Gerakan Kiri di Bandung Sekitar Tahun 1920-an

Bandung,
BPPM Pasoendan – Pada Sabtu (06/03), penerbit ProPublic.info
mengadakan acara bedah buku yang berjudul “Bandung di Persimpangan Kiri Jalan,”
melalui Zoom Meeting. Dalam acara tersebut hadir Hafidz Azhar selaku
penulis, serta dua orang pembedah, yakni Hawe Setiawan (Budayawan Sunda) dan JJ
Rizal (Sejarawan).
Hafidz
menjelaskan, buku yang ditulisnya ini merupakan kumpulan tulisan yang sebagian sudah
pernah dimuat di beberapa media online dan sebagian lainnya belum pernah
dipublikasikan.
Alasannya
menulis topik ini antara lain karena ia melihat adanya cerita yang berbeda soal
gerakan kiri di tahun 1965 dengan tahun 1920-an, sehingga ia tertarik untuk
mencari tahu apa yang terjadi ketika itu.
Sementara
itu, Hawe yang menjadi pembedah pertama mengatakan bahwa kehadiran buku ini
ikut meramaikan publikasi tulisan-tulisan seputar wilayah Bandung dan Priangan yang
dalam satu hingga dua tahun terakhir terlihat tumbuh kembali.
Mengenai
isinya, buku ini dinilai mempunyai ciri khas tersendiri karena menjadikan gerakan
kiri sebagai bahasan utamanya. “Buku Hafidz tentu saja punya ciri khasnya sendiri,
di mata saya buku ini adalah semacam koleksi kronik mengenai suasana umum di
sekitar kalangan merah di Bandung pada zaman bergerak tahun 1920-an sampai awal
1930-an,” kata Hawe.
Salah
satu cerita yang menurutnya paling menarik dalam buku ini adalah ketika ada seorang
anggota Persatuan Islam (organisasi Islam yang berdiri di Bandung), disangka
komunis karena ketika ia wafat cara pengurusan jezanahnya berbeda. “Karena
berbeda, sehingga menimbulkan sangkaan yang bukan-bukan dari masyarakat
setempat. Bahkan koran dari kalangan kiri sendiri mengomentari kejadian ini
dengan nada satire,” ungkap Hawe.
Terkait
sorotannya terhadap buku ini, Hawe menyebut bahwa istilah “kiri” yang dimaksud di
dalam buku ini tidak dijelaskan.
Senada
dengan Hawe, JJ Rizal yang menjadi pembedah kedua, juga menilai penjelasan mengenai
istilah “kiri” perlu dibahas agar konteks sejarahnya dapat lebih dipahami. “Menurut
saya harus ada definisi yang lebih serius, itu penting untuk mendudukan dalam
posisi historisnya,” katanya.
Terkait
penulisan sejarah seputar Bandung, ia berpendapat masih banyak tulisan yang cenderung
mengikuti gaya penulisan kolonial. “Kecenderungan historiografi kita kalau bicara
kota Bandung itu seperti apa yang digambarkan oleh dunia kolonial sebagai mooi
bandung. Menurut sejarawan Ong Hok Ham, mooi ini merupakan
penggambaran keindahan, menyembunyikan keseraman dan hal-hal yang sifatnya
menakutkan,” jelasnya.
Menurutnya,
buku ini berhasil keluar dari kecenderungan penulisan yang seperti itu sehingga
gambaran dinamika serta perubahan sosial yang terjadi di masyarakat bisa lebih
terlihat.
(Azmi)
Beri Komentar