpas
2015
REFERENSI :
- MOHAMMAD HATTA, ‘’DEMOKRASI KITA’’ HAL.13, 2009, Penerbit: SEGA ARSY
- Dr. M. Munandar Sulaeman; “ILMU BUDAYA DASAR’’ HAL 38, 2012, Penerbit: REFIKA ADITAMA
- PUISI WIDJHI THUKUL, ‘Sajak Kepada Bung Dadi”.
- Detik.com (berita penggusuran majalengka)
Beri Komentar