Krisis Lingkungan dan Demokrasi Pasca Disahkannya UU Cipta Kerja
Suasana konferensi pers yang dilaksanakan oleh beberapa organisasi sipil di WALHI Jabar. Kamis (27/02/2022). Foto: Benta.
Lengkong Besar, BPPM Pasoendan - Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jawa Barat (Jabar) menyatakan bahwa kondisi lingkungan, tata ruang dan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 Cipta Kerja (UU CK) merupakan persoalan serius yang harus terus disuarakan kepada publik serta menjadi perhatian bersama. UU CK sebelumnya disahkan Presiden Joko Widodo di Jakarta pada 2 November 2020. Dengan ketentuan menghapus, mengubah, dan menetapkan aturan baru terkait perizinan berusaha yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
Hairudin Inas selaku moderator menyampaikan alasan lebih lanjut organisasi sipil masyarakat Jabar menyelenggarakan siaran pers bertajuk "Ketakutan dan Krisis Tahun Baru". Hal tersebut dikarenakan pasca disahkannya UU CK ruang partisipasi dan hak-hak hidup masyarakat semakin diperketat, sehingga menghambat perlindungan peranan organisasi sipil dan masyarakat untuk menciptakan ruang perlindungan bersama. Padahal banyak pihak terdampak dari UU CK, khususnya di wilayah Jabar, seperti proses kriminalisasi yang kerap terjadi, menimpa para aktivis, buruh, petani, maupun pihak-pihak lainnya.
Acara dilaksanakan pada hari Kamis (27/2), pukul 10.00 WIB berlokasi di Sekretariat WALHI Jabar, dengan adanya pemantik dari para ahli, diantaranya Wahyudin Iwang (WALHI Jabar), Deddy Kurniawan (FK3I Jabar), Cheppy (Media Tata Ruang), dan Lasma (LBH Bandung).
Menurut Iwang, rencana pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah pusat hingga daerah dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi semakin memperpanjang konflik Sumber Daya Alam (SDA), lingkungan, bencana sosial tataran masyarakat maupun komunitas.
WALHI Jabar memandang upaya yang menurut pemerintah baik, terkait pembangunan infrastruktur yang diprioritaskan, tidak sebanding lurus dengan pandangan mereka. Akan tetapi, keadaan semakin memprihatikan dan merusak kondisi lingkungan di wilayah Jabar.
"Pada nyatanya, masih belum terlihat itikad baik dari pemerintah pusat hingga sekarang. Contohnya saja, pada program yang dicanangkan sebagai objek strategis nasional, seperti 12 jalan tol, 2 pelabuhan, 5 jalur kereta, 6 bendungan dan 1 tanggul, semakin memperburuk dan mengalihfungsikan produktivitas lahan-lahan pertanian sehingga terkuras dan menghilangkan akses masyarakat terhadap mata pencaharian mereka. Kami melihat kondisi ini tidak seimbang dengan solusi yang ditawarkan oleh pemerintah ketika akses masyarakat dihilangkan," ujar Iwang.
Realitasnya yang terjadi di lapangan konflik terus meningkat, sehingga menimbulkan kriminalisasi terhadap masyarakat, para petani, komunitas lokal, suku adat, dan lain sebagainya. Iwang juga menuturkan, rasa khawatir di tahun ini dengan adanya perluasan kawasan industri di wilayah utara, barat, selatan dan timur yang akan berdampak pada kualitas tanah, air maupun udara. Saat ini, upaya pemerintah masih belum memiliki tujuan dalam memulihkan kerusakan lingkungan. Tentu saja, mengenai lingkungan akan selalu berkaitan erat dengan sosial masyarakat.
“Jika merujuk pada kebijakan Undang-Undang Dasar (UUD), Undang-Undang PPLH, Hak Asasi Manusia (HAM), sangat menjauhkan dari hak dan keadilannya terhadap upaya yang pemerintah rencanakan," tambahnya.
Pandangan tersebut dapat terlihat jelas dengan ditetapkannya UU Minerba dan UU CK beserta turunannya, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 tentang Penyelenggaran Penataan Ruang.
"Seperangkat kebijakan tersebut akan menciptakan kondisi lingkungan yang semakin buruk, dan menyulitkan ruang partisipasi masyarakat,” pungkasnya lagi.
Apalagi menurutnya dalam beberapa kebijakan tersebut, partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan dan perizinan semakin berkurang. Tentunya, kebijakan-kebijakan tersebut tidak merepresentasikan masyarakat umum, namun hanya untuk kepentingan golongan tertentu yang difasilitasi negara.
"Jelas sekali dalam lima tahun sudah 290 kasus yang dikriminalisasi, baik dari pembangunan yang direncanakan pemerintah pusat maupun daerah," ujarnya.
Peraturan dan Pembangunan yang Asinkron
Pembahasan dilanjutkan oleh Cheppy dari Media Tata Ruang yang mengungkapkan pandangannya tentang pembangunan dan peraturan pemerintah yang asinkron. Seperti dengan adanya jalan tol yang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan wilayah baru. Namun faktanya, peraturannya saja belum teorganisir dengan baik, karena peraturan masih mengikuti keinginan para pemilik modal.
"Tarolah contoh Meikarta, hal seperti itu cenderung dipaksakan, tata ruang menjadi tata ruang buat mereka," tutur Cheppy.
Permasalahan perencanaan menimbulkan berbagai pelanggaran, khususnya dalam segi penerapannya yang beralih menjadi suatu bentuk kejahatan seperti kejahatan lingkungan, kejahatan sosial, praktik-praktik korupsi, dan lain sebagainya. "Saya berharap dengan UU CK ada nilai positif dan negatifnya," katanya.
Menilai dari sisi tata ruang, Cheppy berpendapat bahwa beberapa peraturan dalam UU CK perlu diapresiasi. Salah satunya adalah kewenangan lingkungan dan tata ruang yang diberikan kepada pihak pusat. Hal demikian lebih baik, karena khawatirnya jika dikembalikan kepada daerah, setiap daerah mempunyai kondisi dan pandangan yang berbeda-beda mengenai optimalisasi rencana pembangunan yang dicanangkan secara umum.
"Kita lihat, Citarum misalkan, di Bandung diperbolehkan, di Cimahi mungkin tidak, nah itu akan besar kemungkinan terjadi, dari sisi itu karena perencanaan yang kurang clear, seakan-akan kita melakukan perencanaan nya itu barbar, nah itu yang kita kritisi disana," ungkapnya.
Selain itu, adanya praktik suap menyuap dapat menjadikan pelanggaran tata ruang menjadi kejahatan. Cheppy menjelaskan jika yang di contohkan dalam konteks bangunan tanpa izin, sudah jelas dalam proses perizinannya saja kemungkinan besar terjadi transaksi tidak sah. Lebih lanjut jika kasusnya bangunan diabaikan, pun mereka paham bahwa tindakan tersebut adalah kesalahan, namun perbuatan tersebut tetap dilakukan, tidak dipungkiri telah terjadi kolusi di dalamnya.
Lebih lanjut di Cianjur beberapa bangunan yang tidak dipergunakan telah dirobohkan, namun Cheppy berharap kehadiran negara tidak hanya di ranah yang sifatnya pribadi, namun swasta juga penting untuk diperhatikan, khususnya di kota besar.
"Kita juga welcome dengan pengusaha, tapi tidak dengan yang menyalahi aturan juga," ucap Cheppy.
Hutan Lebih dari Sekedar Nilai Ekonomis
Lebih lanjut mengenai dampak dari UU CK yaitu lahirnya PP No. 23 tentang Penyelenggaraan Kehutanan yang patut untuk menjadi fokus sorotan. Deddy dari FK3I Jabar yang fokus dalam konservasi hutan, memandang ketika menelisik ke belakang maupun sebelum PP No. 23 terbit, Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) saja sudah menimbulkan banyak permasalahan.
Misalkan, IPPKH yang diharuskan mengganti kawasan dalam cakupan 30%, seperti di Jawa ketentuannya harus dua kali lipat. Bagi sektor swasta itu 1 kali lipat, jika akan mengelola atau memberdayakan hutan dalam konteks tambang, panas bumi, dan lain sebagainya, yang nantinya harus tukar guling kawasan, 1:1 bagi kawasan yang 30% terpakai, dan 1:2 yang luasnya lebih dari itu, kemudian permasalahan yang terjadi di IPPKH sendiri, salah satunya adalah kurangnya tanggung jawab dari pihak terlibat IPPKH untuk mengganti kawasan tersebut.
“Dengan dalih mereka meminta perpanjangan waktu, karena di IPPKH mereka nggak di kasih waktu, jadi satu tahun mereka mengganti kawasan, dan selebihnya harus mengganti kawasan agar dihutankan kembali," tuturnya.
Deddy memberikan contoh, terkait kawasan hutan produksi yang dahulu telah diberikan IPPKH, sampai saat ini saja, masih belum menghutankan kembali. “Maka dari itu hutan kita bukan rusak, tapi hilang. Perlu diketahui juga, FK3I Jabar memiliki data beberapa BUMN yang belum mengganti kawasan yang sudah di eksploitasi, yaitu Pertamina, Antam, dan PLN," ungkapnya.
Lebih lanjut ia menuturkan dalam UU CK, jika lahan sulit diganti kembali menjadi kawasan hutan, maka dapat digantikan dengan skema Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dengan nilai yang cukup besar. Sedangkan menurut Deddy, nilai hutan tidak bisa diukur dengan nilai ekonomis semata. Disana terdapat nilai-nilai makhluk hidup, tanah, air, udara yang tidak bisa diukur dengan uang. Tidak sampai disitu saja, sebelumnya dalam IPPKH, Jokowi membuat pernyataan mencabut seluruh izin perusahaan yang bermasalah.
"Itu saya nanya, itu apakah mencakup izin berdasarkan kepedulian atau kepentingan?, tetapi kenyataannya, mereka lebih dahulu melakukan kerusakan hutan, sehingga idealnya mereka memperbaiki kawasan hutan tersebut dahulu, lalu dicabut perizinannya, dan berikan denda,” tambahnya.
Sempitnya Ruang Partisipasi Masyarakat
Dalam dinamika UU CK maupun UU Minerba, tentu menjadi persoalan pelik bagi mereka yang hendak memperjuangkan hak nya. LBH Bandung menilai adanya upaya yang di persempit oleh para pemangku kepentingan dalam ruang demokrasi dan HAM. Lasma menyampaikan bahwa dalam UU CK terdapat perubahan subjek yang dapat berpartisipasi dalam memperjuangkan hak atas lingkungan. Jadi yang termasuk di dalamnya hanya pihak terdampak.
"Kami sebagai organisasi sipil dan rakyat yang wilayah kelolanya juga terdampak, walaupun sebetulnya sebelumnya kami advokasi, tapi dengan adanya UU CK ini ruang wilayah kelola rakyat susah untuk mengelolanya," jawab Inas saat di wawancarai (27/01).
Sedangkan, pada waktu dahulu di UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), organisasi gerakan sipil memiliki peranan besar dalam upaya perlindungan bersama. Sejalan dengan itu, Inas mengatakan siapapun kondisinya, pasti persoalan apapun posisinya, dia akan membutuhkan layanan lingkungan hidup, maka perlindungan bersama perlu dilakukan.
Selain itu, Lasma menjelaskan bahwa dibatasinya medium demokrasi juga dapat dilihat dari adanya kriminalisasi dalam kasus pencemaran nama baik, yaitu UU ITE. Dan pada kondisi tahun lalu terdapat beberapa kasus yang dialami oleh masyarakat atau warga itu sendiri.
Berdasarkan catatan LBH Bandung, kriminalisasi terhadap masyarakat masih banyak, bahkan menurut Lasma, tahun ini juga kemungkinan besar bertambah. Karena UU CK masih dipertahankan oleh pemerintah. Padahal, ketika sampai di Mahkamah Konstitusi (MK), mereka menyatakan adanya indikasi permasalahan formil dalam prosea pembuatan UU CK.
"Tapi sepertinya kesadaran untuk UU Ciptaker nya ini dihapuskan itu tidak ada, bahkan diberi waktu untuk memperbaiki, harusnya diberhentikan segala sesuatu bahkan sampai PP nya karena ini adanya masalah dan memang harus kita pahami," ungkap Lasma.
Jika melihat dalam konteks negara demokratis, sudah sepatutnya partisipasi masyarakat menjadi unsur fundamental. Jika demikian, tidak keliru apabila dikatakan kemungkinan demokrasi sudah tidak ada di negeri ini.
Terakhir Inas, saat di wawancarai secara langsung menyatakan bahwa gerakan organisasi sipil akan terus menyuarakan kepada publik perihal krisis ekologi, ruang hidup, serta ruang partisipasi masyarakat yang terus dibatasi yang harus dikawal bersama. Dan keadaaan semakin memburuk, pasca disahkannya UU CK dan UU Minerba.
"Kami khususnya di WALHI Jabar, mengadakan advokasi di wilayah kelola rakyat yang terdampak dan melakukan intervensi secara kebijakan dan hukum, baik secara korporasi maupun pemerintahan itu sendiri maupun melanggar secara konsitusi, karena memang itu yang selama ini, selalu kita lalukan. Kita juga melakukan kampanye di wilayah yang kelola rakyat langsung secara skala besar maupun kecil," tutupnya.
Reporter : Benta
Penulis : Sherani
Editor : Dhila
Beri Komentar