Kisah Marlina dan Pemerkosaan di Indonesia
Salah satu adegan dalam Film Marlina, Pembunuh dalam Empat Babak. |
Judul: Marlina, si Pembunuh dalam Empat Babak
Sutradara: Mouly Surya
Penulis Skenario: Rama Adi
Produser: Rama Adi, Fauzan Zidni
Tanggal Rilis: 16 November
Marlina si Pembunuh Dalam Empat Babak: Perampok; Perjalanan; Pengakuan Dosa; Tangisan Bayi, sudah bisa disaksikan di dalam negeri sejak 16 November lalu.
Berkisah tentang Marlina, seorang janda tanpa anak (anaknya telah meninggal saat usia 8 bulan dalam kandungan) yang didatangi sekawanan perampok. Perampok pertama, Markus datang bertamu, lalu secara terang-terangan mengatakan hendak merampok dan memperkosa Marlina malam nanti.
Marlina lalu menyusun strategi untuk menggagalkan aksi bejat yang akan dilakukan sekawanan perampok itu. Lima perampok dirumah Marlina menunggu jamuan yang dibuat, sedangkan dua lagi pergi untuk menjual ternak Marlina yang mereka rampok. Marlina tentu sadar betul dirinya tidak akan sanggup melawan lima laki-laki seorang diri tanpa senjata. Pilihannya adalah racun yang akan ditambahkan dalam masakannya. Dengan menggunakan racun tersebut, Marlina berhasil membunuh beberapa perampok yang makan hidangannya, sedangkan Markus yang mabuk di kamar Marlina, ia tebas kepalanya.
Marlina lalu pergi ke kantor polisi. Berharap masih ada keadilan disana. Namun naas betul, Marlina malah tidak medapat perhatian sama sekali. Polisi malah seakan-akan menyalahkan Marlina atas kejadiah yang menimpanya.
Marlina lalu pulang ke rumah, medapati temannya yang sedang hamil 10 bulan menjadi tawanan perampok yang kawannya Marlina bunuh.
Film Marlina sebenarnya sederhana, seperti yang dikatakan oleh Sutradara film, Mouly Surya. Film seorang perempuan yang akan diperkosa, lalu melawan dan mencari keadilan. Namun kisah Marlina seorang perempuan di sebuah padang sabana Sumba yang menjanda, lalu mengalami kekerasan menunjukkan bahwa masih banyak perempuan yang tidak mendapat rasa aman. Padahal rasa aman ini harusnya menjadi salah satu tugas negara terhadap warganya.
Dari film ini, kita bisa melihat kentalnya budaya patriarki di Indonesia, dimana kedudukan laik-laki selalu lebih tinggi dibandingkan perempuan.
Di Indonesia, tepat pada 21 September 1970 seorang perempuan Yogyakarta bernama Sumaridjem diperkosa. Terduga pemerkosa adalah orang-orang berada yang duduk dikursi pemerintahan Yogyakarta saat itu.
Walaupun memiliki bukti yang kuat, pemerkosa itu hingga saat ini masih bebas berkeliaran karena polisi tidak mampu menangkap pejabat-pejabat pemerintahan setempat. Walhasil, Sumaridjem malah harus dipenjara karena diduga memberikan keterangan palsu kepada kepolisian. Kabar ini membuat geger warga Yogyakarta, hingga mereka memadati kantor polisi saat itu untuk menuntut dibebaskannya Sumaridjem. Kasus ini dikenal dengan nama 'Sum Kuning'.
Di Indonesia, tepat pada 21 September 1970 seorang perempuan Yogyakarta bernama Sumaridjem diperkosa. Terduga pemerkosa adalah orang-orang berada yang duduk dikursi pemerintahan Yogyakarta saat itu.
Walaupun memiliki bukti yang kuat, pemerkosa itu hingga saat ini masih bebas berkeliaran karena polisi tidak mampu menangkap pejabat-pejabat pemerintahan setempat. Walhasil, Sumaridjem malah harus dipenjara karena diduga memberikan keterangan palsu kepada kepolisian. Kabar ini membuat geger warga Yogyakarta, hingga mereka memadati kantor polisi saat itu untuk menuntut dibebaskannya Sumaridjem. Kasus ini dikenal dengan nama 'Sum Kuning'.
Apa yang menimpa Sumaridjem yang saat itu berusia 17 tahun, ternyata bukan kali pertama terjadi di awal Orde Baru berkuasa. Tiga bulan sebelumnya, seorang guru bernama Stella Duce juga menjadi korban pemerkosaan. Stella Duce kemudian dikenal sebagai ‘Gadis N’.
Masih lekat dalam ingatan penulis, pada tahun 2016 publik dibuat ngilu dengan kisah seorang bocah 14 tahun bernama Yuyun. Remaja asal Kabupaten Rejang, Lebong, Provinsi Bengkulu ini tewas usai diperkosa dan dibunuh. Akibat perbuatan para pelaku, lubang vagina dan anus Yuyun robek dan menjadi satu.
Tidak berlangsung lama setelah kasus Yuyun, di tahun yang sama kejadian yang hampir serupa menimpa Eno. Tiga pria yang memperkosa Eno kemudian membunuhnya bahkan tega memasukkan gagang cangkul melalui lubang vagina korban.
Pada tahun 2016, masyarakat pun lalu sadar bahwa Indonesia darurat kekerasan seksual. Pun masyarakat lalu ramai-ramai mendesak pemerintah untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual , yang sebenarnya sudah basi digodok DPR.
Namun ternyata UU Penghapusan Kekerasan Seksual masih banyak kekurangan. Ruang lingkupnya hanya terbatas pada adanya unsur kekerasan dan ancaman serta terjadi diluar pernikahan.
Rumusannya pun mengharuskan adanya unsur persetubuhan, artinya jika tidak ada penetrasi dari penis ke vagina, dalam beberapa pendapat, bukan merupakan tindak pidana perkosaan.
Sepertinya, permasalahan kekerasan terhadap perempuan bukan hanya menjadi catatan sejarah. Apa yang dialami oleh perempuan yang mengalami kekerasan tidak akan hilang dengan mudah. Apalagi jika melihat negara yang harusnya dapat memberikan rasa aman dan tentram kepada warganya masih tidak dapat menunaikan kewajiban tersebut.
Disahkannya UU Kekerasan Seksual tidak dengan semerta-merta pelaku pemerkosaan jera. Terbukti dari masih banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di Nusantara ini.
Film Marlina memperlihatkan dengan lugas bahwa kekerasan seksual di Indonesia masih terus terjadi, dan ketidak-adilan untuk hal ini dianggap biasa oleh masyarakat. Sayangnya dalam film ini, Marlina akhirnya dengan pasrah menerima nasibnya yang tidak dipedulikan hukum.
Marlina memang kisah fiktif, namun ceritanya bukan hanya menjadi tontonan, tapi juga berusaha menyadarkan masyarakat lewat film atas apa yang menimpa sebagaian perempuan-perempuan yang kurang beruntung di Indonesia saat ini.
(Jeje)
Beri Komentar