Header Ads

Tidak Ada Keadilan bagi si Miskin (bag 3)


Pada saat yang bersamaan, pria berseragam aparat itu melaporkan pencuriaan yang dilakukan oleh pengamen itu ke ketua RT setempat. RT merespon dengan sigap dan mengumumkan kejadian tersebut kepada warganya. Kemudian ia mengerahkan warganya untuk melakukan pencarian terhadap pelaku pencurian. Satu persatu pengamen yang memasuki komplek itu ditanyai, mereka semua menjawab tidak tahu. Keadaan tersebut membuat si Korban pencurian kesal, ia mulai memaksa pengamen-pengamen yang ia temui untuk mengaku. Tapi warga lainnya menahan agar si korban untuk tetap mengedepankan akal sehatnya. Si Korban pun dengan berat hati mengalah dan menyerahkan urusan itu kepada warga lainnya.Hingga malam hari belum ada informasi apapun mengenai pencurian itu. Pria itu semakin kesal, ia merasa dilecehkan karena seorang pencuri kelas teri, berani mencuri di rumah seorang aparat berpangkat yang disegani oleh penduduk sekitarnya.


Keesokan harinya, tepat ketika Roy sedang tersesat mencari rumah pemilik dompet itu ia bertemu
dengan Pria itu. Karena belum terpuaskan rasa penasarannya, Pria itu bertanya kepada Roy “heh kamu! kamu pasti tau kan pengamen yang suka curi baju disini?!.” Sambil gugup dan kebingungan, Roy menjawab “yang mana ya pak? saya tidak tahu.” Dengan perasaan jengkel karena kesekian pengamen yang ia tanya memiliki jawaban yang sama pria itu kini membentak “Halah jangan ngeyel! Memangnya saya tidak tau kalo kamu itu sedang melindungi teman kamu!.” Roy merasa tersinggung, lalu ia menjawab dengan nada tinggi “loh bapa jangan asal tuduh dong! saya ga tau siapa yang bapa maksud itu!.” “Kamu berani ngelawan saya?! mau saya tempeleng kamu!?” Pria itu geram atas jawaban Roy . Selama ini ia diajarkan untuk mematuhi perintah, dan begitu sebaliknya, perintahnya harus dipatuhi bawahannya. Dalam pola pendidikannya, tidak pernah diajarkan untuk beradu argumen, karena itu artinya melanggar perintah. Hal inilah yang membuatnya menolak argumen dari Roy.

Roy sadar selama ia benar, tak ada keharusan untuk takut, meski yang dihadapinya adalah aparat. “Saya ga takut pa selama saya benar!”. Dengan sekuat tenaga Pria itu menampar muka Roy, dan segera menggiringnya ke rumah RT setempat. Sepanjang jalan Roy berusaha melepaskan cengkraman kuat Pria itu dari tangan kanannya. Sambil berjalan, ia mencoba menjelaskan bahwa ia hendak mengembalikan dompet seorang warga di komplek itu. Namun Pria itu tidak percaya dan malah menuduhnya pencopet yang lari dan kabur kedalam komplek itu. 

Beberapa warga yang kebetulan beraktivitas ikut menggiringnya menuju rumah pak RT. Sesekali mereka mencurahkan kekesalan, dengan pukulan atau tendangan ke tubuh pengamen naas itu. Roy mencoba melawan, tapi semakin Roy melawan, pukulan justru datang lebih banyak. Ia hanya bisa pasrah, dan berharap RT setempat berbaik hati mau melepaskannya. Sesampainya di rumah ketua RT, ia diberondong berbagai pertanyaan dan bentakan.

Sesekali ia menjawab dengan nada tinggi, dan seperti yang sudah pasti bogem mentah melayang kearahnya. “Halah! Ngeyel kamu! mana ada maling ngaku!” pria si korban pencurian itu kembali memukulnya, namun kali ini RT menegurnya. Pertanyaan demi pertanyaan berlalu, yang diselingi dengan bentakan kepada Roy. Tak ada satupun bukti yang mengarah padanya, namun si Pria korban pencuriaan itu tetap menaruh curiga kepada Roy.

Satu waktu, saat warga lainnya hendak pulang dan menyerahkan persoalan ini kepada RT, Roy berusaha kabur, namun baru beberapa langkah ia berlari warga menangkapnya lagi. Dan kali ini pukulan dan tendangan datang lebih banyak. Setelah beberapa detik, Roy merasa tak sanggup lagi menerima siksaan itu, akhirnya ia terpaksa mengakui. Ia menangis kali ini, bukan karena sakit yang diterima disekujur tubuh, Tapi karena harus menerima kenyataan bahwa ia harus berpura-pura salah agar tidak mendapat siksaan dari aparat yang melindungi negara.

Masalah tak selesai sampai disitu, Roy kali ini di bawa oleh warga  ke kantor polisi. Dalam hatinya ini ia bisa sedikit lega, ia pikir disana mungkin ia akan diperlakukan lebih baik ketimbang kondisinya saat ini. Kantor itu berada persis di pinggir jalan Patimura, kota Cimahi. “Setidaknya, aku tidak akan menerima pukulan lagi”, ia berkata dalam hati seolah tempat itu adalah sebuah tempat berlindung banginya.

Adalah sebuah kenyataan yang menyakitkan ketika mengetahui bahwa, setibanya di kantor itu ia disambut dengan tarikan dan dorongan serta makian dari para penegak hukum itu. Ia diseret dimasukan ke sebuah ruangan, disana ia dipaksa kembali mengakui kesalahanya. Hantaman palu berukuran kecil cukup untuk membuat telapak tanganya bengkak. Ia meringis kesakitan akibat tubuhnya terus menerus dipukuli. Akhirnya ia terpaksa mengakui perbuatannya itu di hadapan para penegak hukum yang kemudian memberi vonis satu tahun penjara. Anehnya saksi atau korban tidak dilibatkan dalam proses hukum itu. 

Roy hanya bisa pasrah oleh keadaan, sebab tak ada lagi yang bisa melindunginya. Ia yang seharusnya dilindungi dan dipelihara oleh negara, justru mendapat hantaman bogem mentah di hampir sekujur tubuhnya. Inilah dunia tempat Roy hidup, dunia dimana mereka yang tidak memiliki uang dan keserakahan tidak dapat hidup tenteram. Pemerintah yang gemar menjilat para pemodal, penegak hukum yang munafik, serta orang-orang kaya yang hidup di atas penindasan sesama manusia. Itu semua menjadi sebuah kenyataan yang pahit yang harus diterima Roy. Ia seakan mendapat tamparan keras, ia paham betul bagaimana kerasnya jalanan tapi tidak dengan kenyataan yang satu ini. 

Setelah di vonis Roy kemudian dipindahkan ke Lapas Ciapi yang terletak di kanan jalan yang menghubungkan Kota Cimahi dan Kota Bilangan. Ia di tempatkan di sel berukuran 2x3 meter, yang hanya menyediakan tempat untuk kakus dan selembar tikar. Roy sama sekali tidak mengeluarkan suara sedikitpun. Ia membisu sejak vonis dijatuhkan kepadanya. Seperti patung kini ia duduk sila menghadap tralis besi dihadapannya.

Oleh: Ilyas Gautama

No comments