Nasib Milenial Di Bawah Sistem Kapitalisme
Di bawah sistem kapitalisme, untuk
mendapatkan manfaat dari sarana produksi[1]
dan memenuhi kebutuhan hidupnya, golongan tanpa sarana produksi harus menjual
satu-satunya yang masih tersisa dari hidup mereka, yakni tenaga kerja. Dengan
menjual tenaga kerjanya golongan tanpa alat produksi mendapatkan upah. Dengan
upah inilah mereka membeli sejumlah barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya.”
(Dede
Mulyanto, Genealogi Kapitalisme)
[1] Sarana
Produksi (means of production) Faktor-faktor
material dari proses kerja yang didalamnya termasuk bahan-bahan mentah, bahan
pelengkap, dan sarana kerja (dengan makna luas) yang mencakup lahan, bangunan
tempat kerja, dan permesinan yang kesemuanya merupakan hal penting dalam proses
produksi.
Opini, Ilyas--Banyak kawan saya yang kini masih duduk di
bangku kuliah, berharap ketika bekerja nanti mampu membeli kebetuhan hidupnya
dari upah. Dan tak sedikit juga dari mereka yang membayangkan memiliki rumah
sendiri plus seperangkat kebutuhan penunjang lainnya seperti kendaraan bermotor
dan mobil. Mereka berharap bahwa tak lama setelah mereka lulus, akan bekerja di
sebuah perusahaan dengan upah cukup untuk ditabung guna membeli rumah,
kendaraan, modal usaha hingga travelling.
Tapi,
betulkah generasi milenial, termasuk saya, mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup
seperti membeli sebuah rumah dari upahnya?
Dalam
esainya mengenai milenial, Geger Rianto menuliskan sejumlah fakta menarik yang
juga menampar wajah saya sebagai generasi milenial. Pasalnya menurut Geger,
banyak dari generasi milenial kelak terancam bekerja dibawah kondisi kerja
buruk serta memiliki kemungkinan besar sulit mendapatkan tempat tinggal sendiri.
Milenial Terancam Tunawisma Di
Bawah Sistem Kapitalisme
Apa
yang disampaikan oleh Geger memang bukan isapan jempol belaka. Di beberapa
negara-negara maju sekalipun banyak dari generasi milenial ini yang membeli
rumah dari bantuan orang tuanya.
Dalam
tulisannya yang berjudul Sepertiga Milenial Membeli Rumah dengan Uang Orang Tua
di Tirto.id pada 14 November 2017, Wan Ulfa Nur Zahra menyampaikan bahwa tahun
2017 HSBC mempublikasikan riset yang menyatakan bahwa sekitar 36 persen
milenial yang sudah memiliki rumah di pelbagai belahan dunia, mendapatkan
bantuan finansial dari orang tua mereka masing-masing.
Di Kanada, porsi milenial yang membeli rumah dengan bantuan orang tua tak beda
jauh dengan angka global, yakni 37 persen. Di Uni Emirat Arab, angkanya jauh
lebih besar, yakni 50 persen. Berdasarkan riset itu, angka tersebut adalah yang
tertinggi dibandingkan negara-negara lain yang menjadi sampel. Perancis berada
di urutan terendah, hanya 26 persen milenial yang membeli rumah dengan bantuan
orang tuanya. Kondisi ini tak lain diakibatkan juga oleh harga rumah makin
mahal, sedangkan upah seorang buruh tak sepadan. Buruh yang saya maksud di sini
bukanlah seseorang yang bekerja di pabrik. Namun, mengacu kepada KBBI buruh
adalah setiap orang yang bekerja dan diupah oleh perusahaan. Dan yang paling
penting adalah mereka yang tidak memiliki alat produski.
Jadi, jika Anda seorang yang bekerja di
perusahaan besar sekalipun, Anda tetaplah buruh. Apalagi, jika upah Anda beda
tipis dengan upah minimum. Maka semakin mendekati pula nasib Anda dengan buruh
yang selama ini ogah disandingkan dengan Anda yang selalu menyebut diri sebagai
karyawan. Sebuah istilah yang muncul dan dipakai oleh Rezim Orde Baru. Sebab
isitilah buruh menurut rezim Orde Baru terlampau radikal dan berpotensi
menyadarkan buruh terhadap hak-haknya yang mesti didapat. Seperti upah layak.
Masih
dalam tulisan Wan Ulfa Nur Zahra, di salah satu perumahan di Jakarta, bahkan
mematok harga untuk rumah dengan kisaran Rp400 juta hingga Rp600 juta. Tipe
paling murah tentu tipe 36, dengan luas tanah hanya 84, rumah itu dibanderol
Rp467 juta. Dalam brosur penjualannya dijelaskan bahwa jika dicicil selama 20 tahun,
kisaran cicilannya Rp4 jutaan perbulan.
Tipe
yang lebih besar yakni tipe 45 dengan luas tanah 90 meter persegi dibanderol
Rp560 juta. Dengan asumsi suku bunga 8,75 persen, cicilan rumah tipe ini
sekitar Rp4,9 juta per bulan selama 20 tahun. Menurut penuturan sang agen,
untuk menyicil rumah dengan tipe 36 itu minimal upah yang dimiliki 13 Juta.
Lain di Jakarta lain juga di Yogyakarta. Meski,
harganya lebih murah dibandingkan Jakarta, harga rumah di Yogyakarta juga tak
sanggup diakses oleh buruh dengan upah minimum. Itu hanya untuk mencicil dan
bukan membeli secara kontan. Sebab harga rumah di Yogja, sebagai contoh, di
jalan Magelang KM 14, rumah tipe 65/140 dijual dengan harga Rp385 juta
Sementara
rumah di kawasan Jl.Wonosari km 9 dijual dengan harga Rp345 juta untuk tipe
45/80. Di Prambanan, rumah dengan tipe 45/100 meter persegi dijual dengan harga
Rp220 juta. Sedangkan UMR Yogjakarta saja hanya berkisar dari Rp1,2 Juta- Rp1,4
Juta.
Hitung-hitungan
tirto.id dengan gaji UMR Rp1,3 juta untuk memiliki rumah senilai Rp300 juta,
butuh waktu menabung selama 230 bulan atau sekitar 19 tahun. Syaratnya gaji
sebesar itu harus dialokasikan semua untuk menabung membeli rumah, belum
termasuk kebutuhan lainnya.
Pertanyaan
yang lalu muncul kemudian, bagaimana dengan para buruh yang digaji bahkan hanya
lebih sedikit dari upah minimum?
Milenial Dalam Dunia Kerja
Kapitalisme
Mengutip
kalimat Geger Rianto, bahwa milenial
memang memiliki kelenturan yang mengagumkan. Saking lenturnya, mereka dapat
bekerja sebagai pengunjuk rasa bayaran di siang harinya, penjaga Alfamart di
malam harinya. Mereka dapat bertahan, katakanlah, terlepas delapan dari sepuluh
pekerjaan mereka tidak menggaji mereka atau mereka mesti merangkap desainer,
penulis, pemasaran media sosial, dan agen pulsa demi menyambung hidup di
perusahaan yang pelit.
Pertanyaannya,
apa pilihan buat kebanyakan milenial yang jumlahnya menakjubkan, berada di
sebuah negeri di mana skema kerja gurem di mana-mana, peluang-peluang
industrialisasi luput, pekerjaan yang lebih langgeng mengutamakan insan-insan
senior yang dianggap lebih membutuhkan? Kesempatan terbesar yang tersedia buat
mereka, artinya, adalah menjadi tenaga kerja yang tak bernilai, tergantikan,
dan acap tidak terhormat. Pilihan mereka cenderung hitam-putih. Bekerja atau
tidak bekerja sama sekali.
Meski
beberapa generasi milenial di indonesia seperti Nadiem Makarin bahkan
disebut-sebut sebagai pengusaha sukses di Indonesia lewat kreativitasnya
mendirikan perusahaan startup Go-Jek, tak lantas kemudian semua orang memiliki
kesempatan yang sama.
Dikutip
dari Trimurti.id dalam tulisan Keringat Buruh di balik Nyamannya Belanja di
Swalayan, Ipreng misalnya, ia bekerja di sebuah grup ritel toko swalayan yang
memiliki 54 cabang di area Bandung. Ipreng adalah adik angkatan penulis,
Rinaldi Fitra di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 6 Bandung.
Selepas
menanggalkan seragam putih-abunya pada 2016 lalu, Ipreng hanya memiliki dua
pilihan. Melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi atau bekerja lantaran tidak
diterima di perguruang tinggi negeri, sedangkan Ipreng ogah untuk kuliah di
kampus swasta karena biayanya yang mahal. Ia kemudian memutuskan untuk bekerja.
Soal studi di perguruan negeri, Ipreng berpikir bisa melakoninya sambil
bekerja.
Skenario
awal Ipreng bekerja sambil kuliah berjalan mulus. Ia diterima sebagai buruh
kontrak bagian pemeliharaan penyejuk udara (AC) di PT Akur Pratama. Sebuah perusahaan ritel yang
menaungi tiga toko swalayan besar yakni Toserba Yogya, Griya, dan Yomart, yang
memiliki 54 cabang di area Bandung. Dengan upah tiga juta rupiah, ia menyiasati
pengeluaran: satu juta rupiah untuk kebutuhan sehari-hari dan dua juta rupiah
ia tabung untuk keperluan studinya yang per semesternya lima juta rupiah. Dengan
upah sekian, Ipreng bahkan tak sanggup menyisihkannya untuk keperluan masa
depan. Seperti menabung untuk membeli rumah atau misalnya menyicil biaya
pernikahan kelak.
Ipreng
hanyalah contoh kecil dari kelamnya dunia kerja yang dihadapi milenial kini. Jangankan
bereksperimen startup, yang sosok-sosok paling suksesnya mengeloni rahasia
dapurnya rapat-rapat dan menjajakan cuap-cuap motivasional abstrak sebagai
kiatnya, memikirkan berhenti dari pekerjaan yang perlahan membunuh saja terasa
mustahil di hadapan cicilan atau sewa rumah milenial.
Dihadapkan
dengan sejumlah keadaan tersebut, seharusnya tak pelak lagi bagi milenial untuk
mengambil pilihan di luar yang disediakan sistem kapitalisme saat ini. Memang
memiliki cita-cita dalam hidup itu penting dan tidak ada seorang pun di dunia
ini boleh membunuh impian seseorang. Tapi bagaimana jika memang dunia yang kita
tinggali sekarang ini tak memberikan opsi lain kepada kita? Selain bekerja
dibawah sistem kerja upahan yang merenggut sebagian hidup kita atau ikut
terlibat dalam persaingan bebas menjadi seorang miliarder muda.
Jika
kita hendak berpikir dan mencari pilihan itu, sebetulnya ia masih ada tertimbun
dibawah wejangan-wejangan motivator, guru, dosen, orang tua dan ustad yang
mengisi linimasa kita. Pilihan-pilihan itu terus tumbuh dan bergeliat di
kalangan pemuda yang sudah jengah dengan pilihan yang disediakan sistem saat
ini. Contohnya adalah apa yang dilakukan sekolompok pemuda di Purbalingga
dengan membentuk suatu kelompok tani. Menamai diri sebagai Black Farm
Municipal, para pemuda ini tidak hanya menggarap lahan pertanian tapi juga mendorong
sesama petani untuk mandiri dan terlepas dari ketergantungan apapun.
Namun,
sebagaimana lazimnya ikan yang berenang melawan arus, para pemuda yang kemudian
membentuk Black Farm Municipal tentu tak mudah mengambil pilihan ini. Mereka
bahkan meninggalkan pekerjaan mereka demi melepaskan belenggu yang selama ini
mengekang hidup mereka. Lewat selebaran publikasinya, Black Farm Muncipal
bahkan mengatakan, justru dengan bertani mereka jadi bisa melakukan hal lain,
seperti bersolidaritas atau terlibat dalam gerakan literasi. Sesutu yang sulit
mereka lakukan ketika waktu mereka direnggut sistem kerja kapitalisme.
Ilyas
Mahasiswa Administrasi Publik
FISIP Unpas
Kepustakaan:
Mulyanto,
Dede (2012) Genealogi Kapitalisme. Resist
Book: Yogyakarta.
https://tirto.id/nasib-milenial-tua-yang-bermimpi-bisa-punya-rumah-idaman-c4NN
http://www.trimurti.id/telusur/keringat-buruh-di-balik-nyamannya-belanja-di-swalayan/
Beri Komentar