Header Ads

1965 dan Hilangnya Satu Generasi Intelektual Indonesia


Opini, Ihsan-- Ketika berbicara 65', sangat jarang kita berbicara tentang kerugian besar (bersama) bagi masa depan sebuah bangsa yg baru berumur "ABG" saat itu sejak diproklamirkan 1945. Setidaknya, itulah yang tercermin dari silang pendapat dua kelompok arus utama dalam memandang peristiwa tersebut akhir-akhir ini. Dulu, saya harus beberapa kali mengeja ulang kalimat demi kalimat dalam buku "Katastrofi mendunia: Marxisma, leninisma, stalinisma, maoisma, narkoba. Sebuah karya dari sastrawan Taufiq Ismail setebal 348 halaman yang tentu "berat" bagi seorang anak SD. Sebab belum mampu menginterpretasi teks, selesai membaca hanya timbul satu pertanyaan. Mengapa mereka membantai jutaan orang didunia, termasuk Indonesia hanya dalam kurun waktu yg relatif singkat?

Tetapi, tulisan ini tidak ingin terlibat jauh dalam diskursus mengenai hal tersebut. Pembahasan mengenai 65' yang memorinya berulang setiap September datang, bagi generasi milenial yang tidak memiliki pengalaman langsung, perlu untuk membaca sisi lain yang mewakili "kepentingan bersama" yaitu, hilangnya satu generasi intelektual masa depan Indonesia.

Menariknya, Soekarno sadar betul bahwa SDM adalah intangible asset bagi akselarasi pembangunan. Keputusannya untuk mengirim ribuan anak bangsa untuk belajar ke luar negeri pada kurun waktu 1955 s/d 1960-an awal, menjadi langkah strategis. Mungkin itulah cikal bakal yang kita kenal sekarang sebagai Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI) yang dikelola oleh LPDP. Sebagian besar negara-negara yg dituju adalah negara Blok Timur, seperti Cekoslowakia, Uni Soviet, China dll. Sebab kita tentu paham, Soekarno cenderung ke "kiri" ditambah penderitaan Indonesia akibat imperialisme Barat. Mereka berjanji setia untuk kembali pulang membawa ilmu untuk memajukan negeri.

Namun, tahun 1965 situasi politik berubah akibat peristiwa G30S/PKI. Mahasiswa Indonesia, sebagian besar tidak dapat kembali karena mereka dicurigai sebagai intelektual Soekarnois. Peralihan kekuasaan, menyebabkan mereka menjadi eksil. Disini, dapat dibayangkan bagaimana cita mengabdi dibayar dengan hilangnya identitas kewarganegaraan. Surat dari Praha, yang dirilis tahun 2016 adalah salah satu film yang terinspirasi dari kisah ini.

Sejarawan, Abdul Wahid, yang pernah meneliti tentang hilangnya riwayat intelektual pasca 1965 di lingkungan kampus di Indonesia, menyebut bahwa hilangnya para intelektual muda Indonesia yang menempuh studi di luar negeri merupakan sebuah kerugian yang tidak bisa dihitung secara matematis. Ia menyebutnya dengan istilah 'brain drain' atau 'kebocoran intelektual'. Akibatnya bisa ditebak, Indonesia mengalami kemandegan dalam pembangunan dan perlu waktu yang lama untuk bisa mengganti satu generasi intelektual yang akan menopang pembangunan nasional. Banyak dari mereka kemudian terpaksa mengabdikan ilmunya kepada negara lain, dan bahkan tak jarang ada yang berstatus "stateless" dan berpindah-pindah.
   
Dari sisi konsep pembangunan, ada satu hal yang menarik. Seandainya para intelektual muda yg dikirim Soekarno tersebut kembali pulang dan mengisi posisi-posisi strategis di pemerintahan, dapat dibayangkan Indonesia akan cenderung menganut konsep walfare state berlandaskan sosialisme demokratis yang sebetulnya juga sejalan dengan pemikiran para founding fathers seperti Sjahrir dan Hatta.

Lebih jauh, dari sisi yang berlawanan, relasi peran intelektual muda Indonesia lulusan luar negeri terhadap konsep pembangunan dapat dilihat setelah tahun 65'. Rizal Mallarangeng dalam disertasinya yang berjudul "Liberalizing New Order Indonesia: Ideas, Epistemic Community, and Economic Policy Change, 1986-1992" di Ohio State University, mengurai peran penting Widjojo Nitisastro dkk dalam membentuk secara perlahan Orde Baru yang proteksionis menjadi pro-pasar. Konsep yang dibawa oleh para "intelektual Berkeley" ini, mengusung konsep liberalisme, sehingga pada kurun 1986-1992 terjadi deregulasi masif di Indonesia.

Lalu, dalam konteks sekarang, apakah bisa terjadi "hilangnya" generasi intelektual masa depan Indonesia seperti yang terjadi akibat peristiwa 65'?

Saat ini, persentase dana riset Indonesia terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) hanya mencapai 0,2 persen atau sekitar 17 Triliun (Kemenristekdikti, 2016). Anggaran tersebut sudah termasuk gaji, dan bila dikerucutkan untuk riset ilmu sosial dan politik tentu lebih kecil lagi. Bila dibandingkan dengan negara maju, anggaran riset tertinggi adalah Korea Selatan (4,3 persen PDB), Israel (4,1 persen PDB), dan Jepang (3,6 persen PDB). Idealnya, dana riset suatu negara adalah 2 persen dari PDB.

Temuan Puskakom UI & CIPG Indonesia pada 2015 di 8 PTN Indonesia menyimpulkan bahwa, model kelembagaan yang birokratis pada PTN telah mencegah terwujudnya reformasi yang sebenarnya. Hal ini menghambat pencairan dana penelitian yang nilainya telah ditingkatkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Sementara pengukuran kinerja dosen-dosen di Indonesia terus saja didasarkan atas kriteria promosi pegawai negeri sipil dan bukan kecakapan akademis. Hal ini berdampak pada buruknya aktivitas dan produktivitas akademik di universitas-universitas negeri di Indonesia, yang berdampak jangka panjang terhadap pemikiran kritis, lemahnya kaitan ke kebijakan, serta secara ironis, melemahkan posisi mereka di pasar regional dibanding Singapura dan Malaysia.

Bila dibanding 65' yang bersifat politis, maka "hilangnya" generasi intelektual muda Indonesia era kontemporer lebih dikarenakan "peran birokrasi" negara. Langkah yang mungkin dapat kita lakukan sebagai mahasiswa di tengah pragmatisme perguruan tinggi sekarang adalah, berupaya serius mengerjakan tugas akhir (skripsi) yang berkualitas, melakukan riset-riset kecil yang sebenarnya banyak donor yang bisa mendanai, dan jangan pernah tergiur dengan adagium nyeleneh "Skripsi hanyalah formalitas kelulusan dan tidak berguna kedepannya, jadi santai saja", jika kita tidak ingin ikut andil dalam "hilangnya" satu generasi intelektual (lagi).


Maulana Ihsan
Mahasiswa Administrasi Negara Unpas & Intern at Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) Indonesia

Bacaan lebih lanjut:
David T. Hill (2009). Knowing Indonesia from Afar: Indonesian Exiles and Australian Academic, Asia Research Center, Murdoch University.
GDN Serial Working Paper (2015). Mereformasi Penelitian di Indonesia: Kebijakan dan Praktek, Jakarta: Puskakom UI & CIPG Indonesia.
Rizal Mallarangeng (2008). Mendobrak Sentralisme Ekonomi Indonesia 1986-1992. Jakarta: KPG
Wargadiredja, Arzia Tivany (2017). Gestapu Menghapus Satu Generasi Intelektual.

No comments