Soekarno, Mendalami Islam di Tanah Pengasingan
Sosok Ir. Soekarno |
Opini, Azmi-- Bicara tentang sejarah, adalah bicara tentang sesuatu yang sudah terjadi. Sesuatu yang sudah lampau. Tapi, bukan berarti ia lantas kita abaikan, kita acuhkan, atau malah kita singkirkan dari kehidupan kita hari ini. Sejarah justru berguna sebagai cerminan diri. Cermin tempat kita belajar dan mencari makna di balik setiap peristiwa.
Dan cerminan kita sebagai sebuah bangsa, bisa kita cari tahu diantaranya melalui kisah para perintisnya. Kali ini saya akan mengulas salah satu kepingan kisah Bung Karno, sang proklamator. Kisah tentang kehebatannya di atas podium atau kelihaiannya dalam melakukan lobi-lobi politik mungkin sudah banyak orang yang tahu. Tapi bagaimana dengan kisahnya saat di penjara?
Indonesia waktu itu masih berada di bawah kuasa Belanda. Segala aktivitas masyarakat, apalagi di ranah politik, masih sangat di awasi. Karena itulah, meskipun sudah punya pengaruh yang luas, aktivitas Bung Karno sebagai tokoh pergerakan tidaklah leluasa. Akhirnya, Bung Karno beberapa kali harus merasakan hidup di balik jeruji besi atau dibuang ke tanah pengasingan.
Dalam buku “Di Bawah Bendera Revolusi (DBR)” jilid I, ada bab yang berjudul “Surat-Surat Islam dari Ende”. Di bab itulah bisa kita simak sisi lain dari Bung Karno. Ende adalah sebuah kota yang terletak di Kepulauan Flores, NTT. Selama beberapa tahun ia hidup di sana. Atau lebih tepatnya, dipaksa untuk hidup di sana oleh Belanda.
Meskipun tidak ditempatkan di penjara, melainkan di sebuah rumah. Hidup di tanah pengasingan, tetaplah jadi “penjara” bagi jiwanya; terisolasi dari aktivitas politik dan jauh dari teman-teman seperjuangannya. Kehilangan kesempatan untuk melakukan aktivitas rutinnya, membuat Bung Karno harus mencari aktivitas lain untuk mengusir kesepiannya.
Salah satu aktivitas utama yang akhirnya dilakukan Bung Karno di Ende adalah belajar lebih dalam tentang Islam.
Bab “Surat-Surat Islam dari Ende” yang ada di buku DBR itu, berisi tentang surat menyurat antara Bung Karno dengan A Hassan, seorang ulama modernis dan tokoh organisasi Persatuan Islam (Persis) di Bandung.
Dalam surat-surat itu, Bung Karno menyampaikan keingintahuannya dalam banyak hal tentang Islam. Selain meminta dikirimkan buku-buku karya A Hassan, Bung Karno juga minta dikirim buku-buku lain semisal kitab hadis Bukhari-Muslim. Kalau buku-bukunya sudah selesai dibaca, ia akan minta dikirimkan buku-buku lain yang baru.
Selain bertukar kabar dan meminta di kirimkan buku, dalam surat-menyurat yang berlangsung sekitar 2 tahun itu, Bung Karno juga banyak menyampaikan gagasannya seputar keislaman. Seperti kritiknya terhadap sebagian orang Islam yang masih berpikiran jumud, komentarnya soal Aristokrasi dalam Islam, ataupun soal Islamisasi di Flores.
Alih-alih menyalahkan situasi ataupun meratapi nasib. Bung Karno justru menjadikan Ende, tanah pengasingannya sebagai tempat untuk belajar Islam lebih dalam. Tentu kita tidak perlu seperti Bung Karno yang harus dipenjara dulu agar bisa belajar Islam lebih serius. Poinnya adalah, di situasi yang menyebalkan sekalipun ia menyediakan waktu untuk belajar. Lalu bagaimana dengan kita?
Azmi
Mahasiswa Ilmu Komunikasi
FISIP Unpas
Baca Juga : Rawan Pencurian Kendaraan di Lingkungan Fisip Unpas, Pihak Fakultas Nihil Tanggapan
Mahasiswa Ilmu Komunikasi
FISIP Unpas
Baca Juga : Rawan Pencurian Kendaraan di Lingkungan Fisip Unpas, Pihak Fakultas Nihil Tanggapan
Beri Komentar