Header Ads

Komodifikasi SARA dalam Politik Layar Kaca Jakarta



Isu-isu SARA yang terus bergulir Ini menandakan bahwa kondisi demokrasi Indonesia belum begitu mapan mulai dari penyelenggaraannya hingga para kontestan yang bertarung. Kemasan isu-isu SARA yang “gurih” juga dianggap sebagai cara mutakhir untuk mejatuhkan rival politik yang terus dikembangkan dan berlangsung di DKI Jakarta
Opini, BPPM -- Beberapa hari terakhir, media massa di Indonesia ramai oleh Gubernur DKI Jakarta, Ahok, yang mengeluarkan statement sensasional dan kontroversial karena komodifikasi politiknya yang kurang etis berkenaan isi kitab suci Al-Qur’an. Tentu ini sensitif telah menyinggung keyakinan semua umat Islam. Respon kemudian mulai bermunculan, mulai dari sejumlah ormas Islam maupun insitusi keagamaan. Kelompok ini menilai kecenderungan Ahok yang tengah melakukan blasphemy terhadap Islam.

Merujuk dari yang pernah dijelaskan Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi tentang hal ini, blasphemy atau blasfemie (bahasa Perancis) adalah istilah yang digunakan untuk penistaan agama di Barat. Kata blasphemy dalam Online Etymology Dictionary, 2001 Douglas Harper, berasal dari bahasa Latin blasphemia yang artinya irreligious, pernyataan, perkataan jahat atau menyakitkan, terkadang juga diartikan bodoh.

Secara definitif blasphemy adalah kejahatan, menghina atau menistakan yang menunjukan pelecehan atau kurang menghargai Tuhan terhadap ajaran, maupun hal yang berkaitan mengenainya. Menurut The American Heritage, blasphemy adalah aktifitas, pernyataan, tulisan yang merupakan penghinaan mengenai Tuhan atau sesuatu yang sakral. Itulah beberapa pengertian tentang penistaan. Namun demikian, Fenomena Ahok tersebut juga masih memiliki framing/debatable yang berbeda diantara berbagai macam kelompok yang ada, baik di internal umat Islam maupun di beberapa kelompok yang lainnya.

Setelah berita ini mencuat, Ahok selalu menjadi ­trending topic di berbagai media massa nasional dan daerah. Terlepas dari siapa yang menistakan dan dinistakan, hal santernya adalah bahwa konstalasi politik DKI Jakarta begitu eksotis dan sexy sehingga kegaduhannya tidak saja terdengar di wilayah DKI Jakarta bahkan sudah tersebar keseluruh pelosok-pelosok negeri. Tapi dalam konteks pilkada DKI Jakarta maupun proses pemilihan lainnya (Pilpres dan Pileg) yang diselenggarakan dalam kurun waktu tertentu, pada siklus demokrasi ini, sudah yang kesekian kalinya kita masih menemukan isu-isu yang berkaitan dengan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar golongan).

Tidak dapat dipungkiri bahwa DKI Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Indonesia tentu akan menjadi trendsetter bagi perpolitikan berbagai daerah di Indonesia. Isu-isu SARA yang terus bergulir Ini menandakan bahwa kondisi demokrasi Indonesia belum begitu mapan mulai dari penyelenggaraan hingga para kontestannya yang bertarung. Kemasan isu-isu SARA yang “gurih” juga dianggap sebagai cara mutakhir untuk mejatuhkan rival politik yang terus dikembangkan dan berlangsung di DKI Jakarta.

Tentu hal itu tidak terjadi begitu saja, jika tanpa prima causa yang melatarbelakangi sebagai alat. Hal ini dikarenakan implikasi media massa kontemporer baik cetak atau pun elektronik yang begitu masif mem-blow-up secara berjamaah sebagai sajian berita terhangat. Jika kita cermati perkembangan media massa di Indonesia, sebelum orde baru jumlah dan peranan media massa baik cetak maupun elektronik belum begitu masif. Sejak jatuhnya Orde Baru menuju reformasi, dimana pintu kebebasan terbuka begitu lebar sehingga jumlah media massa begitu bekembang hingga tahun 2013 jumlahnya terus meningkat mencapai 415 (Tempo 2013:87).

Dalam memandang peranan media, dahulu pandangan epistemologi kaum positivisme mengatakan bahwa media bersifat otonom, steril (nir-kepentingan) dan menggambarkan realitas dari segala sesuatu secara faktual. Namun sepanjang dinamisasi fenomena yang berkaitan tentang media massa yang ditinjau dari beberapa aspek disiplin ilmu sosial yang lainnya, beberapa filosof melihat bahwa media merupakan realitas yang dikonstruksi oleh kepentingan tertentu dan bukan cerminan dari realitas faktual (mirror of reality) seperti yang dikemukakan salah satu tokohnya Stuart Hall dalam bukunya yang berjudul The Rediscovery of Ideology: The Return of the Repressed in Media Studies, dengan memakai berbagai teori pemikiran Jaques Lacan, Antonio Gramsci, Roland Barthes dan yang lainnya (Akhyar Y. Lubis, 2015:087; Hall, 1982).

Aliran posmodern dalam pandangan Cultural Studies yang menjadi antitesa dari kaum positivisme beranggapan bahwa media bukanlah saluran yang bebas nilai dan bersifat netral, melainkan media adalah salah satu instrumen dominan untuk menciptakan, memproduksi serta menyerbarluaskan narasi dominan sesuai kehendak kelompok atau orang tertentu untuk mengontrol kelompok yang lainnya (Bannet, 1982).
Tidak heran jika netralitas media hari ini cenderung terpolitisasi, karena politikus profesional dan lembaga-lembaga politik kini secara agesif menanamkan sumber daya mereka pada kekuasaan media, dimana ekstasi terhadap media begitu menggairahkan para penguasa (Ariel Heryanto, 2015:18). Kondisi media yang terpolitisasi atau sengaja dipolitisasi sangat berbahaya bagi perkembangan politik dan demokrasi di Indonesia. Apalagi, konten informasi media yang mempertontonkan hal-hal yang mengandung unsur SARA seperti konstalasi politik DKI Jakarta, dapat memperkeruh tatanan sosial masyarakat yang ada.

Perilaku vandalis kebhinekaan semacam ini perlu menjadi catatan serius bagi kita semua. Pertama adalah isu-isu SARA yang dimainkan oleh kontestan politik tertentu secara psikologis akan berdampak kepada grass root class yang meluas bukan hanya di wilayah DKI Jakarta saja, melainkan berbagai daerah yang lainnya. Kedua, isu-isu SARA juga akan berdampak pada sikap fanatisme terhadap suatu golongan tertentu. Ketiga, ketika fanatisme mulai menguat maka kebencian antar golongan mulai tumbuh. Kebencian inilah yang menjadi sumbu dari tidak ­harmonisnya masyarakat dalam keberagamaan dan disintegritas bangsa.

Pada kondisi yang lain, media yang dipolitisasi cenderung mempublikasikan kompetitor politik dengan membingkainya sebagai kelompok yang perlu dijatuhkan. Media membangun realitas virtual, dalam artian kapasitas dan kapabilitas kompetitor terkadang dibuat berbanding terbalik dari kenyataannya. Dalam konteks ini, isu-isu SARA yang beredar akan membiaskan kapasitas dan kapabilitas kontestan yang sedang berkompetisi di Pilkada DKI Jakarta. Begitu pun masyarakat, jika tak mampu menyaring informasi jelas dibodohi. Mereka menjadi korban permainan wacana politik dari aktor-aktor politik. Persoalan keyakinan akan lebih mereferensi masyarakat ketimbang masalah kapabilitas calon pemimpinnya.

Konstalasi politik DKI Jakarta dalam pesta demokrasi untuk memilih pemimpin baru harusnya diselenggarakan secara fair agar menghasilkan pemimpin yang sesuai ekspektasi masyarakatnya. Lebih jauh, sudah semestinya hajat pemilihan di DKI Jakarta dijadikan sebagai proses untuk mencapai tujuan bersama antara pemimpin dan masyarakat yang dipimpin. Kepentingan masyarakat harus dielaborasikan dan sinergis dengan gagasan calon-calon pemimpin DKI Jakarta yang bisa memahami dan menjawab kompleksitas persoalan yang terjadi di DKI Jakarta.

Rekam jejak seluruh kontestan semestinya dipublikasikan secara holistik oleh media massa yang ada. Visi, misi dan kebijakan harus ditekankan, bukan sebatas semiotika yang terpampang di spanduk jalanan atau iklan yang tak pernah jelas arah dan tujuan. Itulah yang seharusnya jadi barometer konstituen untuk menentukan pilihannya dari sekian kompetitor politik di DKI Jakarta. Klise kepalsuan yang tak sesuai tidak boleh terus dipertahankan, apalagi menghalalkan segala macam cara seperti machiavellian yang ingin meraih kekuasaan. Bukan pula menonjolkan politik platform atau pencitraan yang dikedepankan, apalagi hingga menjatuhkan lewat isu SARA.

Sebagai Ibu Kota Negara, DKI Jakarta sejatinya merepresentasikan Indonesia yang sudah selayaknya melakukan transisi perpolitikan ke arah yang lebih arif, jangan melulu SARA yang malah tak mencerminkan realitas sesungguhnya dan cenderung hanya menimbulkan berita sensasional tak berdasar. Rocky Gerung, SS. seorang staf pengajar di Departemen Filsafat Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI) mengatakan bahwa justru dalam berita sensasional, “selalu ada logika yang dipalsukan”. Berita terkait Ahok yang kini marak di layar kaca penuh dengan hal negatif seperti penistaan dan kebencian kelompok tertentu akibat konstruksi realitas sosial. Media seharusnya bukan jadi perpanjangan tangan aktor politik yang ingin memproduksi dan melanggengkan isu-isu negatif untuk kepentingan politik.

Clifford Geertz mengemukakan bahwa Indonesia adalah bangsa dengan ukuran, makna, dan karakter yang berbeda-beda yang melalui sebuah narasi agung yang bersifat historis, ideologis, dan religius atau semacam itu disambung-sambung menjadi struktur ekonomis dan politis bersama (Althonul Afif, 2012: 306). Narasi diatas harusnya menjadi refleksi kita semua, bahwa momentum politik adalah pertarungan gagasan yang solutif dan menghasilkan demokrasi yang sejuk tanpa kegaduhan SARA dan hal lainnya. Berbagai kepentingan dan pertarungan elit politik jangan sampai mengorbankan masyarakat.

Hendaknya para politikus harus betul-betul memahami perjalanan bangsanya sendiri agar pertumpahan darah antara saudara, sebangsa dan satu nenek moyang tidak terulang. Indonesia dalam perjalanan sejarahnya sudah banyak melewatkan civil war karena persoalan SARA dan pertumpahan darah adalah hal yang menakutkan karena bisa mendekonstruksi cita-cita Indonesia yang telah disusun sejak Indonesia merdeka.

M. Khairul Afif, Hubungan Internasional
FISIP Unpas, 2013

No comments