Header Ads

Kritik Proyek Pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB)



“Pangan adalah soal hidup dan mati” -Soekarno

Opini, Ilyas -- Petani adalah mereka yang mengabdikan hidupnya untuk orang banyak. Mereka menanam, merawat dan memanen untuk orang banyak, tapi tidak banyak yang menyadari bahwa kelangsungan hidup banyak orang tergantung oleh golongan ini. Bahkan hari ini petani kian hari kian berkurang jumlahnya. Sebagian ada yang lebih memilih menjual tanah mereka, sebagian lagi kehilangan tanah mereka karena klaim sepihak oleh pihak-pihak tertentu. Bagi beberapa yang masih bertahan seringkali harus mempertahankannya dengan hidup mereka sebagai jaminannya. Inilah yang terjadi juga pada warga Sukamulya yang didominasi oleh Petani. Sukamulya merupakan satu-satunya desa yang masih bertahan di Kota Majalengka. Empat desa lainya sudah melepaskan tanah mereka.


Pada Kamis 17 November 2016 sekitar pukul 12.30 WIB, bentrokan aparat gabungan dan warga Sukamulya terjadi ketika proses negosiasi untuk melanjutkan pengukuran lahan untuk runaway BIJB. Warga Sukamulya bersikukuh menolak proses pengukuran berlangsung. Oleh karenanya aparat gabungan menembakan gas air mata kepada warga Sukamulya. Terdapat 12 warga Sukamulya yang terluka dalam insiden itu. Mereka adalah Sahir, Raman, Usep, Aji, Ita, Nano, Jajuli, Gugun, Warso, Ovan, Didi, dan Aef.


Beberapa aparat gabungan yang ketika itu mendapat perlawanan dari warga Sukamulya, juga mengalami luka-luka akibat lemparan batu dan ketapel. Akibat aksi perlawanan tersebut beberapa warga Sukamulya ditahan. Diantaranya Jaenudin (25) warga Desa Sukakerta, Atam Dastam (36) warga Desa Sukakerta, serta Sunadi (45).

  • Pembangunan BIJB sebagai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
Proyek Bandara Internasional sebenarnya merupakan proyek lanjutan dari proyek Masterplan Percepatan Pembangunan dan Perluasan Ekonomi (MP3EI) di rezim pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kemudian mega proyek ini dimasukan kembali dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2015-2019, pemerintah pusat berencana melakukan banyak pembangunan infrastruktur, diantaranya:
1.    Pembangunan 30 waduk baru.
2.    33 PLTA, jalan baru sepanjang 2.600 km.
3.    Jalan tol sepanjang 1.000 km.
4.    15 bandar udara baru.
5.    24 pelabuhan baru.
6.    Jalur kereta api baru sepanjang 3.200 km.
7.    Perluasan areal perkebunan kelapa sawit untuk menunjang penggunaan 15 persen biofuel pada setiap liter solar.
8.    36 PLTU bertenaga batu bara 20.000 MW sebagai bagian dari rencana pembangunan 35.000 MW.
9.    Puluhan kawasan industri baru dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
Mega proyek itu dikuatkan dengan dikeluarkanya Perpres No. 30/2015 tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum (infrastruktur), serta PP No.3/2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional yang berisi 225 proyek nasional.Tentunya hal itu akan berdampak pada berbagai sektor, khususnya pada alih fungsi lahan atau dalam pembebasan tanahnya. Termasuk yang terjadi pada rencana pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) di Kec. Kertajati Kab. Majalengka.

  • Kejanggalan Dalam Proyek Pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat.
Proyek Pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat sebenarnya telah digaungkan sejak tahun 2004. Secara sepihak 11 kepala desa menyatakan bahwa 1305 KK mendukung proyek pembangunan  Bandara Internasional Jawa Barat. Surat tersebut ditandatangani pada 14 Oktober 2004. Padahal hingga saat ini, hanya terdapat 300 KK yang mendukung pembangunan BIJB. Sementara 1005 KK atau mayoritas warga di 11 Desa tersebut menolak.

Kejanggalan yang menyertai pembangunan bandara tersebut berlanjut ketika AMDAL (Analisis Dampak Lingkungan) menyatakan bahwaDesaSukamulya adalah lahan tandus yang tidak produktif yang hanya bisa panen satu kali dalam satu tahun dengan produksi gabah kering gilingsebanyak enam kwintal / Ha. Padahal menurut data yang diperoleh Konsorsium Pembangunan Agraria (KPA), dari Dinas Pertanian Kabupaten Majalengka, Desa Sukamulya mampu memproduksi gabah kering giling sebanyak enam kwintal / Ha padahal pada kenyataanya mampu memproduksi 52,35 kwintal / Ha.


Dalam liputan khususnya di CNN Indonesia, Wishnugroho Akbar mengatakan “ada kesan yang tak tergantikan ketika melihat hamparan tanah yang menghasilkan untuk petani. Pelabagi macam tanaman tersedia. Mulai dari padi, kacang panjang, cabai semangka hingga mangga”. Kesuburan data ini pula, yang menjadi salah satu alasan penolakan bandara. Dari sekitar 1.500 kepala keluarga, sebagian besar adalah petani. Kecamatan Kertajati sendiri merupakan wilayah dengan pekerjaan terbesar di sektor pertanian.


Masih dalam liputan khusu CNN Indonesia, salah seorang warga Sukamulya juga menyatakan kejanggalan proyek pembangunan bandara tersebut. Ia adalah Nono atau yang biasa disapa Kang Bona, berusia 40 tahun. Dia menuturkan buyutnya adalah salah satu pendiri Desa Sukamulya. Dia terpilih menjadi kepala desa untuk periode 2013-2019.


Menurutnya, dirinya pun bahkan tidak dilibatkan dalam proses pembebasan lahan tanah milik sebagian warga Sukamulya. Dari hasil pemeriksaan, Nono menyebut ada 33 hektare lahan milik warga yang dibebaskan tanpa sepengetahuan dirinya.


Fakta lain juga semakin menguatkan bahwa dugaan-dugaan warga mengenai proyek pembangunan bandara intersansional jawa barat. Dikutip Mongabay.co.id, IwanNurdin, Ketua Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) yang mengadvokasi warga yang terkena imbas BIJB sejak lama mengungkapkan, dalam peta pembangunan BIJB, Desa Sukamulya masuk area Aerocity bukan area bisnis utama BIJB. Kalaupun membutuhkan pembangunan, pengembang seharusnya memilih lahan kosong dibandingkan menggusur sebuah desa.


“Warga meyakini pembangunan BIJB bisa tetap berjalan tanpa perlu menggusur desa, karena desa ini temasuk subur dan mempunyai sumber daya alam yang cukup melimpah, bisa saja memakai sisi pangkal runway disitu ada tanah kosong atau sawah. Kenapa harus membongkar sebuah desa?” katanya.


Dia menambahkan, jumlah penduduknya kurang lebih 5.500 jiwa dan luas wilayah 740 hektar. 700 hektar dari total luas wilayah desa adalah areal persawahan dan 40 hektar adalah pemukiman penduduk. Dari sini kiranya pembaca sudah bisa menilai sebenarnya proyek pembangunan ini mengutamakan kepentingan siapa.

  • Konflik Lahan Sukamulya
“Proses pengadaan tanah sering dilakukan dengan cara represif. Sosialisasi diadakan, tapi 200 warga berhadapan dengan 500 tentara. Bagaimana bisa terbuka?”-Dianto Bachriadi Wakil Ketua Komnas HAM kepada CNN Indonesia

Komnas HAM menemukan dugaan praktik kekerasan itu pada sejumlah proyek pembangunan infrastruktur skala besar. Ini macam yang terjadi pada pembangunan bandara internasional di Kulon Progo (Yogyakarta) dan Majalengka (Jawa Barat); pembangkit listrik di Batang (Jawa Tengah); revitalisasi waduk Jatigede di Sumedang (Jawa Barat).


Sepanjang tahun lalu, Komnas HAM menerima sedikitnya 70 pengaduan dugaan pelanggaran HAM berkaitan dengan soal infrastruktur, dengan sepuluh kasus yang tengah ditangani. Komisi itu juga memperkirakan proyek infrastruktur skala besar akan meningkatkan konflik agraria di masa mendatang.


Dikutip dari KPA.or.id bahwa penolakan warga Majalengka terhadap pembangunan BIJB bukanlah sebuah harga mati. Terlihat dari banyaknya upaya damai dan lobi-lobi, mulai dari mengunjungi pejabat setempat hingga Anggota DPR RI di Senayan. Warga menyatakan, “bahwa kami tidak menolak pembangunan BIJB dengan syarat HARGA YANG JELAS, RELOKASI DAN SOSIALISASI TERLEBIH DAHULU,” sewaktu menemui Kepala Bappeda Jawa Barat pada Maret 2012. Maka dari itu menurut apa yang dikatakan Bupati Majalengka, Sutrisno kepada CNN pembebasan lahan baru mencapai 1.000 hektare dari yang direncanakan 3.500 hekatare.

Lamanya proses pembebasan lahan ini menurut KOMNAS HAM diduga karena adanya suatu praktik manipulasi dalam penetapan harga. Sekretaris Jenderal Front Perjuangan Rakyat Sukamulya (FPRS), Bambang Nurdiansah menilai Bupati Majalengka membohongi warga perihal harga jual, ia menyatakan bahwa harga jual Rp 2,8 juta perbata atau 4 meter persegi sudah sesuai harga pasar. Padahal adaharga yang mencapai Rp4 juta per bata di luardesatersebut.


Tidak adanya titik temu mengenai harga ini menjadikan proses negosiasi berjalan panjang. Hingga akhirnya pemerintah menurunkan aparat untuk berunding. Turunnya aparat dalam hal ini respon terhadap ditolaknya tim yang PT BIJB yang mengukur tanah oleh warga.


Sudah jelas disini bahwa perundingan sudah tidak bisa lagi dibawa ke ranah substansial, tetapi kepada bubar atau tidak bubarnya aksi warga. Sehingga pada tanggal 18 November 2016, warga Sukamulya dihebohkan oleh kedatangan aparat gabungan yang terdsiri dari TNI, Polri, Satpol PP dan Satgas BIJB. “Jumlah mereka 300-an. Ada polisi, Satpol PP, hingga TNI. Di belakang mereka ada beberapa truk dan belasan mobil polisi. Mereka bersenjata lengkap anti huru-hara”, tutur Satija seorang warga Sukamulya kepada CNN. 


Kedatangan ratusan aparat adalah untuk mengukur tanah dan bangunan rumah milik warga Desa Sukamulya. Tanah yang digusur itu sedianya untuk pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) atau Bandara Kertajati. 

Warga yang ketika itu sedang berada di ladang mereka untuk menggarap, terpakasa menghentikan aktifitasnya demi mencegah pengukuran lahan dilakukan. Oleh sebab itu, sambil membawa peralatan ladang mereka bergegas ke tempat pengukuran lahan tersebut. Namun hal itu justru dianggap sebagai senjata tajam yang mengancam aparat gabungan. Alat ladang mereka kemudian diamankan. Warga yang diduga sebagai provokator ketika kericuhan diamanankan dan ditahan beberapa hari tapi kemudian dibebaskan kembali.


Kabar terakhir menyebutkan bahwa beberapa warga sudah menyetujui pengukuran lahan tersebut dilaksanakan kembali. Namun patut disayangkan segera setelah terjadinya konflik harga tanah menjadi turun dan petani dan juga warga disana terpaksa menyetujuinya. Bagi warga yang belum setuju, mereka masih menolak pengukuran bandara hingga kini.

  • Pembangunan BIJB dalam Pespektif Kelas, Infrastruktur sebagai Sarana Penunjang Kapitalisme.
Dalam harian Kompas tertanggal 14 November 2014 diberitakan bahwa Presiden Joko Widodo menargetkan Indonesia berada pada posisi 40 dalam kemudahan berbisnis pada 2019. Dalam mewujudkan target tersebut terdapat sejumlah masalah. Masalah infrastruktur masalah yang menghambat kemudahan investasi di Indonesai. Pembangunan infrastrukturyang massive yang dilakukan oleh pemerintahan Jokowi adalah upaya untuk menunjang posisi indonesia agar berada pada urutan kemudahan berbisnis.

Dalam bukunya Genealogi Kapitalisme, Dede Mulyanto mengemukakan bahwa infrastrukur seperti jalan merupakam salah satu capital goods. Capital goods adalah salah satu komoditi besar yang diproduksi dalam rangka memperoleh laba. Selain itu dalam kondisi tidak seimbangnya harga antara faktor produksi (tanah, tenaga kerja, mesin dll) dengan laba menyebabkan terjadinya perpindahan kapital dari suatu tempat ke tempat lain. Disinilah Infrastruktur memiliki peranan yang sangat penting. Jalan, terminal, bandara dan pelabuhan adalah bagian yang harus selalu diperbaiki dan diperbarui sesuai dengan kebutuhan produksi guna menghasilkan produktivitas dalam kapitalisme.
Jika menggunakan logika Kapitalis, secara naluriah seorang penanam modal tidak akan mau menenamkan modal pada daerah yang produktivitasnya rendah. Dan salah satunya untuk menunjang produktivitas, adalah dengan membuat sebuah infrastruktur yang baik. Kesulitan dalam perpindahan kapital seringkali disebabkan karena infrastruktur yang buruk. Tidak heran jika Jokowi beberapa bulan kemarin dibuat kesal oleh proses dwelling time yang memakan waktu lama.Selain itu dalam ciri kapitalisme itu sendiri yang selalu berkelanjutan, maka setiap proses akhir dari kapitalisme yang menghasilkan nilai-lebih merupakan awal dari proses kapitalisme itu sendiri. Jika sirkulasi kapital tadi berhenti, maka yang terjadi adalah inflasi dan krisis. Hal ini meupakan penyakit dalam kapitalisme itu sendiri.


Dalam hal ini Bandara International Jawa Barat adalah salah satu infrastruktur yang mendorong kemudahan berbisnis di Indonesia, seperti yang ditargetkan oleh pemerintahan Jokowi. Selain sebagai hal yang mendorong kemudahan proses perpindahan kapital, bandara ini juga memiliki andil dalam usaha properti di sekitar daerah Majalengka, yaitu Aerocity. Ketika lokasi perumahan atau apartemen dekat dengan sarana transportasi, maka harganya akan melonjak naik. Ini disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat akan akses sarana transportasi yang cepat guna mendukung kebutuhan hidup yang serba cepat ini.

  • Perjuangan melalui Legal Formal dan Non Formal Sangat Diperlukan
Kapitalisme merupakan sistem yang telah mendarah daging dalam kehidupan ini. Sistem ini begitu efektif dan efisien. Hari ini bagi mereka yang tidak punya alat produksi macam tanah untuk digarap, harus menerima kenyataan bahwa akumulasi primitif adalah siklus kapitalisme itu sendiri yang tidak bisa di lawan. Warga Sukamulya dan keempat desa laiinya sadar akan hal ini.
Keputusan yang mereka ambil untuk menjual tanah ini kepada pemerintah adalah keputusan yang telah diperitmbangkan dengan matang oleh mereka. Sebenarnya masyarakat mana yang mau menjual tanah dimana mereka menggantungkan hidupnya. Ini adalah keputusan sulit memang.
Adakah jaminan ketika mereka menjual tanah milik mereka, maka kehidupan mereka lebih baik?. Lawan petani Sukamulya kali ini buka  hanya aparat gabungan, bukan korporasi dan bukan juaga pemerintah. Tetapi kesemua pihak tersebut bekerja sama dalam menuntaskan proyek bandara internasional. 


Maka bukan bermaksud untuk menggurui,  hal yang perlu diperjuangkan oleh masyarakat adalah ganti rugi yang sepadan, relokasi yang layak dan menghilangkan segala bentuk kekerasan yang  terjadi selama mengiringi proses negosiasi berlangsung.


Untuk mengawal kesemua itu dapat berjalan dengan lancar dan sesuai dengan yang diharapkan, maka perjuangan non - formal itu diperlukan. Aksi-aksi solidaritas dan advokasi terhadap warga sukamulya sangat dibutuhkan untuk mendukung agar perjuangan formal berjalan lancar mereka guna memeproleh hak yang seharusnya.

Tapi justru timbul pertanyaan berikutnya; Adakah jaminan jika pembangunan  BIJB rampung tidak akan menimbulkan masalah baru? Menurut saya tidak, bahwa pada akhirnya pembangunan ini hanya akan menjadi sebuah masalah baru di Majalengka. Tersisihnya masyarakat lokal, masalah ekologi, dan masalah ekonomi.


Daftar Pustaka

Mulyanto, Dede (2012) Genealogi Kapitalisme. Resist Book: Yogyakarta.
Rupert Woodfin, Oscar Zarate (2008) Marxisme Untuk Pemula. Resist Book: Yogyakarta
www.Mongabay.co.id
http://cnnindonesia.com/nasional/20160830125502-20-154805/benteng-terakhir-sukamulya-melawan-gempuran-penggusuran
http://cnnindonesia.com/nasional/20160830204212-20-154977/komnas-ham-proyek-infrastruktur-penuh-kekerasan
http://cnnindonesia.com/nasional/20161118085655-20-173482/detik-detik-ribuan-aparat-serbu-petani-majalengka
www. Suara.com
www. Kpa.or.id
Mulyanto, Dede (2012) Genealogi Kapitalisme. Resist Book: Yogyakarta.
Rupert Woodfin, Oscar Zarate (2008) Marxisme Untuk Pemula. Resist Book: Yogyakarta.



Ilyas Gautama
Aministrasi Negara
FISIP Unpas
2015

No comments